AKLIMATISASI PLANLET HASIL PERBANYAKAN SECARA KULTUR JARINGAN
PENDAHULUAN
Pucuk-pucuk dan planlet dari in vitro yang diregenerasikan di dalam lingkungan dengan kelembaban yang tinggi dan bersifat heterotroph, harus berubah menjadi autotroph bila dipindahkan ke tanah atau lapangan. Proses pemindakan merupakan langkah akhir dari prosedur mikropropagasi dan diistilahkan sebagai tahap aklimatisasi. Menurut Yusnita (2003), aklimatisasi yaitu suatu upaya mengkondisikan planlet atau tunas mikro hasil perbanyakan melalui kultur invitro ke lingkungan in vivo yang aseptik. Aklimatisasi merupakan proses yang penting dalam rangkaian aplikasi kultur jaringan untuk mendukung pengenmbangan pertanian.
(Sumber : http://atsiri.ub.ac.id/page/3/)
Masa aklimatisasi merupakan masa yang kritis karena pucuk atau planlet yang diregenerasikan dari kultur in vitro menunjukkan beberapa sifat yang kurang menguntungkan seperti lapisan lilin (kutikula) tidak berkembang dengan baik, kurangnya lignifikasi batang, jaringan pembuluh dari akar ke pucuk kurang berkembang dan stomata sering sekali tidak berfungsi (tidak menutup ketika penguapan tinggi). keadaan ini menyebabkan pucuk-pucuk in vitro sangat peka terhadap transpirasi, serangan candawan dan bakteri, cahaya dengan intensitas yang tinggi dan suhu yang tinggi. oleh karena itu, aklimatisasi pucuk-pucuk in vitro memerlukan penanganan yang khusus, bahkan diperlukan modifikasi terhadap kondisi kondisi lingkungan terutama dalam kaitannya dengan suhu, kelembaban dan intensitas cahaya. Di samping itu, medium tumbuh pun memiliki peranan yang cukup penting, khususnya bila pucuk-pucuk mikro yang diaklimatisasikan belum membentuk sistem perakaran yang baik (Zulkarnain, 2009). Penyesuaian bibit kultur terhadap lingkungan luar merupakan salah satu tahapan yang harus dilalui dalam kegiatan yang melibatkan kultur in vitro. Menurut Ziv, 1986 dalam Pierik, 1987, aklimatisasi adalah masa adaptasi planlet dari kultur heterotrofik menjadi autotrofik, yang merupakan tahap akhir dari kegiatan kultur in vitro. Aklimatisasi merupakan adaptasi planlet dari lingkungan yang terkendali (in vitro) ke lingkungan in vivo sebelum ditanam di lapangan (Husni et al. 2004).
Karakteristik planlet kultur In vitro
Tanaman yang berasal dari kultur in vitro sangat berbeda bila dibandingkan dengan tanaman yang hidup pada kondisi in vivo. Beberapa karakteristik khas tanaman hasil perbanyakan in vitro diuraikan sebagai berikut (Zulkarnain, 2009):
Daun
Tanaman yang berasal dari kultur in vitro sering memperlihatkan lapisan lilin (kutikula) yang kurang berkembang sebagai akibat tingginya kelembapan di dalam wadah kultur (90-100%). Hal ini menyebabkan tanaman kehilangan air dalam jumlah yang cukup besar melalui evaporasi kutikula pada saat tanaman dipindahkan ke tanah karena kelembapan udara pada kondisi in vivo jauh lebih rendah dibandingkian dengan kondisi in vitro. Planlet kadang-kadang memiliki daun yang tipis, lunak, tidak aktif berfotosintesis, dan tidak adaptif terhadap kondisi in vivo. Sel- sel palisade lebih kecil dan lebih sedikit jumlahnya sehingga tidak dapat menerima cahaya secara efisien dengan rongga udara mesofil yang lebih besar dibandingkan tanaman normal. Stomata tidak berfungsi dengan sempurna dan tidak menutup sehingga menyebabkan terjadinya cekaman air pada beberapa jam pertama aklimatisasi.
Jaringan angkut
Pada planlet hasil kultur jaringan, sistem pumbuluh angkut antara pucuk dan akar sering tidak terhubung dengan sempurna sehingga menyebabkan berkurangnya transport air dan unsur hara. Harus diingat bahwa dalam keadaan in vitro tanaman bersifat heterotroph sedangkan pada keadaan in vivo tanaman dituntut untuk menjadi autotroph, kebutuhan karbohidratnya harus disuplai melalui fotosintesis yang salah satu bahan bakunya adalah air.
