Deteksi Tingkat Kemasakan Benih Melalui Analisis Klorofil dan Karoten
Latar Belakang
Cabai (Capsicum Annum L) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi penting di Indonesia. Sebagai salah satu komoditas hortikultura jenis sayuran buah, cabai berperan penting untuk memenuhi kebutuhan konsumsi nasional maupun sebagai komoditas ekspor. Kebutuhan yang besar menyebabkan banyaknya petani yang melakukan budidaya cabai. Hal ini menyebabkan besarnya kebutuhan benih cabai sebagai bahan tanam.
Mutu benih merupakan sebuah konsep yang kompleks yang mencakup sejumlah faktor yang masing-masing mewakili prinsip-prinsip fisiologi, misalnya daya berkecambah, viabilitas, vigor dan daya simpan. Hal ini menimbulkan kesulitan memperoleh penciri (marker) fisik, biokimia maupun molekular yang mampu menduga mutu benih. Dalam tulisan ini akan diulas kemungkinan penggunaan fluresen klorofil benih sebagai salah satu penciri fisik dan biokimia dalam penentuan mutu benih.
Benih yang bermutu tinggi sangat menentukan viabilitas dan vigor yang baik. Salah satu faktor yang menentukan viabilitas dan vigor benih adalah saat panen yang tepat dimana benih mencapai masak fisiologi. Pengetahuan mengenai tingkat kemasakan buah cabai sangat mempengaruhi mutu benih cabai yang dihasilkan. Masak fisiologis adalah kondisi yang penting untuk menentukan waktu pemanenan benih yang tepat. Sinuraya (2007) menyatakan bahwa masak fisiologis cabai rawit varietas Rama tercapai pada tingkat kemasakan 50 HSBM (hari setelah bunga mekar). Pada fase tersebut, benih mengalami perubahan dan perkembangan fisiologis seperti kadar air minimum, bobot kering maksimum, dan total kandungan karotenoid benih maksimum. Suhartanto (2003) menyatakan benih buah tomat mencapai masak fisiologi pada 85 HST. Pada saat itu kandungan klorofil benih tomat minimum.
Kualitas awal benih optimum saat masak fisiologi dimana daya berkecambah, vigor dan bobot kering maksimum. Banyak tolok ukur digunakan untuk menentukan tingkat kemasakan benih antara lain bobot kering benih, kadar air benih, bobot 1000 butir benih, daya berkecambah dan kecepatan tumbuh benih. Tolok ukur tersebut mempunyai kelemahan yakni, diperlukan waktu yang relatif lama untuk mengetahui hasilnya. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan menggunakan suatu tolok ukur yang lebih cepat dalam mendeteksi tingkat kemasakan benih. Salah satu tolok ukur yang dapat digunakan untuk mendeteksi tingkat kemasakan benih adalah dengan mendeteksi kandungan klorofil dan karotenoid dalam benih yang berhubungan dengan perubahan warna pada buah pada setiap fase kemasakan buah. Karoten dan klorofil berfungsi dalam membantu proses penyerapan cahaya pada proses fotosintesis. Jalink et al. (1998) menyatakan bahwa keuntungan dari penggunaan metode chlorophyll fluorescence untuk memilah benih adalah sensitifitasnya yang tinggi, metode ini tidak destruktif, cepat dan khusus untuk mendeteksi klorofil.
Jalink (1996) menemukan alat pemilah benih berdasarkan fluoresen dari klorofil. Alat (LIF: Laser Induced Fluorescence) ini mampu mendeteksi fluoresen dari klorofil dengan sensitifitas yang tinggi. Penemuan ini membangkitkan keinginan untuk menggali informasi tentang peranan klorofil dalam benih, karena keunggulan utama alat ini adalah selain sangat sensitif juga dalam proses pengukurannya tidak merusak benih. Setelah dianalisis benih dapat digunakan untuk kegiatan penelitian atau pengujian fisiologis dan biokimia lainnya. Berbeda dengan alat pemilahan benih berdasarkan warna (color separator) lainnya yang hanya mampu memilah benih bila dalam lot benih tersebut memiliki perbedaan yang jelas dan menyolok (biasanya bisa dibedakan dengan mata), alat pengukur dan pemilah benih berdasarkan fluoresen klorofil ini mampu memilah benih yang memiliki perbedaan warna (hijau/klorofil) yang sangat kecil yang tidak mampu diamati dengan mata telanjang, seperti pada benih tomat, cabe, kubis, wortel dan lain-lain. Benih-benih ini sangat sulit dipisahkan karena pada periode pemasakan memiliki ukuran, bentuk dan berat yang relatif sama. Karena relatif merupakan parameter baru, fluoresen dari klorofil benih diharapkan dapat bersinergi dengan parameter fisiologis lainnya untuk mengungkap masalah mutu benih.
Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara tingkat kemasakan buah cabai dengan kadar klorofil dan karoten dalam benih.
Hipotesis
1. Kandungan klorofil berbeda pada setiap tingkat kemasakan benih yang diuji.
2. Kandungan karoten berbeda pada setiap tingkat kemasakan benih yang diuji.
3. Kandungan klorofil dan karoten dapat dijadikan indicator masak fisiologi benih.
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Cabai
Cabai merupakan salah satu jenis sayuran penting yang dibudidayakan secara komersial di negara-negara tropis. Tercatat berbagai spesies cabai yang telah didomestikasi, namun hanya Capsicum annuum L. dan C. frutescens L. yang memiliki potensi ekonomis (Sulandari, 2004). Cabai yang dibudidayakan secara luas di Indonesia juga termasuk kedua spesies ini. Cabai besar dan cabai keriting, misalnya, termasuk spesies C. annuum sedangkan cabai rawit termasuk C. frutescens.
Tanaman cabai merupakan tanaman yang menyerbuk sendiri (self – pollinated crop). Namun demikian, persilangan antar varietas secara alami sangat mungkin terjadi di lapangan yang dapat menghasilkan ras-ras cabai baru dengan sendirinya (Cahyono,2003), sehingga bisa juga terjadi penyerbukan silang. Beberapa sifat tanaman cabai yang dapat digunakan untuk membedakan antar varietas di antaranya adalah percabangan tanaman, pembungaan tanaman, ukuran ruas, dan tipe buahnya (Prajnanta,1999).
Bunga pada tanaman cabai terdapat pada ruas batang dan jumlahnya bervariasi antara 1-8 bunga tiap ruas tergantung pada spesiesnya. C. annuum mempunyai satu bunga tiap ruas. Sedangkan cabai rawit (C. frutescens) mempunyai 1-3 bunga tiap ruas. Ukuran ruas tanaman cabai bervariasi dari pendek sampai panjang. Makin banyak ruas makin banyak jumlah bunganya, dan diharapkan semakin banyak pula produksi buahnya. Buah cabai bervariasi antara lain dalam bentuk, ukuran, warna, tebal kulit, jumlah rongga, permukaan kulit dan tingkat kepedasannya. Berdasarkan sifat buahnya, terutama bentuk buah, cabai besar dapat digolongkan dalam tiga tipe, cabai merah, cabai keriting dan cabai paprika (Prajnanta,1999). Karakteristik agronomi cabai merah (besar) buahnya rata atau halus, agak gemuk, kulit buah tebal, berumur genjah, kurang tahan simpan dan tidak begitu pedas. Tipe ini banyak diusahakan di Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali dan Sulawesi. Sedangkan cabai merah keriting buahnya bergelombang atau keriting, ramping, kulit buah tipis, berumur lebih lama, lebih tahan simpan, dan rasanya pedas.
Umur cabai sangat bervariasi tergantung jenis cabai. Tanaman cabai besar dan keriting yang ditanam di dataran rendah sudah dapat dipanen pertama kali umur 70 –75 hari setelah tanam. Sedangkan waktu panen di dataran tinggi lebih lambat yaitu sekitar 4 – 5 bulan setelah tanam. Panen dapat terus-menerus dilakukan sampai tanaman berumur 6 – 7 bulan. Pemanenan dapat dilakukan dalam 3 – 4 hari sekali atau paling lama satu minggu sekali (Nawangsih dkk., 1999).
Perubahan Fisiologi Selama Perkembangan dan Pemasakan Benih
Pada saat proses perkembangan benih terjadi berbagai proses biokimia, seperti aktivitas pembentukkan cadangan makanan. Pada umumnya, pada benih yang telah masak terkandung paling sedikit dua atau tiga jenis cadangan makanan yang disimpan dalam jumlah yang tidak sedikit (Bewley, 1994). Kebanyakan dari cadangan makanan tersebut terbentuk selama proses perkembangan benih. Cadangan makanan yang terbentuk selama perkembangan benih diantaranya pembentukkan karbohidrat, lemak, dan protein (Bewley, 1994).
