Pengujian Vigor Benih Kedelai dengan Metode Pengusangan Cepat Terkontrol (PCT)

PENDAHULUAN 

Latar Belakang 
Komoditas pertanian yang sangat penting dikembangkan saat ini adalah kedelai yang mempunyai manfaat yang multi guna. Kedelai dapat dikonsumsi langsung dan dapat juga digunakan sebagai bahan baku agroindustri dan untuk keperluan industri pakan ternak. 

Kebutuhan kedelai nasional Indonesia meningkat tiap tahunnya dan telah mencapai 2,2 juta ton per tahun, sementara produksi dalam negeri baru mampu memenuhi kebutuhan 35–40%, sehingga kekurangannya dipenuhi dari impor (1,2 juta ton). Pemerintah terus berupaya meningkatkan produksi kedelai melalui berbagai program, diantaranya berupa menghasilkan inovasi teknologi yang mendukung program meningkatan produksi kedelai (Setneg 2010). 

Salah satu faktor yang membatasi produksi kedelai di Indonesia adalah ketersediaan benih bermutu. Kemunduran benih yang cepat selama penyimpanan mengurangi penyediaan benih bermutu tinggi. Benih kedelai memerlukan penanganan khusus karena sifatnya yang sangat peka terhadap suhu dan RH. Hal ini disebabkan karena kadar proteinnya yang tinggi. Benih kedelai tidak dapat mempertahankan viabilitasnya dalam kurun waktu tiga bulan, pada suhu 30oC dan kadar air benih 14% (Sadjad, 1980). 

Vigor benih dihubungkan dengan kekuatan benih yaitu kemampuan benih untuk menghasilkan perakaran dan pucuk yang kuat pada kondisi yang tidak menguntungkan serta bebas dari serangan mikroorganisme. Kondisi lingkungan waktu benih disimpan merupakan faktor penting yang mempengaruhi umur simpannya. Proses penuaan atau mundurnya vigor secara fisiologis ditandai dengan penurunan daya berkecambah, peningkatan jumlah kecambah abnormal, penurunan pemunculan kecambah di lapangan (field emergence), terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan tanaman, meningkatnya kepekaan terhadap lingkungan yang ekstrim yang akhirnya dapat menurunkan produksi tanaman. 

Pengujian vigor benih yang telah diterima dan distandarisai oleh ISTA (2007) (International Seed Testing Association) masih terbatas pada benih yang berukuran relatif besar yaitu Pengujian Accelerated Ageing Test atau metode pengusangan dipercepat pada kedelai dan Conductivity Test pada kacang kapri. Uji vigor benih yang termasuk dalam metode pengusangan buatan adalah metode Accelerated Ageing Test dan metode pengusangan cepat terkontrol (PCT). Metode PCT telah banyak dikembangkan untuk mengevaluasi kualitas benih yang berukuran relatif kecil seperti cabai, bawang, barley, dan benih kecil lainnya. Menurut Taliroso (2008) pengujian vigor untuk kedelai yang sudah diterima sebagai metode resmi dalam peraturan ISTA (International Seed Testing Association) adalah pengujian viabilitas setelah didera fisik (Accelerated Ageing Test) dan pengujian viabilitas secara biokhemis (uji tetrazolium/TZ). 

Basak et al. (2006) menyatakan bahwa penggunaan PCT dengan tingkat kadar air benih (KA) 22% dan periode penderaan 24 jam pada suhu 450C dapat digunakan untuk memprediksi daya tumbuh dan daya simpan benih cabai (Capsicum annuum L.), karena mempunyai korelasi yang erat dengan daya tumbuh di lapang. Filho (2003) melaporkan bahwa kadar air benih 24% dan periode penderaan 24 jam pada suhu yang sama merupakan kondisi PCT yang dapat digunakan untuk mengetahui potensi fisiologi benih bawang (Allium cepa). 

Tujuan Praktikum 
Praktikum ini bertujuan untuk mendapatkan informasi kondisi kadar air benih dan lama penderaan yang dapat digunakan pada metode PCT dan tingkat korelasinya dengan daya tumbuh dan vigor benih kedelai. 

