PENGARUH PERLAKUAN PEMATAHAN DORMANSI DAN MEDIA PERKECAMBAHAN TERHADAP VIABILITAS BENIH TERUNG (Solanum melongia L)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman sayuran mengandung nilai gizi
tinggi yang dibutuhkan oleh manuasia karena dapat meningkatkan daya cerna
metabolisme serta menimbulkan daya tahan terhadap gangguan penyakit atau
kelemahan jasmani lainnya. Salah satu tanaman sayuran yang memiliki nilai gizi
yang cukup tinggi adalah terung (Solanum
melongia L.). Menurut Soetasad dan Muryanti (1999), terong sebagai salah
satu sayuran memiliki nilai gizi yang cukup tinggi, yaitu belturut-turut untuk
energi, protein, lemak dan karbohidrat adalah 24 kal, 1.1 g, 0.2 g, dan 5.5 g
untuk setiap 100 g bahan.
Terung termasuk dalam famili Solanaceae
seperti cabai dan tomat. Benih-benih dari famili tersebut mengalami after
ripening yang menyebabkan dormansi dimana kondisi benih tidak berkecambah
walaupun ditanam pada kondisi yang optimum. Setiap jenis tanaman dapat
mengalami dormansi selama beberapa hari, semusim bahkan sampai beberapa tahun
tergantung jenis dormansinya. Pertumbuhan tidak akan terjadi selama benih belum
melalui masa dormansinya atau sebelum dikenakan perlakuan khusus terhadap benih
tersebut. Dormansi dapat dipandang sebagai salah satu keuntungan biologis dari
benih dalam mengadaptasikan siklus pertumbuhan tanaman terhadap lingkungannya
sehingga secara tidak langsung benih dapat menghindarkan dirinya dari
kemusnahan alam.
Benih terung mempunyai masa dormansi
yang bervariasi antara 1-3 bulan. (Wanafiah,
2003). Hasil penelitian lainnya menyebutkan bahwa pada benih Solanum
khasianum mengalami dormansi yang diakibatkan oleh embrio benih yang belum
masak dan berakhir setelah 3-4 bulan setelah penyimpanan. Masa dormansi yang
panjang pada benih terung dapat membiaskan penilaian evaluasi kecambah pada
pengujian daya berkecambah di laboratorium. Selain itu
pengujian ulang yang
dilakukan sampai beberapa kali akan mengakibatkan penambahan
biaya yang tinggi pada pengujian daya berkecambah, maka oleh sebab itu
dibutuhkan sebuah perlakuan yang mampu
memecahkan dormansi secara tepat.
Penggunaan KNO3, GA3,
stratifikasi dan penyimpanan kering merupakan beberapa teknik pematahan dormansi
yang telah dikembangkan saat ini. Tiap tanaman memiliki tipe dormansi yang
berbeda pula sehingga dibutuhkan metode yang efektif untuk pematahan dormansi
pada benih. Menurut Ilyas dan Diarni dalam
Ilyas (2011), perlakuan priming pada benih padi gogo varietas Kalimutu, Way
Rarem dan Gajah Mungkur menggunakan KNO3 1% selama 48 jam merupakan
pematahan dormansi yang paling efektif pada 0 MSP. Pada benih Solanaceae, pematahan dormansi dapat
dilakukan melalui priming dengan PEG 6000 dan KNO3. Benih terong kopek
varietas Dadali yang direndam pada 100 ppm GA3 selama 24 jam dan
dikecambahkan pada arang sekam mempunyai viabilitas dan vigor yang paling
tinggi (Fitria, 2001).
Penelitian-penelitian tentang dormansi benih
khususnya benih terung dan metode pematahanya yang efektif sangat diperlukan
untuk memecahkan permasalahan tersebut. Hasil penelitian ini akan dapat
memberikan informasi atau rekomendasi terhadap metoda yang efektif untuk
pematahan dormansi pada benih-benih yang baru dipanen maupun yang sudah disimpan. Hal tersebut sangat
membantu analis benih untuk menganalisis hasil pengujian benih dengan benar dan
mampu memberikan rekomendasi perlakuan pematahan dormansi yang aplikatif kepada konsumen benih terung.