Sistem perakaran pada planlet yang berasal dari kultur jaringan cenderung mudah rusak dan tidak berfungsi dengan sempurna pada keadaan in vivo, misalnya akar yang terbentuk sedikit atau tidak ada sama sekali. Akar yang tidak berkembang dengan sempurna akan membuat pertumbuhanm tanaman pada kondisi in vivo sangat tertekan, terutama pada evaporasi tinggi.
Untuk mengatasi masalah perkembangan system perakaran pada tahap aklimatisasi, dapat diterapkan langkah-langkah sebagai berikut :
- Upayakan tanaman yang masih berada pada lingkungan in vitro membentuk primordial akar yang akan tumbuh mnjadi akar fungsional pada kondisi in vivo,
- Ciptakan kondisi yang memungkinkan untuk terjadinya perkembangan akar in vitro, misalnya menggunakan medium cair kemudian akar-akar tersebur akan berfungsi secara normal pada saat planlet dipindahkan ke tanah.
- Aklimatisasikan planlet ke tanah setelah tahap perakaran. Pada saat memasuki tahap perakaran, rendam bagian pangkal planlet dalam larutan auksin untuk merangsang pembentukan akar.
Planlet dari tanaman yang pada kondisi pertumbuhan normal bersimbiosis dengan bakteri dan mikoriza akan memiliki kemampuan bersimbiosis yang sangat terbatas pada saat dipindahkan dari lingkungan in vitro ke lingkungan in vivo.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tahap aklimatisasi
Keberhasilan aklimatisasi kedelai ditentukan oleh berbagai faktor. Secara umum, faktor- faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan aklimatisasi tanaman kedelai adalah kondisi planlet (ukuran bibit, perakaran), kondisi lingkungan (ketepatan media tumbuh yang digunakan dan kelembapan udara), ketepatan perlakuan pra dan pasca transplantasi dari media invitro ke media tanah, dan sanitasi lingkungan dari infeksi penyakit (Zulkarnain, 2009).
Ukuran Bibit
Ukuran bibit kultur memengaruhi keberhasilan tahap aklimatisasi tanaman. Penggunaan bibit kultur yang kurang vigor menyebabkan tanaman banyak yang mati (Pardal et al. 2005). Misalnya pada tanaman pepaya yang dilaporkan oleh Damayanti et al. (2007) pada aklimatisasi tanaman pepaya. Bibit yang besar berpeluang tumbuh dengan baik dan sehat. Vigor kuantitatif bibit kultur kedelai yang berhasil diaklimatisasi adalah tinggi bibit 5−6 cm, jumlah tunas 2−3 buah, dan jumlah akar 2−4 buah (Slamet et al. 2005). Namun, pada tanaman lain, vigor kuantitatif yang meliputi tinggi tanaman, jumlah akar, dan jumlah daun dalam kaitannya dengan persentase tanaman hidup hingga kini masih sulit didapatkan sumber informasinya.
Akar
Salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan aklimatisasi adalah perakaran. Akar yang makin banyak dan panjang akan meningkatkan bidang serapan hara (Lestari et al. 1999). Jangkauan akar yang luas dapat memenuhi kebutuhan air secara cepat yang hilang akibat laju respirasi yang tinggi. Laju respirasi bibit kultur umumnya sangat tinggi akibat kurang sempurnanya jaringan dan sistem pembuluh tanaman. Hal ini juga dipengaruhi oleh perubahan suhu dan kelembapan dari lingkungan in vitro ke lingkungan in vivo yang berbeda.
Lingkungan
Faktor lingkungan yang mempengaruhi tahap aklimatisasi yaitu (Zulkarnain, 2009):
Suhu Udara
Selama dalam lingkungan in vitro, planlet memperoleh suhu yang relative sama, yaitu 25 ± 1°C. saat dipindahkan ke kondisi in vivo maka suhu udara akan mengalami variasi yang terkadang cukup besar. Suhu lingkungan in vivo dapat mencapai 18°C pada malam hari atau 32°C pada siang hari. Kondisi suhu yang ekstrim, terutama suhu tunggi akan mengakibatkan pertumbuhan planlet tertekan, bahkan dapat berakibat pada kegagalan aklimatisasi. Oleh karena itu, suhu di areal aklimatisasi harus diatur sedemikian ruipa agar mendekati suhu in vitro, kemudian secara bertahap dapat dinaikkan seiring dengan semakin kuatnya pertumbuhan tanaman.