Hipotesis 
  1. Terdapat salah satu varietas kedelai dengan tingkat vigor terbaik pada dengan metode pengujian PCT.
  2. Terdapat salah satu lama pengusangan yang tepat untuk menghasilkan kedelai vigor dengan metode pengujian PCT. 
  3. Terdapat interaksi antara varietas kedelai dan lama pengusangan yang menunjukkan tingkat vigor kedelai dengan metode pengujian PCT. 
TINJAUAN PUSTAKA 

Benih Kedelai 
Kedelai termasuk tanaman kacang-kacangan dengan klasifikasi lengkap tanaman kedelai adalah sebagai berikut, divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, ordo Rasales, famili Leguminosae, genus glycine, spesies Glycine max (L.) Biji kedelai berkeping dua yang terbungkus oleh kulit biji. Embrio terletak antara keping biji. Warna kulit biji antara lain kuning, hitam, hijau, dan cokelat. Bentuk biji kedelai umumnya bulat lonjong, bundar atau bulat agak pipih. Besar biji bervariasi, tergantung varietas. Di Indonesia besar biji bervariasi 6-30 g (Suprapto, 2001). 
Gambar Kedelai
Panjang benih kedelai kurang lebih 12 mm namun, secara umum ukuran benih kedelai dinyatakan dalam bobot 100 butir benih (Vaughan, 1985). Menurut Adie & Krisnawati (2007) biji merupakan komponen morfologi kedelai yang bernilai ekonomis. Bentuk biji kedelai beragam dari lonjong hingga bulat dan sebagian besar kedelai yang ada di Indonesia berkriteria lonjong. Pengelompokan ukuran biji kedelai di Indonesia berukuran besar (berat > 14g/100 biji), sedang (10–14g/100 biji) dan kecil (< 10 g/100 biji). Biji sebagian besar tersusun oleh kotiledon dan dilapisi oleh kulit biji (lesta). Antara kulit biji dan kotiledon terdapat lapisan endosperm. 

Bentuk dan ukuran pori-pori kulit benih berbeda antara benih berukuran besar atau berukuran kecil. Pada benih berukuran besar jumlah pori-porinya lebih layak dan bentuknya lebih memanjang serta berdiameter lebih kecil, sedangkan pada benih berukuran kecil jumlah pori-porinya lebih sedikit dan bentuknya lebih pendek serta berdiameter lebih lebar (Calero et al. 1981). 
Gambar Kedelai Varietas Anjasmoro
Proses imbibisi pada benih dipengaruhi oleh sifat kimia dan fisik benih. salah satu sifat fisik benih yaitu ukuran benih. Hill et al. (1986) menyatakan bahwa setiap penurunan 1 mg bobot benih akan meningkatkan 0,8 kali permeabilitas benih. Jadi semakin kecil ukuran benih maka sifat impermeabilitasnya akan semakin tinggi. Hal tersebut juga dijelaskan oleh Mugnisjah et al.(1978) dan Calero et al. (1981), bahwa selama proses imbibisi benih kedelai berukuran besar menyerap air lebih cepat daripada benih berukuran kecil. Ini disebabkan karena nisbah bobot kulit benih terhadap bobot benih pada benih berukuran besar lebih rendah daripada benih berukuran kecil. Sifat genetik benih antara lain tampak pada permeabilitas dan warna kulit benih berpengaruh terhadap daya simpan benih kedelai. Varietas kedelai berbiji sedang atau kecil umumnya memiliki kulit berwarna gelap, tingkat permeabilitas rendah, dan memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap kondisi penyimpanan yang kurang optimal dan tahan terhadap deraan cuaca lapang dibanding varietas yang berbiji besar dan berkulit biji terang (Mugnisyah, et al. 1991). 

Viabilitas dan Vigor Benih 
Kualitas benih dapat dilihat dari viabilitas dan vigor benih tersebut. Sadjad (1975) menyatakan bahwa pengujian viabilitas benih berada dalam konteks agronomi disamping sebagai parameter untuk berbagai pendekatan ilmiah, juga dalam rangka menentukan sehat tidaknya benih. Benih harus memiliki tingkat daya berkecambah tertentu, yang ditetapkan oleh suatu peraturan pemerintah di daerah itu, agar dapat diklasifikasikan sebagai benih. Sebagian besar ahli teknologi benih dan kalangan perdagangan mengartikan viabilitas sebagai kemampuan benih untuk berkecambah dan menghasilkan kecambah secara normal (Copeland dan Mc Donald, 1995). Sadjad (1972) menyatakan bahwa viabilitas benih adalah gejala hidup benih yang dapat ditunjukkan melalui metabolisme benih dengan gejala pertumbuhan. 

Menurut Sadjad (1993), tujuan analisis viabilitas benih adalah untuk memperoleh informasi mutu fisiologi benih. Gejala yang dimaksud adalah potensi tumbuh dan daya berkecambah. Mugnisjah et al. (1994) menyatakan bahwa metode pengujian viabilitas benih terdiri dari dua cara, yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Penilaian pada metode langsung dilakukan terhadap setiap individu benih, sedangkan pada metode tidak langsung penilaian dilakukan terhadap sekelompok benih. Penilaian viabilitas dari gejala pertumbuhannnya disebut sebagai penilaian dengan indikasi langsung, sedangkan penilaian viabilitas dari gejala metabolismenya disebut dengan penilaian viabilitas dengan indikasi tidak langsung. Oleh karena itu, uji viabilitas benih dapat dilakukan secara tidak langsung, misalnya dengan mengukur gejala metabolisme atau secara langsung dengan mengamati dan membandingkan pertumbuhan unsur-unsur tumbuh yang penting dari benih dalam suatu periode tumbuh tertentu seperti pengiujian benih dengan tetrazolium (Sadjad, 1973). 