Tujuan
Percobaan ini bertujuan untuk mempelajari
dan mengetahui teknik pematahan dormansi yang efektif pada dormansi fisiologis
benih terung dengan menggunakan KNO3 dan GA3 pada media
tanam yang berbeda.
Hipotesis
1. Terdapat salah satu teknik pematahan dormansi yang efektif dan memberikan pengaruh terhadap viabilitas benih
terung.
2. Terdapat salah satu media perkecambahan yang efektif dan memberikan
pengaruh terhadap viabilitas benih terung.
3. Terdapat interaksi antara teknik pematahan dormansi dan media
perkecambahan terhadap viabilitas benih terung.
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Terung
Tanaman terung atau eggplant merupakan
tanaman asli daerah
tropis. Tanaman ini diduga berasal dari Benua Asia terutama India dan
Birma. Sumber lainya menyebutkan bahwa
plasma nutfah terung ditemukan juga di Afrika yaitu Solanum macrocarpa L atau
terung engkol. Kerabat dekat terung antara lain
Tekokak (Solanum toruum Swartz) yang banyak tumbuh liar
dihutan-hutan, S. khasianum Clarke, S. laciniatum Ait,Ranti (S. ningrum
L.), S. sanitwongsei, S.
macrantum dan S. gradiflorum untuk bahan baku kontrasepsi KB.
Tanaman
terung sudah lama
dikenal penduduk Indonesia.
Menurut Rukmana (1994) di
Indonesia, tanaman terung
mempunyai nama-nama daerah yaitu trueng (Aceh), trong (Gayo),
reteng (Batak), toru (Nias), tiung (Lampung), terong (Sunda),
econg (Jawa), kaumenu
(Timor), antibu (Gorontalo),
cucumu (Halmahera), tofoki (Ternate dan Tidore) dan papalo atau titirium
(Irian).
Terung adalah tanaman berumur pendek berbentuk
perdu, lazim ditanam sebagai tanaman
semusim karena jika menjadi tua maka tanaman akan sangat besar dan produksinya
menurun tajam. (Williams et al. dalam Rukmana, 1994).
Menurut Rubatzky dan Yamaguchi dalam Usmanij (1990),
tanaman terung memiliki pola pertumbuhan
indeterminate dan bergantung pada varietas dapat menghasilkan sedikit
hingga banyak buah. Pola pertumbuhan tanaman terung merupakan semak, yang
disebabkan oleh produksi tunas pada ketiak daun. Tanaman terung
memiliki batang tegak dan bercabang.
Daun pada umumnya besar, berselang-seling dan tunggal. Lembar
daun bulat telur hingga bulat
telur lonjong dengan bagian tepi berombak. Bunga terung merupakan bunga
sempurna, berwarna keunguan
dan menyerbuk sendiri.
Buah terung termasuk buah buni besar, menggantung tanpa rongga (Rubatzky dan
Yamaguchi dalam Rukmana, 1994).
Terung memiliki bentuk dan warna buah yang
bervariasi bergantung pada jenis varietasnya. Varietas-varietas terung yang
banyak digunakan didunia terdiri atas varietas Black Beauty, Long Purple dan
Florida Market (Sutarno et al. dalam Rukmana,1994).
Varietas
terung yang terdapat di Asia
Tenggara dibedakan menjadi dua tipe
yaitu varietas terung Lokal, di Indonesia terkenal dengan terung Kopek dan
varietas terung Bogor atau dikenal dengan terung Gelatik. Kedua tipe varietas
ini dibedakan atas bentuk dan warna buah.
Varietas Lokal memiliki
bentuk buah bulat panjang dengan ujung tumpul dan warna buah cukup
bervariasi mulai dari ungu hingga hijau keunguan. Sedangkan varietas Bogor memiliki bentuk buah bulat besar
dengan warna buah putih atau hijau keputih-putihan (Sutarno et.al. dalam Rukmana,1994).