Kelembaban udara
Planlet hasil mikropropagasi terbiasa hidup di lingkungan dengan kelembapan tinggi, berkisar 90-100%. Kondisi tersebut menyebabkan planlet tidak mengembangkan system pertahanan yang baik dalam menghadapi cekaman kekeringan. Oleh karena itu, aklimatisasi hendaknya dilakukan dengan menurunkan kelembaban udara secara bertahap. Pada tahap awal, planlet dapat di tempatkan di bawah sungkup plastik secara individual, kemudian sungkup tersebut dibuka dan planlet dipelihara di bawah naungan massal sebelum akhirnya dipindahkan ke lapangan.
Intensitas cahaya
Intensitas cahaya memiliki hubungan yang erat dengan suhu dan kelembapan. Biasanya dengan intensitas cahaya yang tinggi dapat menginduksi terciptanya suhu lingkungan yang tinggi pula disertai dengan rendahnya kelembapan udara, dan sebaliknya. Oleh karena itu, intensitas cahaya di areal aklimatisasi harus diperhatikan agar suhu dan kelembapan dapat dipertahankan pada tingkat yang tidak membahayakan planlet. Pemberian naungan merupakan cara yang baik untuk menurunkan intensitas cahaya dan suhu dengan mempertahankan kelembapan agar tetap tinggi.
Infeksi penyakit
Kematian bibit kultur sering disebabkan oleh serangan hama atau penyakit. Kondisi lingkungan tumbuh yang kurang steril dapat menyebabkan akar atau batang bibit terserang hama. Luka akibat serangan hama dapat menjadi tempat infeksi penyakit. Serangan penyakit yang umum dijumpai adalah karena jamur dan bakteri (Gunawan 1988). Menurut Lestari et al. (2001), serangan jamur dapat dipicu oleh pencucian bibit kultur yang kurang bersih dari media in vitro sebelum ditanam pada media berikutnya. Bakteri yang sering merusak tanaman penting adalah Pseudomonas sp. (Machmud 1986). Patogen layu bakteri ini dikenal memiliki kisaran inang dan daerah sebaran yang luas (Suryadi dan Machmud 2002).
Faktor-faktor yang harus diperhatikan untuk keberhasilan aklimatisasi
Untuk meningkatkan laju keberhasilan pada tahap aklimatisasi, Pierik (1997) memberikan anjuran sebagai berikut :
- Untuk menghindari infeksi dari cendawan atau bakteri maka sisa-sisa medium (agar-agar) hendaknya dicuci sampai bersih dan gunakan tanah steril sebagai substrat aklimatisasi.
- Musnahkan semua hama atau pathogen, seperti serangga, siput, cendawan, dan bakteri karena kondisi planlet masih lamah sehingga sangat rentan terhadap serangan hama dan pathogen. Lakukan pemyemprotan pestisida secara teratur.
- Untuk menghindari kerusakan akar, sebaiknya lakukan penanaman planlet pada tanah yang diayak (strukturnya seragam).
- Gunakan medium dengan kadar garam yang rendah pada tahap perakaran. Misalnya komposisi medium MS ½
- Terkadang diperlukan perlakuan suhu rendah (5°C) selama 4-8 minggu pertama untuk mematahkan dormansi, terutama terhadap umbi-umbi in vitro.
Aktimalisasi Tanaman
Tujuan Percobaan
Tujuan praktikum Aklimatisasi Planlet ini yaitu mampu melaksanakan teknik aklimatisasi planlet yang sudah memiliki perakaran dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi adaptasi tanaman dari kondisi lingkungan in vitro ke kondisi in vivo dari planlet yang memiliki akar.
METODOLOGI PERCOBAAN
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan yaitu gelas plastik transparan, sendok plastik dan alat tulis menulis. Sedangkan, Bahan yang digunakan yaitu bibit kenaf dan krisan yang berumur 8-12 minggu, arang sekam, bak air steril, bakterisida dan fungisida (Agrpt 2 g/l dan Dithane M-45 4 g/L).