Proses perkembangan benih berpengaruh terhadap perilaku biokimia dan fisiologi benih juga kualitas, kemampuan daya berkecambah, keseragaman pertumbuhan benih dan daya simpan benih (Liu dalam Suhartanto, 2002). Pada tahap perkembangannya benih mengalami proses pemasakan. Proses pemasakan adalah fase dimana perkembangan bobot kering benih tidak bertambah lagi (maksimum). Pada fase ini kadar air mencapai kondisi minimum. Pada umumnya, kadar air benih sangat tinggi setelah penyerbukkan dan menurun selama perkembangan benih sampai masak fisiologi, setelah lewat fase tersebut, naik turunnya kadar air sangat ditentukan oleh kelembaban relatif lingkungan ketika panen (Villela, 1998).
Suhartanto (2003) menyatakan bahwa klorofil dibutuhkan dalam pembentukan benih, namun sangat tidak diharapkan dalam tahap pemasakan benih karena akan berpengaruh negatif terhadap mutu benih, terutama daya simpan benih. Diduga klorofil benih dapat menjadi sumber radikal bebas. Kandungan klorofil yang terdapat dalam benih tomat berkorelasi negatif terhadap kemampuan berkecambahnya. Berdasarkan penelitian tersebut maka kandungan klorofil dalam benih dapat dijadikan sebagai indikator dalam menentukan masak fisiologis benih tomat. Masak fisiologi benih tomat dapat dilihat dari daya berkecambah benih yang tinggi. Kondisi tersebut didapat pada saat kandungan klorofil dalam benih minimum. Kandungan klorofil benih minimum karena terjadinya proses degradasi klorofil dalam benih. Suhartanto (2002) menyatakan bahwa proses degradasi klorofil pada benih tomat masih terjadi walaupun benih sudah dikeringkan. Suhartanto (2002) juga menyatakan bahwa degradasi klorofil benih yang berasal dari buah beukuran kecil lebih cepat dibandingkan dengan buah yang berukuran besar.
Selain klorofil, ternyata karotenoid juga dapat dijadikan sebagai indikator masak fisiologi benih. Total klorofil berpengaruh negatif dengan total karotenoid. Prasetyaningsih (2006) menunjukkan bahwa total karotenoid benih jagung manis berbeda pada setiap tingkat kemasakan. Karotenoid maksimum dicapai saat benih mencapai masak fisiologi. Selanjutnya Sinuraya (2007) menyatakan bahwa masak fisiologi cabai rawit varietas Rama tercapai pada tingkat kemasakan 50 HSBM (hari setelah bunga mekar). Pada fase tersebut, benih mengalami perubahan dan perkembangan fisiologi seperti kadar air minimum, bobot kering benih maksimum, dan total kandungan karotenoid benih maksimum.
Kandungan Klorofil dan Karotenoid
Klorofil yang berperan penting dalam proses fotosintesis dan karoten yang berperan melindungi klorofil sebagai pigmen tidak hanya terdapat pada daun tetapi juga ditemukan di dalam buah dan biji. Kandungan klorofil dalam benih berubah sesuai dengan tahap pembentukan dan perkembangan benih. Suhartanto (2003) menyatakan bahwa klorofil dibutuhkan dalam pembentukan benih, namun sangat tidak diharapkan dalam tahap pemasakan. Kehadiran klorofil dalam tahap pemasakan tampaknya berhubungan erat dengan rendahnya mutu benih, khususnya daya simpannya. Ooms dan Destain (2011), kandungan klorofil benih chicory menurun selama pemasakan. Klorofil paling baik sebagai indicator untuk menguji vigor benih chicory yang berumur 21 dan 36 HSB.
Dengan pola penurunan kandungan klorofil dalam benih dari pembentukan sampai ke pemasakan benih, klorofil fluresen dapat digunakan sebagai teknik untuk menganalisa dan memilah kematangan berbagai benih (Jalink et al, 1998). Indikator kandungan klorofil dapat digunakan untuk penentuan kematangan brokoli ( Toivonen and De Ell, 1998). Pada benih tomat, fluoresen klorofil benih juga dapat digunakan sebagai indikator masak fisiologis benih ( Suhartanto, 2003). Sedangkan pada buah pepaya, Bron et al. (2004) menyatakan bahwa pengukuran kandungan klorofil dapat dijadikan salah satu parameter penentuan kualitas buah pepaya.