Gejala metabolisme dapat ditunjukkan dari analisis biokimia, sedangkan gejala pertumbuhan diketahui lewat indikasi fisiologis yang mencakup potensi tumbuh maksimum, bobot kering kecambah normal, dan daya berkecambah. Daya berkecambah dilihat dari perbandingan jumlah benih yang berkecambah normal dalam kondisi dan periode perkecambahan tertentu (Dermawan, 2007). Benih dengan viabilitas tinggi akan menghasilkan bibit yang kuat dengan perkembangan akar yang cepat sehingga menghasilkan pertanaman yang sehat dan mantap. 

Ciri utama dari benih ialah bila benih itu dapat dibedakan dari biji karena mempunyai daya hidup yang disebut viabilitas. Semua insan benih, apapun fungsi yang disandangnya, senantiasa mendambakan benih vigor, tidak sekedar benih hidup (viable) sebab benih yang viabilitasnya tinggi belum tentu memiliki vigor yang tinggi. Benih yang hanya mempunyai potensi hidup normal pun tidak cukup (Sadjad et al., 1999). 

Vigor benih sewaktu disimpan merupakan faktor penting yang mempengaruhi umur simpannya. Vigor dan viabilitas benih tidak selalu dapatdibedakan, terutama pada lot-lot yang mengalami kemunduran cepat. Terlepas dari masalah tersebut, beberapa peneliti menunjukkan bahwa lot-lot benih yang mengalami kemunduran cepat, mengandung benih yang bervigor rendah dan benih yang masih vigor. Proses kemunduran benih berlangsung terus dengan makin lamanya benih disimpan sampai akhirnya semua benih mati. Lot benih yang baru dan vigor mempunyai daya simpan yang lebih lama dibanding dengan benih yang lebih tua yang mungkin sedang mengalami proses kemunduran sangat cepat (Justice dan Bass, 2002). 

Benih yang ditanam memberikan dua kemungkinan hasil. Pertama, benih tersebut menghasilkan tanaman normal sekiranya kondisi alam tempat tumbuhnya optimum. Kedua, tanaman yang tumbuh abnormal atau mati. Benih mempunyai daya hidup potensial atau Viabilitas Potensial (Vp), karena hanya akan tumbuh menjadi tanaman normal manakala kondisi alamnya optimum. Benih yang masih mampu menumbuhkan tanaman normal, meski kondisi alam tidak optimum atau suboptimum disebut benih yang memiliki Vigor (Vg). Benih yang vigor akan menghasilkan produk di atas normal kalau ditumbuhkan pada kondisi optimum. (Sadjad et al., 1999). 

Benih vigor yang mampu menumbuhkan tanaman normal pada kondisi alam suboptimum dikatakan memiliki Vigor Kekuatan Tumbuh (VKT) yang mengindikasikan bahwa vigor benih mampu menghadapi lahan pertanian yang kondisinya dapat suboptimum (Sadjad et al., 1999). 

Metode Pengusangan Cepat Terkontrol (PCT) 

Metode analisis vigor secara umum diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok yaitu uji stres (uji cekaman), uji pertumbuhan dan evaluasi kecambah, dan uji biokimia. Uji cekaman mencakup: Accelerated Ageing Test (AAT) atau metode pengusangan dipercepat yang telah umum digunakan, Cold Test, dan Controlled Deterioration (CD) atau metode pengusangan cepat terkontrol (PCT) (Venter dalam Wafiroh 2010). 

Metode PCT pada prinsipnya sama dengan metode AAT. Hal yang membedakan adalah teknik yang digunakan selama pelaksanaannya. Metode AAT menggunakan seperangkat alat pengusangan khusus, sedangkan PCT menggunakan peralatan yang lebih sederhana dan kadar air benih diketahui dengan jelas dan terkontrol selama penderaan (Filho 1998). Powell & Matthews (2005) menambahkan bahwa metode PCT menggambarkan proses kemunduran suatu lot benih. Kadar air benih yang sering digunakan dalam metode PCT adalah 20% dengan suhu 45oC dan periode penderaan 24 jam. 