Metode percobaan
Prosedur kerja yang dilakukan yaitu pastikan planletnya sudah berakar dan planlet dikeluarkan dari botol dengan hati- hati agar akarnya tidak putus. Planlet kemudian di cuci bersih dengan air yang sudah disterilkan secara perlahan-lahan dan dipastikan semua agar-agar sudah tidak ada di akar planlet. Bibit yang sudah bersih kemudian direndam pada larutan Dithane 1 g/L + agrept 1 g/L selama 10 menit. Siapkan media tanam dengan memasukkan arang sekam di gelas plastik dan diberikan sedikir air steril. Planlet kemudian siap ditanam di gelas plastik transparan. Gelas plastik yang telah berisi planlet tersebut kemudian disemprot sedikit dengan air steril dan di tutup dengan menggunakan gelas planstik. Selanjutnya, di simpan di ruang kultur. Langkah selanjutnya, planlet disiram dengan cara dispray setiap 2-3 hari untuk menjaga kelambapan. Jika medianya kering tetapi jika media tersebut tampak basah sebaiknya penyiraman tidak dilakukan karena dengan kondisi demikian akan menyebabkan timbulnya jamur.
Pengamatan yang dilakukan pada praktikum ini adalah jumlah planlet yang hidup selama 3 minggu, jumlah planlet mati dan penyebab kematian planlet. Data dianalisis secara deskriptif.
Gambar Tahapan perbanyakan secara In Vitro
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Tabel 1. Hasil Aklimatisasi pada tanaman krisan
Tabel 1. Hasil Aklimatisasi pada tanaman krisan
Tanaman
|
Kelompok (ulangan)
|
Jumlah botol
|
Jumlah tanaman
|
Jumlah tanaman
|
Jumlah tanaman mati
|
di awal pengamatan
|
di akhir pengamatan
|
||||
Krisan
|
1
|
3
|
12
|
12
|
0
|
3
|
3
|
6
|
6
|
0
|
|
5
|
4
|
4
|
4
|
0
|
|
Total
|
10
|
22
|
22
|
0
|
|
Persentase tanaman hidup
|
100%
|
Tabel 2. Hasil Aklimatisasi Pada Tanaman
Kenaf
Tanaman
|
Kelompok (ulangan)
|
Jumlah botol
|
Jumlah tanaman
|
Jumlah tanaman
|
Jumlah tanaman mati
|
di awal pengamatan
|
di akhir pengamatan
|
||||
Kenaf
|
2
|
3
|
9
|
9
|
0
|
4
|
3
|
9
|
9
|
0
|
|
6
|
4
|
8
|
4
|
4
|
|
7
|
4
|
16
|
12
|
4
|
|
8
|
3
|
9
|
9
|
0
|
|
Total
|
17
|
51
|
43
|
8
|
|
Persentase tanaman hidup
|
84,31%
|
Pembahasan
Dari kedua jenis planlet yang digunakan dalam praktikum ini, planlet krisan merupakan planlet yang memiliki persentase tanaman hidup terbaik yaitu 100% yang tidak berbeda dengan kondisi planlet awal. Dengan demikian, perlakuan penyiapan, pemilihan planlet, penanaman, dan penggunaan plastik gelas dan pemeliharaan planlet yang baik dapat memperbaiki kondisi planlet saat aklimatisasi.selain itu, penggunaan fungisida dan bakterisida bertujuan untuk mengeliminasi pertumbuhan serta perkembangan sumber kontaminasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Untari et al (2007) yang menyatakan bahwa salah satu penentu keberhasilan tahap aklimatisasi adalah pemilihan planlet yang tidak tercampur jamur atau bakteri. Sehingga diperlukan perendaman menggunakan dithane dan agrept yang berfungsi membunuh cendawan dan bakteri. Selain itu, pengaruh lingkungan dapat diatasi dengan penggunaan gelas plastik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian aklimatisasi pada tanaman anyelir oleh Rohayati dan Marlina (2009) menunjukkan bahwa penggunaan wadah plastik transparan pada 7 hari pertama berpengaruh terhadap keberhasilan aklimatisasi. Wadah ini menyebabkan planlet tetap segar dan mampu beradaptasi dengan baik.