Selain klorofil a dan b, pada benih tomat muda (30-40 HSB) juga mengandung karatenoid (neoxanthine, violaxanthine, lutein, zeaxanthine dan β ̴ Caroten) (Suhartanto,2002). Karatenoid merupakan antioksidan yang mampu bereaksi dengan triplet klorofil untuk menghasilkan triplet karatenoid dan merupakan metode efektif untuk mencegah terbentuknya singlet oksigen. Karotenoid pada benih banyak terdapat pada benih saat mencapai fase masak. Hardiansyah (2010) menyatakan bahwa masak fisiologi benih terung dicapai ketika karotenoid total telah maksimum. Selain itu, menurut Sinuraya (2007) bahwa total karatenoid pada benih cabai rawit varietas Sulawesi meningkat dengan bertambahnya kemasakan dan mencapai maksimum pada umur panen 50 HSBM (0.30 mg/g), dimana masak fisiologi tercapai kemudian pada tingkat kemasakan selanjutnya kandungan karatenoid benih menunjukkan penurunan.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Praktikum dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih dan Laboratorium RGCI Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB Darmaga Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan yaitu benih cabai, acetris, air bebas ion, kertas merang, plastik, dan kertas label. Peralatan yang digunakan antara lain centrifuge MR 1812, spectrophotometer UV-1201, Alat LIF (Laser Induced Flouresence), mortar, mixer, blender, tabung reaksi, pipet, oven, timbangan, hand sprayer, sudip, labu erlenmeyer, cawan petri, cawan alumunium, pinset, dan Alat Pengecambah Benih IPB 73-2A.
METODE
Rancangan Percobaan
Rancangan yang digunakan dalam praktikum ini adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan faktor tunggal yaitu tingkat kemasakan benih dengan 4 taraf, dengan tiga ulangan. Tingkat kemasakan benih yang akan diuji terdiri dari: (I) 0% merah (Hijau kecoklatan), (II) 40% merah, (III) 70-80% berwarna merah dan (IV) 100% Warna merah.
Model matematis rancangan yang digunakan adalah:
Yij = µ + Ki+ Nj + Ɛij Dimana i = 1,2,3,4 j= 1,2,3
Keterangan:
Yij = nilai pengamatan tanaman terung umur panen ke-i dalam kelompok ke-j
µ = rata-rata umum hasil pengamatan
Ki = pengaruh tingkat kemasakan ke-i
Nj = pengaruh ulangan ke-j
Ɛij = pengaruh galat tingkat kemasakan ke-i pada ulangan ke-j
Percobaan terdiri dari 3 ulangan. Data yang diperoleh diuji dengan uji F, apabila menunjukkan pengaruh nyata maka dilakukan pengujian lanjut dengan menggunakan uji wilayah berganda duncan (DMRT) pada taraf 5%.
Pengamatan
Pengamatan yang dilakukan meliputi :
1. Kandungan klorofil
2. Kandungan karoten
3. Daya berkecambah
4. Kadar air saat panen
5. KCT
6. Indeks Vigor
7. Bobot 1000 butir
Rencana Pelaksanaan
1. Ekstraksi
Buah cabai dipanen dengan empat criteria kemasakan yang berbeda. Selanjutnya buah cabai diekstrak benihnya dengan cara manual. Benih yang diperoleh selanjutnya segera dilakukan pengujian kadar air.
2. Pengukuran Kadar Air Benih
Pengukuran kadar air menggunakan metode langsung dengan oven suhu rendah (103 ± 2 °C) selama 17 jam. Kadar air dihitung menggunakan rumus:
KA = ((M2-M1)-(M3-M1))/(M2-M1) x 100%
Keterangan :
KA = kadar air benih (%)
M1 = bobot cawan
M2 = bobot benih + cawan sebelum dioven
M3 = bobot benih + cawan setelah dioven
3. Penghitungan KCT
Kecepatan tumbuh dihitung dengan menghitung persentase kecambah normal per etmal.
4. Daya Berkecambah
Sebanyak 25 butir benih ditanam dengan metode uji di atas kertas (UAK). Pengamatan hitungan pertama dilakukan pada hari ke-7 dan penghitungan ke-2 dilakukan pada hari ke14. Daya berkecambah benih cabai dihitung dengan rumus:
DB = ((KN1+KN2)/Jumlah benih yang ditanam) x 100%
Keterangan:
DB = daya berkecambah benih (%)
KN = kecambah normal
5. Indeks Vigor
Sebanyak 25 butir benih ditanam dengan metode uji di atas kertas (UAK). Pengamatan dilakukan pada hari ke-7 setelah tanam.