Hasil penelitian tentang penggunaan metode PCT telah banyak dilaporkan terutama pada benih-benih berukuran kecil dalam mendukung proses validasinya. Rodo & Filho (2003) menggunakan PCT pada KA 24% serta lama penderaan 24 jam pada suhu 45oC untuk menguji vigor benih bawang (Allium ceppa). Hasil penelitian Ali et al. (2003) menunjukkan bahwa metode PCT juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi mutu fisiologis benih padi (Oryza sativa L.) pada KA 24% dan lama penderaan 48 jam dengan suhu 45 ± 0.5oC. Menurut hasil penelitian Kikuti & Filho (2008), KA benih 20 dan 22% dan lama penderaan 24 jam suhu 45oC merupakan kondisi yang sesuai untuk menguji vigor benih kembang kol (Brassica oleracea L. var. botrytis). Demir & Mavi (2008) melaporkan bahwa pada benih ketimun (Cucumis sativus L.) dengan kondisi KA benih 20% dan lama penderaan 48 jam pada suhu 45oC merupakan kondisi optimum untuk menguji vigornya. 

Metode uji vigor dengan pengusangan cepat terkontrol dapat digunakan untuk mengidentifikasi secara dini toleransi tanaman terhadap suatu cekaman. Hasil penelitian Alam et al. (2005) menyatakan bahwa penggunaan metode PCT dengan lama penderaan 36 hingga 48 jam dan suhu 45oC, dapat mengidentifikasi secara dini genotipe padi yang toleran terhadap salinitas setara dengan ketahanan pada konsentrasi NaCl 200 mM. 

METODE PERCOBAAN 

Waktu dan Tempat 
Percobaan ini dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian, pada bulan April 2012. 

Bahan dan Alat 
Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah benih tiga varietas kedelai Willis, Anjosmoro, dan Kaba, kertas merang, plastik, aluminium foil dan air bebas ion. 

Peralatan yang digunakan terdiri atas water bath, desikator, timbangan digital, cawan kadar air, oven, pengepres kertas, pipet, sealler, refrigerator dan alat pengecambah benih IPB tipe 72-1. 

Metode Penelitian 
Percobaan dilakukan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan dua faktor. Faktor pertama adalah varietas benih kedelai yang terdiri dari tiga taraf yaitu Anjasmoro, Kaba dan Wilis. Faktor kedua adalah lama pengusangan yang terdiri dari tiga taraf yaitu 24, 48 dan 72 jam. Masing-masing percobaan diulang tiga kali sehingga terdapat 36 satuan percobaan. 

Model Rancangan percobaan yang digunakan adalah : 

Yijk : µ + Vi + Wj + (VW)ij + ρk + Eijk 
Yijk      = viabilitas pada faktor V taraf ke-i faktor W taraf ke-j dan ulangan ke-k 
µ           = rataan umum 
Vi         = varietas benih kedelai ke-i 
Wj        = pematahan dormansi ke-j 
(VW)ij  = pengaruh interaksi antara faktor V taraf ke-i dan faktor W taraf ke-j 
ρk         = pengaruh kelompok ke-k, 
Eijk       = pengaruh galat 

Uji statistik yang digunakan adalah analisis sidik ragam. Selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan terhadap perlakuan yang berpengaruh. 

Pelaksanaan Percobaan 

Pengusangan Cepat 
Pengusangan cepat yang digunakan adalah dengan metode Controlled Deterioration (CD), dengan menaikkan kadar air benih kedelai menjadi 22% melalui penambahan air. Benih kedelai sebanyak 80 butir benih untuk setiap satuan percobaan dan air yang telah ditentukan volumenya berdasarkan rumus ISTA (1995) dimasukkan dalam aluminium foil dan ditutup rapat kemudian dibiarkan selama 24 jam pada suhu 5oC. Benih yang telah ditingkatkan kadar airnya kemudian diinkubasikan dalam water-bath pada suhu 41oC selama waktu perlakuan (24, 48 dan 72 jam). Setelah pengusangan cepat selesai, dilakukan pengujian viabilitas benih untuk menunjukkan ketahanannya terhadap pengusangan cepat. Pengujian dilakukan dengan mengecambahkan benih dengan metode UKDdp (Uji Kertas Digulung dalam plastik) pada alat pengecambah benih IPB tipe 72-1. 

Perhitungan jumlah air yang ditambahkan diperoleh dari formula penentuan (ISTA, 1995) sebagai berikut : 

W2 = (100-A/100-B)   x W1 

Keterangan : 
A = Kadar air benih awal (%) 
B = Kadar air benih yang diinginkan (%) 
W1 = Berat awal benih yang telah diketahui (g) 
W2 = Berat benih dengan kadar air yang diinginkan (g) 

Pengamatan 
Pengamatan viabilitas benih dilakukan pada beberapa tolok ukur yang meliputi daya berkecambah, indeks vigor dan kecepatan tumbuh. 

1. Daya Berkecambah (DB) diukur berdasarkan persentase kecambah normal 000pada hitungan pertama dan kedua pengamatan viabilitas. 