Tanaman
terung secara normal
dapat menghasilkan buah
sebanyak 8 hingga 14 buah per
pohonnya (Sutarno et al.
dalam Rukmana, 1994). Total tertinggi produksi
terung yang dapat dihasilkan
setiap hektarnya mencapai 25 hingga 50 ton.
Perkecambahan Benih
Pengertian
perkecambahan benih menurut
Jann dan Amen dalam
Usmanij(1990) dibedakan menjadi
: (1) morfologis,
yaitu perubahan bentuk embrio menjadi
kecambah, (2) fisiologis,
yaitu dimulainya kembali
proses metabolisme dan pertumbuhan struktur penting dari embrio yang
tadinya tertunda dan ditandai dengan munculnya struktur tersebut menembus kulit
benih, dan (3) biokimia, yaitu suatu
rangkaian perubahan lintasan-lintasan oksidatif
yang menyebabkan perubahan senyawa-senyawa kimia dalam benih.
Tissaoui dan Come dalam Fitria A (2001),
menyatakan bahwa keseluruhan proses
perkecambahan melewati tiga
fase, yaitu fase
imbibisi, fase perkecambahan sensu stricto (fase aktifasi) dan fase pertumbuhan yang diawali munculnya
radikula.
Fase I disebut juga dengan fase imbibisi, dalam fase ini air diserap oleh benih, baik
benih dorman maupun non dorman, benih viabel maupun non viabel. Proses ini
berlangsung karena adanya perbedaan potensial air antara benih dengan air yang
sangat besar. Potensial air pada benih kering dapat mencapai –1000 bar,
sementara pada air 0 bar. Fase II atau lag phase adalah periode mulai
aktifnya metabolisme sebagai persiapan untuk perkecambahan pada benih non
dorman. Sementara pengaktifan metabolisme tidak terjadi pada benih mati.
Fase III atau fase pertumbuhan hanya terjadi pada
benih non dorman yang viabel, ditandai dengan munculnya akar dan diikuti dengan
proses pembelahan sel yang
ekstensif, peningkatan laju penyerapan air
dan perombakan cadangan makanan.
Proses
yang terjadi selama perkecambahan
meliputi proses pada awal perkecambahan (sebelum gejala kecambah nampak)
seperti imbibisi merupakan proses
penyerapan air kedalam
benih, hal ini dipengaruhi oleh tingkat permeabilitas
kulit benih, komposisi kimia benih dan ketersediaan air disekitarnya; pengaktifan
respirasi; dan pengaktifan enzim, organel, sintesa RNA dan protein. Proses
lainnya adalah proses lanjutan dari perkecambahan (sesudah gejala nampak)
seperti perombakan dan mobilitas cadangan makanan utama meliputi karbohidrat,
lemak, protein dan fosfat; respirasi dan biosintesa; serta pertumbuhan kecambah.
Dormansi Benih
Dormansi secara umum digambarkan sebagai suatu
kondisi dimana benih tidak menunjukkan gejala tumbuh atau tidak mampu
berkecambah sekalipun pada lingkungan yang mendukung untuk perkecambahan.
Secara alami dormansi benih merupakan suatu mekanisme pengaturan perkecambahan
sebagai adaptasi untuk ketahanan alami
spesies yang bersangkutan terhadap
kondisi lingkungan yang tidak sesuai untuk perkecambahan (Villiers, 1972). Mayer
dan Mayber (1982) menegaskan
bahwa dormansi benih adalah suatu
keadaan benih dimana benih tidak mampu berkecambah walaupun faktor
perkecambahan (air, suhu, komposisi gas dan cahaya) berada dalam keadaan
optimum.
Croker dalam
Villiers (1972) mengklasifikasikan penyebab
dormansi sebagai berikut : (1) embrio benih yang belum masak, (2) kulit
benih impermiable terhadap air,
(3) halangan mekanis kulit benih bagi
pertumbuhan embrio yang memerlukan
cahaya, (4) kulit
benih impermiable
terhadap gas, (5)
adanya inhibitor dalam embrio, (6) kombinasi dari penyebab-penyebab tersebut dan (7)
dormansi skunder.