6. Bobot 1000 butir.
Benih cabai dihitung 1000 butir lalu ditimbang.
7. Kandungan klorofil dan karoten
Pengukuran klorofil dan karoten dilakukan menggunakan metode Sims and Gamon 2002 ). Prosedur pelaksanaan pengukuran kandungan klorofil dan karoten sebagai berikut :
1. Sebanyak 0.5 gram benih cabai digerus lalu diambil 0.2 gram.
2. Gerusan ditambahkan dengan acetris lalu dimasukkan ke dalam mikrotube 2 ml sampai penuh.
3. Sentrifuge selama ± 10 detik lalu ambil 1 ml dengan pipet dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi.
4. Tambahkan 3 ml acetris ke dalam tabung reaksi (tutup dengan kelereng) lalu dicampur menggunakan vortex
5. Baca hasilnya menggunakan Spectrophotometer
Gambar Spektrofotometer
Antosianin = (0.08173*A537 - 0.00697*A647 - 0.002228*A663) x (8/bobot sample)
Chla = (0.01373*A663 - 0.000897*A537 - 0.003046*A647) x (8/bobot sample)
Chlb = (0.02405*A647 - 0.004305*A537 - 0.005507*A663) x (8/bobot sample)
Carotenoids = (A470-(17.1*(Chla+Chlb)-9.479*Antosianin))/119.26) x (8/bobot sample)
Total Klorofil = Chla + Chlb
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rekapitulasi Hasil DB, KCT dan Bobot 1000 butir
Daya Berkecambah (DB), Kecepatan Tumbuh (KCT) dan Bobot 1000 butir benih cabai pada perlakuan tingkat kemasakan dan sidik ragamnya disajikan pada Tabel 3, 4 dan 5 (Lampiran). Sidik ragam pada tolok ukur DB, KCT dan bobot 1000 butir menunjukkan bahwa perlakuan tingkat kemasakan benih cabai memberikan pengaruh sangat nyata. Uji lanjut perlakuan tingkat kemasakan benih cabai pada tolok ukur DB, KCT dan bobot 1000 butir disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Tolok ukur Daya Berkecambah, Kecepatan Tumbuh dan Bobot 1000 butir.
Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Tolok ukur Daya Berkecambah, Kecepatan Tumbuh dan Bobot 1000 butir.
TK
|
DB (%)
|
KCT (%/etmal)
|
1000 Butir (g)
|
||||||
I
|
1.33
|
c
|
0.10
|
c
|
0.32
|
b
|
|||
II
|
5.33
|
bc
|
0.46
|
c
|
0.40
|
ab
|
|||
III
|
26.67
|
b
|
2.42
|
b
|
0.44
|
a
|
|||
IV
|
52.00
|
a
|
4.94
|
a
|
0.47
|
a
|
|||
Keterangan : Angka-angka yang masih diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak
berbeda nyata pada uji DMRT α = 0,01.
Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan tingkat kemasakan IV menunjukkan hasil terbaik pada semua tolok ukur. Pada Daya Berkecambah, tingkat kemasakan IV memiliki hasil terbaik (52.00%) dan berbeda nyata dengan tingkat kemasakan lainnya. Pada tolok ukur KCT, tingkat kemasakan IV juga memiliki hasil terbaik (4.94%/etmal) dan berbeda nyata dengan tingkat kemasakan lainnya. Demikian pula pada Bobot 1000 butir, dimana perlakuan tingkat kemasakan IV memiliki hasil terbaik (0.47g) dan tidak berbeda nyata dengan tingkat kemasakan III tetapi berbeda nyata dengan tingkat kemasakan I dan II.
Tingkat kemasakan IV memiliki warna merah 100% menandakan bahwa benih yang digunakan telah memiliki masak fisiologis yang baik. Produksi benih berkualitas sangat ditentukan oleh penentuan waktu panen yang tepat. Waktu panen yang tepat yakni, pada saat benih mencapai masak fisiologi. Valdes dan Gray (1998) menyatakan bahwa persentase benih tomat yang berkecambah maksimum terjadi pada saat stadia buah masak dan hal tersebut tidak terjadi pada stadia buah belum masak. Perkecambahan paling cepat berasal dari stadia buah masak (merah). Buah tomat yang dipanen pada saat stadia merah, dimana benih mencapai bobot kering maksimum akan menghasilkan viabilitas dan daya berkecambah maksimum. Bobot kering benih berasosiasi dengan warna buah (Demir, 2001). Selanjutnya Valdes dan Gray (1998) menyatakan bahwa pada umumnya, peningkatan bobot kering benih tomat sangat lambat dan hanya sedikit sekali setelah buah masak. Buah masak memiliki perbedaan nyata bobot kering benih yang lebih tinggi daripada buah yang belum masak. Hal ini didukung oleh penelitian Ratnasari (1996) bahwa perlakuan umur panen kacang tanah 85 HST berpengaruh sangat nyata terhadap viabilitas kacang tanah baik daya berkecambah, KCT, bobot kering dan bobot 1000 butir.