DB = {(∑ KN I + ∑ KN II)/ ∑ benih yang ditanam } x 100% 

Keterangan: 
∑ KN I : jumlah kecambah normal pengamatan pertama pada 3 Hari Setelah Tanam (HST) 
∑ KN II    : jumlah kecambah normal pengamatan kedua (5 HST) 

2. Kecepatan Tumbuh (KCT), pengamatan dilakukan setiap hari dan dihitung 0dengan jumlah tambahan perkecambahan setiap hari atau etmal pada kurun 0waktu perkecambahan dalam kondisi optimum. 

KCT= ∑ (t=0) d

Keterangan: 
t : kurun waktu perkecambahan (etmal) 
d : tambahan persentase kecambah normal setiap etmal (1 etmal =24 jam) 

3. Kadar Air , diukur dengan metode langsung melalui pengeringan dalam oven pada suhu 105 0C selama 17 jam. Sebanyak 5 gram benih ditimbang sebagai bobot basah (BB) selanjutnya setelah dikeringkan, bobot benih ditimbang kembali sebagai bobot kering (BK). Kadar air benih dihitung dengan rumus sebagai berikut : 

KA = (BB-BK)/BB x 100%

Keterangan : 

KA = Kadar Air (%) 
BB = Berat Basah (gram) 
BK = Berat Kering (gram) 

HASIL DAN PEMBAHASAN 

Viabilitas Benih Kedelai 
Rekapitulasi sidik ragam viabilitas benih terhadap tolok ukur daya berkecambah (DB), Kecepatan Tumbuh (KCT) dan Kadar Air (KA) ditampilkan pada Tabel 3 (Lampiran). Sidak ragam menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh nyata yang terjadi antara varietas kedelai, lama pengusangan dan interaksi antara varietas dan lama pengusangan terhadap tolok ukur DB, KCT dan KA. Adapun pengaruh varietas kedelai terhadap tolok ukur DB, KCT dan KA disajikan pada Tabel 1. 

Tabel 1. Pengaruh Varietas Benih Kedelai terhadap Tolok Ukur Daya Berkecambah (DB), Kecepatan Tumbuh (KCT) dan Kadar Air (KA).
Varietas
Tolok Ukur

DB (%)
KCT (% etmal-1)
KA(%)
Wilis
21.67a
5.67a
20.54a
Kaba
14.33a
6.25a
21.78a
Anjasmoro
31.00a
9.83a
21.46a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT α= 5%. 

Tabel 1 menunjukkan bahwa pada tolok ukur DB, varietas Anjasmoro memiliki DB tertinggi (31.00%) dan tidak berbeda nyata dengan varietas Wilis (21.67%) dan Kaba (14.33%). Untuk tolok ukur KCT juga menunjukkan bahwa varietas Anjasmoro memberikan hasil KCT tertinggi (9.83% etmal-1) dan tidak berbeda nyata dengan varietas Kaba (6.25% etmal-1) dan Wilis (5.67% etmal-1). Varietas Anjasmoro juga memberikan hasil terbaik pada tolok ukur KA (21.46%) dan tidak berbeda nyata dengan varietas Kaba (21.78%) dan varietas Wilis (20.54%). 

Varietas Anjasmoro memiliki hasil terbaik pada tolok ukur DB, KCT dan KA dan tidak berbeda nyata dengan varietas Wilis dan Kaba. Rata-rata hasil terbaik ditunjukkan oleh varietas Anjasmoro karena memiliki ukuran benih yang kecil. Menurut Powell dan Matthew (2005), benih wijen selain karena mempunyai ukuran yang kecil, sifat permeabel dari benih mempermudah proses imbibisi air kedalam benih dan mengakibatkan proses kesetimbangan air benih tercapai lebih cepat. Meskipun demikian, tetapi persentase hasil rata-rata yang ditunjukkan masih rendah dari yang seharusnya. Hal ini disebabkan oleh ukuran biji ketiga varietas kedelai ini tergolong kecil sehingga sulit berimbibisi dalam jangka waktu tertentu selama masa pengusangan yang diberikan. semakin kecil ukuran benih maka sifat impermeabilitasnya akan semakin tinggi. Hal tersebut juga dijelaskan oleh Mugnisjah et al. (1978) dan Calero et al. (1981), bahwa selama proses imbibisi benih kedelai berukuran besar menyerap air lebih cepat daripada benih berukuran kecil. Ini disebabkan karena nisbah bobot kulit benih terhadap bobot benih pada benih berukuran besar lebih rendah daripada benih berukuran kecil. Selain itu, juga didukung oleh pendapat Schmith (2002) bahwa ukuran benih berkorelasi dengan viabilitas dan vigor benih. Benih yang relatif berat cenderung mempnyai vigor yang lebih baik. Sorensen dan Campbell (1993) menyatakan benih dengan berat dan ukuran lebih besar lebih banyak dipilih karena umumnya berhubungan dengan kecepatan berkecambah dan perkembangan semai yang lebih baik. Untuk spesies tertentu, benih besar mempunyai kualitas yang lebih baik daripada benih kecil. 