Ellis et al. (1985) menyatakan bahwa dormansi benih
dapat dikategorikan menjadi : (1) Ecological dormancy (2) Hardseedness,
(3) Enforced dormancy, (4) Induced
dormancy, (5) Water sensitivity, (6) Embryo dormancy. Dormansi yang disebabkan oleh kelembaban yang memenuhi
syarat disebut Ecological
dormancy, sedangkan Hardseedness disebabkan
oleh kulit benih yang keras sehingga benih sulit mengimbibisi air. Enforced dormancy
yaitu dormansi yang disebabkan oleh faktor lingkungan dimana benih yang
dapat berkecambah jika faktor penghambat
tersebut dihilangkan, Induced dormancy
yaitu dormansi karena
salah satu faktor
lingkungan dan apabila
dikembalikan pada keadaan semula benih tetap dorman dan
Innate dormancy yaitu dormansi yang terjadi sejak benih masih berada pada
tanaman induk. Water sensitivity yaitu benih tidak dapat berkecambah
karena peka terhadap kelembaban tinggi dan tidak menunjukkan kerusakan pada
kotiledon sedangkan Embryo dormancy
yaitu dormansi yang
disebabkan karena embrio
benih tidak dapat tumbuh atau berkembang karena adanya inhibitor dari
kotiledon yang menghambat perkecambahan benih.
Dormansi mungkin dikendalikan oleh suatu
keseimbangan antara hormon perangsang pertumbuhan dan hormon penginduksi
dormansi yang ada didalam organ yang
sama. Wareing dalam Khan (1992) mengemukakan hipotesis
keseimbangan promotor dan inhibitor dalam pengendalian perkecambahan benih
yaitu : (1) hormon gibrelin harus ada dalam semua kondisi tetapi aktivitasnya
dapat dihambat oleh inhibitor, (2) hormon sitokinin dapat menutup peran
inhibitor dan (3) jika tidak ada inhibitor sitokinin tidak berperan.
Dormansi karena embrio benih disebut juga dormansi
fisiologik, dapat disebabkam
karena adanya inhibitor pada embrio atau karena embrio yang belum masak.
Selanjutnya Copeland dan McDonal dalam Fitria A. (2001), penyebab
terjadinya dormansi adalah
embrio, maka dapat
disebut sebagai dormansi fisiologi. Sedangkan bila
penyebabnya kulit benih disebut juga dormansi fisik.
Kulit benih dalam hal ini termasuk struktur yang
mengelilingi biji seperti glumme, lemma, palea, perikarp (termasuk endocarp)
dan testa. Salah satu senyawa
penyusun utama kulit
biji yang resisten
terhadap dekomposisi adalah selulosa dan lignin.
Penyebab dormansi baik fisik atau dormansi karena
kulit benih, maupun fisiologi atau karena embrio benih ini dapat dijumpai pada
berbagai spesies, tetapi ada yang mempunyai dormansi ganda yaitu dormansi fisik
dan fisiologi. Pada umumnya dormansi
ganda banyak dijumpai pada benih tanaman
berkayu. (Murniati, 1995).
Penelitian-penelitian tentang dormansi benih
khususnya dari famili Solanaceae telah banyak dilakukan. Benih cabai (Capsicum
annuum) mengalami dormansi yang disebabkan oleh after ripening (Radle
dan Honman, 1981). Benih Solanum Clark mengalami dormansi yang akan
berakhir sekitar 3-4 bulan setelah disimpan (Anonymous, 1985).
Usmanij (1990) melaporkan hasil penelitiannya bahwa pada benih terung kopek
mengalami innate dormancy. Hal
ini dibuktikan dari rendahnya daya berkecambah dan kecepatan tumbuhnya, jika benih dikecambahkan setelah ekstraksi tanpa melalui penyimpanan
terlebih dahulu.
Perlakuan Pematahan Dormansi
Pada prinsipnya ada tiga metode pemecahan dormansi
yaitu cara mekanis, fisiologis dan kimia.