Kandungan Klorofil dan Karotenoid
Kandungan klorofil dan karatenoid pada benih cabai memiliki hasil pengamatan menggunakan spektrofotometer disajikan pada Tabel 6 (Lampiran). Adapun grafik kandungan klorofil dan karatenoid benih cabai ditunjukkan pada Gambar 1 (Lampiran). Rekapitulasi kandungan klorofil dan karotenoid benih cabai disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Rekapitulasi Kandungan Klorofil dan Karotenoid benih Cabai.
No.
Sampel
|
Total Klorofil
|
Karotenoid
|
umol/g
|
||
1
|
-0.014
|
0.077
|
2
|
-0.030
|
0.131
|
3
|
-0.031
|
0.128
|
4
|
-0.031
|
0.122
|
5
|
-0.012
|
0.171
|
6
|
-0.003
|
0.102
|
7
|
-0.010
|
0.093
|
8
|
-0.022
|
0.055
|
9
|
-0.009
|
0.080
|
10
|
-0.007
|
0.086
|
11
|
-0.012
|
0.084
|
12
|
-0.015
|
0.075
|
Rata-rata
|
-0.016
|
0.100
|
Sumber
: Data Primer, 2012.
Pada Gambar 1 diatas menunjukkan kandungan klorofil pada benih Cabai masih terlalu rendah dengan rata-rata klorofil dari 12 sampel adalah -0.016 µmol/l. Demikian pula dengan hasil karotenoid benih cabai dengan rata-rata mencapai 0.100 µmol/l. Rendahnya hasil yang diperoleh diperkirakan karena disebabkan oleh Intensitas cahaya dan panjang hari yang dapat mempengaruhi perbedaan kandungan klorofil benih cabai tersebut. Suhartanto (2002) juga melaporkan bahwa degradasi klorofil benih yang berasal dari buah bahwa degradasi klorofil benih yang berasal dari buah berukuran kecil terjadi lebih cepat dibanding buah berukuran besar. Secara umum telah diketahui bahwa cahaya mengendalikan perkembangan kloroplas. Perubahan kualitas cahaya mengakibatkan perubahan keseimbangan ekspresi gen kloroplas pada fotosistem I dan II (Pfannschmidt et al., 1999). Hilangnya kemampuan untuk berfotosintesis diduga disebabkan oleh menurunnya intensitas cahaya yang dapat mencapai kloroplas benih akibat terjadinya akumulasi zat-zat cadangan makanan selama periode pemasakan benih. Selain itu, juga disebabkan oleh tingkat kemasakan benih cabai yang berlebihan dimana Suhartanto (2003) menyatakan bahwa kandungan klorofil pada benih tomat berkorelasi negatif dengan daya berkecambah benih. Kandungan klorofil mengalami penurunan sejalan dengan stadia kemasakan buah hingga tidak terdeteksi lagi pada stadia perkembangan buah lewat dari 57-60 HSB. Sedangkan daya berkecambah benih terus mengalami peningkatan sejalan dengan stadia kemasakan buah.
Hasil karotenoid memiliki kandungan yang lebih banyak dibandingkan dengan klorofil pada benih cabai. Karotenoid pada benih banyak terdapat pada benih saat mencapai fase masak. Hardiansyah (2010) menyatakan bahwa masak fisiologi benih terung dicapai ketika karotenoid total telah maksimum. Howard et al. (2000) yang menyatakan bahwa kandungan pigmen karotenoid dan ß-karoten berbeda untuk setiap genotipe cabai yang berlainan. Karotenoid berfungsi sebagai antioksidan yang melindungi benih dari radikal bebas. Kandungan total karotenoid buah cabai berbeda untuk setiap stadia kemasakan dan total karotenoid tertinggi terdapat pada buah masak.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dalam praktikum ini adalah :
- Tingkat kemasakan IV (100% warna merah) memiliki hasil terbaik pada tolok ukur DB (52.00%), KCT (4.94%/etmal) dan Bobot 1000 butir (0.47g).