Berbeda halnya aklimatisasi pada tanaman kenaf yang memiliki persentase hidup rendah yaitu 84,31% jika dibandingkan dengan persentase tanaman krisan. Rendahnya persentase aklimatisasi tanaman kenaf disebabkan daun tanaman ini lebar, lapisan lilin tidak berkembang baik, dan perakaran yang pendek. Sesuai dengan pendapat Zurkarnain (2009) bahwa daun dengan permukaan yang lebar dapat meningkatkan evaporasi sehingga air yang tersedia untuk tanaman menjadi lebih sedikit, planlet yang memiliki lapisan lilin (kutikula) yang tidak berkembang baik akibatnya tanah mudah kelebihan air dalam jumlah besar dan sistem perakaran pada planlet cenderung mudah rusak dan tidak berfungsi dengan sempurna yang menyebabkan tanaman pada kondisi in vivo menjadi tertekan terutama pada kondisi evaporasi yan tinggi.
Dalam percobaan ini, kedua planlet ini diaklimatisasikan dalam kondisi yang sama dalam ruang kultur yang memiliki kelambapan yang tinggi dan diberi penyungkupan dengan bahan plastik transparan. Menurut hasil penelitian Ritchie (1991) menghasilkan eksplan krisan yang ditumbuhkan pada kelembapan di bawah 100% menyebabkan terjadinya peningkatan lapisan epikutikula, perbaikan fungsi stomata, dan penurunan dehidrasi daun. Penurunan tingkat kelembapan juga meningkatkan kerapatan trikoma krisan. Namun, kelembapan terbaik untuk tanaman krisan untuk aklimatisasi hanya sampai 81% tetapi jika di bawah 81% dapat menghambat pertumbuhan planlet. Vigor kenaf yang tampak lemah menyebabkan pertumbuhan planlet ini lambat. Keterlambatan penyiraman menyebabkan planlet kenaf menjadi layu dan kemudian mati.
Guna mendukung tingkat keberhasilan aklimatisasi yang tinggi, maka media tanam untuk aklimatisasi disterilkan terlebih dahulu minimal selama 4 jam sehingga serangga, mikroba serta biji-bijian gulma akan mati, peranan media tanam yang paling utama adalah sebagai tempat bertumpunya tanaman, dimana akar akan menyerap air dan unsur hara untuk pertumbuhannya. Media aklimatisasi terbaik untuk tanaman induk anyelir menurut Rohayati dan Marlina (2009) adalah campuran kompos dan humus bamboo yang menghasilkan persentase tanaman hidup 70,81%. Sedangkan menurut Susanti (2005), media kompos merupakan media paling sesuai untuk aklimatisasi tebu.
Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan:
Dari kedua jenis planlet yang digunakan dalam praktikum ini, planlet krisan merupakan planlet yang memiliki persentase tanaman hidup terbaik yaitu 100% yang tidak berbeda dengan kondisi planlet awal. Dengan demikian, perlakuan penyiapan, pemilihan planlet, penanaman, dan penggunaan plastik gelas dan pemeliharaan planlet yang baik dapat memperbaiki kondisi planlet saat aklimatisasi.selain itu, penggunaan fungisida dan bakterisida bertujuan untuk mengeliminasi pertumbuhan serta perkembangan sumber kontaminasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Untari et al (2007) yang menyatakan bahwa salah satu penentu keberhasilan tahap aklimatisasi adalah pemilihan planlet yang tidak tercampur jamur atau bakteri. Sehingga diperlukan perendaman menggunakan dithane dan agrept yang berfungsi membunuh cendawan dan bakteri. Selain itu, pengaruh lingkungan dapat diatasi dengan penggunaan gelas plastik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian aklimatisasi pada tanaman anyelir oleh Rohayati dan Marlina (2009) menunjukkan bahwa penggunaan wadah plastik transparan pada 7 hari pertama berpengaruh terhadap keberhasilan aklimatisasi. Wadah ini menyebabkan planlet tetap segar dan mampu beradaptasi dengan baik.
Berbeda halnya aklimatisasi pada tanaman kenaf yang memiliki persentase hidup rendah yaitu 84,31% jika dibandingkan dengan persentase tanaman krisan. Rendahnya persentase aklimatisasi tanaman kenaf disebabkan daun tanaman ini lebar, lapisan lilin tidak berkembang baik, dan perakaran yang pendek. Sesuai dengan pendapat Zurkarnain (2009) bahwa daun dengan permukaan yang lebar dapat meningkatkan evaporasi sehingga air yang tersedia untuk tanaman menjadi lebih sedikit, planlet yang memiliki lapisan lilin (kutikula) yang tidak berkembang baik akibatnya tanah mudah kelebihan air dalam jumlah besar dan sistem perakaran pada planlet cenderung mudah rusak dan tidak berfungsi dengan sempurna yang menyebabkan tanaman pada kondisi in vivo menjadi tertekan terutama pada kondisi evaporasi yan tinggi.