Lama Pengusangan Benih 
Tabel 3 (Lampiran) menyajikan hasil rekapitulasi sidik ragam lama pengusangan benih terhadap tolok ukur daya berkecambah (DB), Kecepatan Tumbuh (KCT) dan Kadar Air (KA). Sidak ragam menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh nyata yang terjadi antara varietas kedelai, lama pengusangan dan interaksi antara varietas dan lama pengusangan terhadap tolok ukur DB, KCT dan KA. Adapun pengaruh varietas kedelai terhadap tolok ukur DB, KCT dan KA disajikan pada Tabel 2. 

Tabel 2. Pengaruh Lama Pengusangan terhadap Tolok Ukur Daya Berkecambah (DB), Kecepatan Tumbuh (KCT) dan Kadar Air (KA).
Lama Pengusangan
Tolok Ukur
(Jam)
DB (%)
KCT (% etmal-1)
KA(%)
24
31.33a
8.28ab
19.94a
48
25.00ab
10.28a
21.53a
72
10.67b
3.19b
22.57a
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT α= 5% 

Tabel 2 menunjukkan bahwa lama pengusangan 24 jam memberikan hasil terbaik pada tolok ukur DB (31.33%) dan tidak berbeda nyata dengan lama pengusangan 48 jam (25.00%) tetapi berbeda nyata dengan lama pengusangan 72 jam (10.67%). Pada tolok ukur KCT, lama pengusangan 48 jam memberikan persentase hasil terbaik (10.28 % etmal-1) dan tidak berbeda nyata dengan lama pengusangan 24 jam (8.28% etmal-1) tetapi, berbeda nyata dengan lama pengusangan 72 jam (3.19% etmal-1). Lama pengusangan 24 jam memberikan persentase KA terbaik (19.94%) dan tidak berbeda nyata dengan pengusangan lainnya yaitu pengusangan 48 jam (21.53%) dan 72 jam (22.57%). 

Penentuan kondisi kadar air varietas benih dan lama pengusangan yang sesuai untuk metode PCT pada umumnya didasarkan pada keefektifan dan keefisienan waktu dalam pelaksanaan. Lama pengusangan 24 jam dalam percobaan ini lebih efisien dibandingkan dengan lama penderaan 48 jam dan 72 jam. Hal ini juga selaras dengan hasil penelitian Modarresi dan Van Damme (2003) pada gandum, Demir et al, (2005) pada aubergin, dan Basak et al, (2006) pada cabai yang menyatakan bahwa lama penderaan 24 jam sangat dianjurkan digunakan untuk menguji vigor benih dengan PCT pada benih-benih tersebut, meskipun tingkat kadar air benihnya berbeda-beda. Penggunaan VPCT untuk menggambarkan daya simpan ternyata juga dilakukan Basak et al. (2006) yang menunjukkan bahwa kondisi PCT dengan kadar air benih 22% dan lama penderaan 24 jam selalu disarankan untuk memperkirakan daya simpan benih cabai (Capsicum annum L). 

KESIMPULAN DAN SARAN 

Kesimpulan 
Adapun kesimpulan yang diperoleh dari praktikum ini antara lain : 
  • Varietas Anjasmoro memberikan persentase hasil terbaik pada tolok ukur DB (31.00%), KCT tertinggi (9.83% etmal-1) dan KA (21.46%). 
  • Lama pengusangan 24 jam memberikan hasil terbaik pada tolok ukur DB (31.33%) dan KA (19.94%). Lama pengusangan 24 jam lebih efektif dibandingkan dengan 48 jam dan 72 jam. 
  • Interaksi antara varietas Anjasmoro dan lama pengusangan tidak berpengaruh nyata terhadap tolok ukur DB, KCT dan KA. 
Saran 
Adapun saran untuk praktikum selanjutnya adalah dapat menggunakan benih yang berukuran kecil dan besar sehingga dapat mengetahui pengaruh ukuran benih terhadap lama pengusangan dan daya berkecambahnya. 