- Rata-rata kandungan klorofil benih cabai masih rendah (-0.016 µmol/l) dan kandungan karotenoid benih cabai dengan rata-rata mencapai 0.100 µmol/l.
- Kandungan klorofil pada benih berkorelasi negatif dengan daya berkecambah benih. Kandungan klorofil mengalami penurunan sejalan dengan stadia kemasakan buah.
Saran
Praktikum mengenai deteksi tingkat kemasakan benih melalui analisis karotenoid dan klorofil benih sebagai indikator mutu benih perlu dilakukan lebih lanjut. Terutama, pada benih lain yang lebih beragam.
DAFTAR PUSTAKA
Bewley, J.D. 1994. Seed, Physiology of Development and Germination
(SecondEdition). Plenum Press, New York and London.
Bron, I. U., R. V. Ribeiro,
M. Azzolini,A. P. Jacomino, and E. C. Machado. 2004. Chlorophyll
fluorescence as a tool to evaluate theripening of ‘Golden’ papaya fruit.
Postharvest Biology and Technology 33: 163–173
Cahyono, B. 2003. Teknik Budidaya Cabai rawit dan Analisis Usaha
Tani. Kanisius. Yogyakarta.
Demir, I. 2001. 2001. Quality of tomato seeds as affected by fruit
maturity at harvest and seed extraction methods. Gartenbauwissenschaft.
66(4):199202.
Howard, I. R., S. T. Talcott, C. H. Brenes, and B.Villalon. 2000.
Changes in phytochemical and antioxidant activity of selected pepper cultivare (Capsicum
species) as influenced by maturity. J. Agric. Food Chem. 48:1713-1720.
Jalink, H., A. Frandas, R. Van Der Schoor, and J.B.
Bino. 1998. Chlorophyll Fluorescence of
The Testa of Brassica Oleracea Seeds As An Indicator of Seed Maturity and
Seed Quality. Sci. Agric., Piracicaba, 55:88-93 p
Jalink, H. 1996. Werkwijze voor het bepalen van de rijpheid en
kwaliteit van zaden middels hetchlorofylgehalte en enrichting voor het
selecteren van zaden met behulp van een dergelijke werkwijze. Ducth Patent No. 1002984.
Nawangsih, A.A., H. Purwanto, W. Agung. 1999. Budidaya Cabai Hot
Beauty. Cetakan kedelapan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Ooms,
D. And M.F. Destain. 2011. Evaluation of chicory seeds maturity by chlorophyll fluorescence
imaging. Biosystems Engineering 110: 168 – 177.
Pfannschmidt, T., A. Nilson, J.F. Allen. 1999.
Photosynthetic control of chloroplast gene expression. Nature 397: 625-628.
Prajnanta, F. 1999. Mengatasi Permasalahan Bertanam Cabai. Cetakan
ke 4. Penebar Swadaya. Jakarta.
Prasetyaningsih,
G. W. 2006. Kemungkinan Karotenoid Sebagai Indikator Tingkat Masak Fisologi
Benih Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt.). Skripsi. Program
Pemuliaan Tanaman dan Teknologi Benih. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian
Bogor. 33 hal.
Ratnasari
RH. 1996. Kemungkinan agrinin sebagai indikasi tingkat kemasakan fisiologi
benih kacang tanah . [skripsi]. Bogor :
Fakultas Pertanian , IPB. 42 hal.
Sinuraya, F.
2007. Indikator Karotenoid
Untuk Menentukan Masak
Fisiologi Benih Cabai
Rawit (Capsicum frutescens L.) Varietas Sulawesi dan Rama. Skripsi. Pemuliaan Tanaman
dan Teknologi Benih.
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Suhartanto, M.R. 2002. Chlorophyll in tomato seeds: marker for seed
performance?. (Dissertation). Wageningen University, The Netherlands.
Suhartanto, M.R.
2003. Fluoresen Klorofil Benih: Parameter Baru dalam Penentuan Mutu Benih. Bul.
Agron. 31(1):26-30.
Sulandari S. 2004. Karakterisasi Biologi, Serologi dan
Analisis Sidik Jari DNA Virus Penyebab
Penyakit Daun Keriting Kuning Cabai. Disertasi SPs IPB. Bogor.