Dalam percobaan ini, kedua planlet ini diaklimatisasikan dalam kondisi yang sama dalam ruang kultur yang memiliki kelambapan yang tinggi dan diberi penyungkupan dengan bahan plastik transparan. Menurut hasil penelitian Ritchie (1991) menghasilkan eksplan krisan yang ditumbuhkan pada kelembapan di bawah 100% menyebabkan terjadinya peningkatan lapisan epikutikula, perbaikan fungsi stomata, dan penurunan dehidrasi daun. Penurunan tingkat kelembapan juga meningkatkan kerapatan trikoma krisan. Namun, kelembapan terbaik untuk tanaman krisan untuk aklimatisasi hanya sampai 81% tetapi jika di bawah 81% dapat menghambat pertumbuhan planlet. Vigor kenaf yang tampak lemah menyebabkan pertumbuhan planlet ini lambat. Keterlambatan penyiraman menyebabkan planlet kenaf menjadi layu dan kemudian mati.
Guna mendukung tingkat keberhasilan aklimatisasi yang tinggi, maka media tanam untuk aklimatisasi disterilkan terlebih dahulu minimal selama 4 jam sehingga serangga, mikroba serta biji-bijian gulma akan mati, peranan media tanam yang paling utama adalah sebagai tempat bertumpunya tanaman, dimana akar akan menyerap air dan unsur hara untuk pertumbuhannya. Media aklimatisasi terbaik untuk tanaman induk anyelir menurut Rohayati dan Marlina (2009) adalah campuran kompos dan humus bamboo yang menghasilkan persentase tanaman hidup 70,81%. Sedangkan menurut Susanti (2005), media kompos merupakan media paling sesuai untuk aklimatisasi tebu.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan:
- Planlet krisan memiliki persentase hidup yang tinggi yaitu 100% sedangkan untuk planlet kenaf memiliki persentase yg rendah yaitu 84,31%.
- Keberhasilan tahap aklimatisasi ini dipengaruhi oleh faktor morfologi dari tanaman itu sendiri seperti daun, jaringan angkut dan sistem perakaran. Selain itu tahap aklimatisasi juga di pengaruhi oleh adanya faktor lingkungan yang menjadi faktor utama. Adapun faktor lingkungannya meliputi suhu udara, kelembapan udara, dan intensitas cahaya.
DAFTAR PUSTAKA
Husni, A., S. Hutami, M. Kosmiatin, dan I.
Mariska. 2004. Seleksi in vitro tanaman
kedelai untuk meningkatkan sifat ketahanan terhadap cekaman kekeringan. Laporan
Tahunan Penelitian TA 2003. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor. 16 hlm.
Pierik, R.L.M. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Martinus N.J. Hoff
Publ., London. 344 pp.
Ritchie
GA, KC Short, MR Davey. 1991. In Vitro Acclimatization of Crisanthemum and
sugar beat plantlets by treatment with paclobutrazol and exposure to reduced
humidity. J of Exp Bot. 42 (12) : 1557-1563.
Rohayati
E, Marlina N. 2009. Teknik aklimatisasi planlet anyelir (Dianthus caryophyllus
L.) untuk tanaman induk. Bull Teknik Pert. 14(2 : 72-75).
Slamet et al. 2011. Perkembangan Teknik Aklimatisasi Tanaman Kedelai
Hasil Regenerasi Kultur In Vitro.
Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik
Pertanian. Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011.
Susanti
D. 2005. Pengujian berbagai media aklimatisasi untuk planlet tebu kultivar PA
117 dan PA 198. Skripsi. Departemen Tanah Fakultas Pertanian IPB.
Untari
R, Sandra, DM Puspitaningtyas. 2007. Aklimatisasi bibit anggrek hitam
(Coelogyne pandurata Lindl.). Bul Kebun Raya Indo. 10 (1) : 13-19.
Yusnita.
2003. Kultur Jaringan. Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efesien. Agro Media
Pustaka. Jakarta.
Zulkarnain.
2009. Kultur Jaringan. Solusi Perbanyakan Tanaman Budidaya. Bumi Aksara.
Jakarta. 250 halaman.
Komentar