DAFTAR PUSTAKA

Addie MM and Krisnawati A. 2007. Biologi Tanaman Kedelai. Kedelai Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Alam MZ, Stuchbury T, Naylor REL. 2005. Early identification of salt tolerant genotypes of rice (Oryza sativa L.) using controlled deterioration. Exp Agric 42(1): 65-77.
Ali MG, Naylor REL, Matthews S. 2003. The effect of ageing (using controlled deterioration) on the germination at 21oC as an indicator of physiological quality of seed lots of fourteen Bangladeshi rice (Oryza sativa L.) cultivars. Pak J Biol Sci 6(10): 910-917.
Basak, O., I. Demir, K. Mavi., S. Matthews. 2006. Controlled deterioration test for predicting seedling emergence and longevity of pepper  (Capsicum annuum L.) seed lots. Seed Sci. & Technol. 34: 701-712.
Calero E., S.H. West and K. Hinson. 1981. Water absorbtion of soybean seed and associated causal factors. Crop. Sci. 21:926-933.
Copeland, O.L., and M.B McDonald. 1995. Principle of Seed Science and Technology. New York : Chapman & Hall. 408 hal.
Demir I, Mavi K. 2008. Seed vigour evaluation of cucumber (Cucumis sativus L.) seeds in relation to seedling emergence. Res J Seed Sci 1(1): 19-25.
Dermawan, M. 2007. Studi Pengujian Tetrazolium sebagai Peubah Viabilitas Benih Buncis ( Phaseolus vulgaris L.). Skripsi. Program Studi Pemuliaan Tanaman dan Teknologi Benih, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 39 hal.
Filho JM. 1998. New approaches to seed vigor testing. Sci Agric 55: 27-33.
Filho, J. M. 2003. Accelerated ageing and controlled deterioration for the determination of the physiological potential of onion seeds. Scientia Agricola. 60 (2): 465469.
Hill SH West and K. Hinson. 1986. Soybean seed influences of the impemeable seed coat trait Crop. Sci. 26:634-636.
ISTA. 2007. International Rules for Seed Testing. Edition 2007. International Seed Testing Association. Zurich. Switzerland.
Justice, O.L., dan L.N. Bass. 2002. Prinsip dan Praktek Penyimpanan Benih (diterjemahkan dari: Principles and Practices of Seed Storage, penerjemah: Rennie Roesli). Raja Grafindo Persada. Jakarta. 446 hal.
Kikuti ALP, Filho JM. 2008. Physiological potential of cauliflower seeds. Sci Agric 65(4): 374-380.
Modarresi R, Van Damme P. 2003. Application of the controlled deterioration test to evaluate wheat seed vigour. Seed Sci Tech 31(3): 771-775.
Mugnisjah WQ. I. Shimano and S. Matsumoto. 1978. Studies on the vigour of soybean seeds 11. Varietal differences in seed coat quality and swelling component of seed during moisture imbibition. J. Fac. Agr., Ryushu Univ. 31 (7):227-234.
Mugnisjah, W.Q., A. Setiawan, Suwarto, dan C. Santiwa. 1994. Panduan Praktikum dan Penelitian Bidang Ilmu dan Teknologi Benih. Rajawali Press. Jakarta. 283 hal.
Powell AA, Matthews S. 2005. Toward the validation of the controlled deterioration vigour test for small seeded vegetables. Seet Testing International. ISTA news Bulletin 129: 21-24.
Sadjad, S. 1972. Penyimpanan Benih Tanaman Pangan. Bahan Kuliah Latihan Pola Tanam. LP-3. IRRI. 32 hal.
Sadjad, S. 1973. Pedoman uji daya berkecambah benih tanaman makanan penting di Indonesia. Prasarana Penunjang Intensifikasi Pertanian pada Seminar Pembangunan Pertanian: Potensi Teknologi dan Organisasi Produksi. Fakultas Pertanian IPB dan Badan Pengendali Bimas Departemen Pertanian. 20 hal.
Sadjad, S. 1975. Teknologi Benih dan Masalah Uji Viabilitas Benih. Hal : 127- 145. Dalam S. Sadjad (Ed.). Dasar-Dasar Teknologi Benih, Capita Selecta. Departemen Agronomi, Institut Pertanian Bogor, Biro Penataran. Bogor. 216 hal.
Sadjad, S. 1980. Panduan pembinaan mutu benih tanaman kehutanan di Indonesia. Proyek Pusat Pembinaan Kehutanan Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi. Ditjen Kehutanan-IPB.
Sadjad, S. 1993. Dari Benih Kepada Benih. Penerbit Grasindo. Jakarta. 144 hal.
Sadjad, S., E. Muniarti, dan S. Ilyas. 1999. Parameter Pengujian Vigor Benih dari Komparatif ke Simulatif. Grasindo. Jakarta. 185 hal.
Schmidt, L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Subtropis. Mohammad N, Anto R, Bambang S, Didik P, Rina LH, Budi L, Noak K, M. Charomaini, Tajudin EK, Bintoro, Citra BP, penerjemah. Jakarta: Departemen Kehutanan. Terjemahan dari: Guide to Handling of Tropical and Subtropical Forest Seed.
SETNEG. 2010. Sekertaris Negara Republik Indonesia. Upaya Peningkatan Produksi Kedelai. Jakarta 2010. www.setneg.go.id. (diakses pada tanggal 10 Mei 2012).
Sorensen, F.C. and Campbell, R.K. 1993.  Seed Weight-Seedling Size Correlation in Coastal Douglas Fir: Genetic and Enviromental Component.  Canadian Jurnal of Forest Research. 23:2, 275-285.
Suprapto, H.S. 2001. Bertanam Kedelai. Cetakan ke-2. Penebar Swadaya. Jakarta. 129 hal.
Taliroso, D. 2008. Deteksi Status Vigor Benih Kedelai (Glycine max L. Merr) melalui Metode Uji Daya Hantar Listrik. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 84 hal.
Vaughan, J.G. 1970. The Structure and Utilization of Oil Seeds. Chapmant and Hall LTD, London. 279p
Wafiroh S. 2010. Pengujian vigor benih menggunakan metode pengusangan cepat terkontrol dan korelasinya terhadap daya tumbuh dan vigor bibit wijen (Sesamum indicum L.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