Toivonen,
P.M.A. and J.R. DeEll. 1998. Differences in chlorophyll fluorescence and
chlorophyll contentof broccoli associated with maturity and sampling section.
Postharvest Biology and Technology 14: 61 – 64.
Villela,
F.A. 1998. Water relations in seed biology. Sci. Agric. 55:98-101.
LAMPIRAN
Tabel
3. Sidik ragam perlakuan tingkat kemasakan benih cabai terhadap tolok ukur daya
berkecambah.
SK
|
DB
|
JK
|
KT
|
F HIT
|
F 0.05
|
F 0.01
|
|
PLK
|
3
|
4874.667
|
1624.889
|
25.389
|
**
|
4.066
|
7.591
|
GALAT
|
8
|
512.000
|
64.000
|
||||
TOTAL
|
11
|
5386.667
|
|||||
Tabel
4. Sidik ragam perlakuan tingkat kemasakan benih cabai terhadap tolok ukur kecepatan
tumbuh.
SK
|
DB
|
JK
|
KT
|
F HIT
|
F 0.05
|
F 0.01
|
|
PLK
|
3
|
44.515
|
14.838
|
37.592
|
**
|
4.066
|
7.591
|
GALAT
|
8
|
3.158
|
0.395
|
||||
TOTAL
|
11
|
47.672
|
|||||
Tabel
5. Sidik ragam perlakuan tingkat kemasakan benih cabai terhadap tolok ukur bobot
1000 butir.
SK
|
DB
|
JK
|
KT
|
F HIT
|
F 0.05
|
F 0.01
|
|
PLK
|
3
|
0.048
|
0.016
|
12.428
|
**
|
3.490
|
5.953
|
GALAT
|
12
|
0.015
|
0.001
|
||||
TOTAL
|
15
|
0.063
|
|||||
Tabel
6. Hasil pengamatan kandungan klorofil dan karatenoid pada benih cabai.
Sampel
|
Bobot
|
Absorban
|
Fp
|
vol
|
umol/g
|
|||||||
g
|
663
|
647
|
537
|
470
|
Klor
a
|
Klor
b
|
Klor
Tot
|
Antho
|
Karoten
|
|||
1
|
0.5
|
-0.17
|
0.02
|
0.042
|
0.108
|
1
|
6
|
-0.029
|
0.015
|
-0.014
|
0.044
|
0.077
|
2
|
0.5
|
-0.19
|
-0
|
0.016
|
0.052
|
1.5
|
6
|
-0.047
|
0.017
|
-0.030
|
0.031
|
0.131
|
3
|
0.5
|
-0.19
|
-0
|
0.013
|
0.057
|
1.5
|
6
|
-0.047
|
0.016
|
-0.031
|
0.027
|
0.128
|
4
|
0.5
|
-0.19
|
-0.01
|
0.011
|
0.039
|
1.5
|
6
|
-0.048
|
0.016
|
-0.031
|
0.025
|
0.122
|
5
|
0.5
|
-0.15
|
0.04
|
0.059
|
0.093
|
1.5
|
6
|
-0.040
|
0.027
|
-0.012
|
0.088
|
0.171
|
6
|
0.5
|
-0.13
|
0.06
|
0.09
|
0.138
|
1
|
6
|
-0.025
|
0.021
|
-0.003
|
0.087
|
0.102
|
7
|
0.5
|
-0.15
|
0.037
|
0.068
|
0.111
|
1
|
6
|
-0.027
|
0.017
|
-0.010
|
0.068
|
0.093
|
8
|
0.5
|
-0.2
|
-0.01
|
0.009
|
0.036
|
1
|
6
|
-0.032
|
0.010
|
-0.022
|
0.015
|
0.055
|
9
|
0.5
|
-0.15
|
0.039
|
0.059
|
0.092
|
1
|
6
|
-0.027
|
0.018
|
-0.009
|
0.059
|
0.080
|
10
|
0.5
|
-0.15
|
0.044
|
0.066
|
0.113
|
1
|
6
|
-0.026
|
0.019
|
-0.007
|
0.065
|
0.086
|
11
|
0.5
|
-0.16
|
0.03
|
0.056
|
0.102
|
1
|
6
|
-0.028
|
0.016
|
-0.012
|
0.057
|
0.084
|
12
|
0.5
|
-0.17
|
0.018
|
0.041
|
0.083
|
1
|
6
|
-0.029
|
0.014
|
-0.015
|
0.043
|
0.075
|
Komentar