 LAMPIRAN

Tabel  3. Rekapitulasi Sidik Ragam Pengaruh Varietas Benih, Lama Pengusangan, dan Interaksinya terhadap  Daya Berkecambah (DB), Kecepatan Tumbuh (KCT)  dan Kadar Air (KA).
Tolok Ukur
V
W
V x W
KK
DB (%)
tn
tn
tn
93.05
KCT (% etmal-1)
tn
tn
tn
100.9
KA(%)
tn
tn
tn
16
Keterangan :
tn = berpengaruh tidak nyata pada taraf α=1%; V=Var. Benih; W=Lama pengusangan; VxW= Interaksi antara varietas benih dengan lama pengusangan; KK= koefisien keragaman
  • Deskripsi Varietas Kaba
Varietas Kaba telah dilepas sejak tahun 2001
Nomor asal                         : MSC 9524-IV-C-7
Asal                                    : SIlang-ganda 16 tetua
Warna hipokotil                 : Ungu
Warna ipojotil                    : Hijau
Warna bunga                      : Ungu
Warna kulit biji                  : Kuning
Warna hilum biji                : Coklat
Warna polong masak         : Coklat
Warna bulu                         : Coklat
Tipe tumbuh                       : Determinit
Tinggi tanaman                  : 64 cm
Umur berbunga                  : 35 hari
Umur polong masak          : 85 hari
Bentuk biji                          : Lonjong
Bobot 100 biji                    : 10.37 gram
Ukuran biji                         : Sedang
Kandungan protein            : 44%
Kandungan lemak             : 14%
Sifat                               : Agak tahan penyakit karat daun, tahan rebah, polong tidak  0mudah 0pecah, adaptasi luas, sesuai untuk lahan sawah.


  • Varietas Wilis

Wilis merupakan hasil seleksi keturunan persilangan orba dengan no 1682
Warna hipokotil                  : ungu
Warna epikotil                    : ungu
Warna daun                       : hijau
Warna biji                           : kuning
Bentuk biji                          : oval, agak pipih
Warna bulu                         : coklat tua
Warna kulit polong masak : coklat tua
Tipe tumbuh                       : semi determinate
Tinggi tanaman                   : 60cm
Umur berbunga                  : 39 hari          
Umur polong masak           : 88 hari
Kandungan protein            : 37%
Bobot 100 biji                    : 10 gram
Kandungan lemak              : 18%
Produktivitas                      : 1.6 ton/ha

  •  Varietas Anjasmoro

 Dilepas pada tahun                  : 2001
Nomor galur                            : Mansuria 395-49-4
Daya hasil                                : 2,03-2,25 t/ha
Warna hipokotil                       : Ungu
Warna epikotil                         : Ungu
Warna daun                             : Hijau
Warna bulu                              : Putih
Warna bunga                           : Ungu
Warna kulit biji                        : Kuning
Warna polong masak               : Coklat muda
Warna hilum                            : Kuning kecoklatan
Bentuk daun                            : Oval
Ukuran daun                           : Lebar
Tipe tumbuh                            : Determinit 
Umur berbunga                       : 35,7-39,4 hari
Umur potong masak                : 82,5-92,5 hari
Tinggi tanaman                        : 64-68 cm
Percabangan                            : 2,9-5,6 cabang
Jumlah buku batang utama      : 12,9-14,8
Bobot 100 biji                         : 14,8-15,3 g
Kandungan protein                 : 41,8-42,1%
Kandungan lemak                   : 17,2-18,6%
Kerebahan                               : Tahan rebah
Ketahanan terhadap penyakit   : Moderat terhadap karat daun
Sifat lain                                  : Polong tidak mudah pecah


Komentar

Postingan populer dari blog ini

REPLIKASI, TRANSKRIPSI DAN TRANSLASI (SINTESIS PROTEIN)

Centotheca lappacea (Linnaeus) Desvaux

METODE SELEKSI PADA TANAMAN MENYERBUK SENDIRI DALAM PEMULIAAN TANAMAN