Cara mekanis seperti skarifikasi fisik dengan asam ( Byrd, 1983)
biasanya digunakan pada benih-benih yang impermeable terhadap air dan gas karena kekerasan
kulit benihnya. Cara fisiologis biasanya menggunakan suhu tinggi atau rendah
tinggi dan rendah berganti dan penggunaan
suhu yang terus menerus pada suhu tertentu. Cara kimia menggunakan bahan-bahan
kimia seperti KNO3, NH2O2 dan hormon tumbuh.
Mayer dan Mayber (1982) menyatakan bahwa larutan KNO3
merangsang perkecambahan
benih yang mengalami dormansi seperti benih Lepidum viginicum, Eragrotis
curvula, Polygon monspelliensis dan
Agrotis sp. Larutan KNO3 tersebut berinteraksi dengan suhu dan
menstimulir perkecambahan benih. Efek KNO3 yang ditimbulkan
ditentukan oleh besar kecilnya konsentrasi. Dormansi fisiologis dapat dipatahkan dengan
penyimpanan kering, prechilling,
preheating, cahaya, kalium nitrat (KNO3), asam giberelat (GA3)
dan polyethylene (ISTA, 1999).
Menurut Soejadi dan Koesandhriani dalam Wusono (2001) KNO3 akan
efektif bila dikombinasikan dengan pemanasan pada suhu 50 jam, cara ini dapat mematahkan dormansi secara efektif pada beberapa varietas padi.
Zat
kimia yang banyak
digunakan untuk merangsang
perkecambahan benih adalah Kalium nitrat
(KNO3). Larutan 0.1% sampai 1% KNO3 rutin digunakan pada uji perkecambahan dan
direkomendasikan oleh Association of Official Seed Analyst dan International
Seed Testing Association. Banyak benih yang peka terhadap KNO3 juga
peka terhadap cahaya. Dilain pihak KNO3 meniadakan hambatan
cahaya pada perkecambahan
benih ricegras (Copeland,
1976). Menurut Soejadi dan Koesandhriani
dalam Wusono (2001) KNO3 efektif pada
benih yang memiliki
intensitas dormansi rendah. Pematahan dormansi baru akan efektif
bila dikombinasikan dengan pemanasan pada suhu 500C selama 48
jam, cara ini dapat mematahkan dormansi secara efektif pada beberapa varietas padi.
Bewley
dan Black dalam
Murniati (1995) menyatakan
pematahan dormansi berhubungan
dengan aktivitas lintasan pentosa fosfat. Oksigen sangat dibutuhkan dalam
lintasan ini untuk reoksidasi NADPH menjadi energi. Lintasan ini menjadi
tidak aktif karena
terbatasnya oksigen yang
dipergunakan untuk aktivitas respirasi.
Nitrat (KNO3) berfungsi
sebagai aseptor hidrogen
yang membantu reaksi oksidasi
NADPH sehingga mengaktifkan
kembali lintasan pentosa fosfat
yang mengakibatkan proses perkecambahan benih dapat terjadi.
Dormansi
pada benih Solanaceae
juga dapat diatasi
dengan priming. Penggunaan
osmotikum PEG 6000 dan KNO3 dapat mematahkan dormansi benih
terung (Solanum melongena
L.) yang ditunjukan
oleh peningkatan daya berkecambah dan
keserempakan tumbuh (Agustin,
Murniati, Budiarti, dalam Murniati, 1995).
Wanafiah
(2003), mengemukakan bahwa dormansi pada
cabe rawit Varietas Taruna
merupakan ekspresi dari dormansi fisiologis. Salah satu ciri menonjol
dari cabe rawit Varietas Taruna adalah aroma yang kuat pada benih dan terutama
pada kecambah yang tumbuh. Zat aromatic
ini diduga mempunyai peranan dalam menghambat proses perkecambahan cabe rawit
Varietas Taruna.
Selain itu,
komposisi zat inhibitor capsicin yang muncul pada cabe rawit
Varietas Taruna menyebabkan keseimbangan hormonal benih tidak seimbang dan
dapat mengakibatkan tingkat mortalitas pada benih yang sedang dikecambahkan
tinggi. Selain benih dorman yang menjadi
busuk atau mati zat inhibitor tersebut juga
megakibatkan kecambah normal
menjadi abnormal dengan
indikasi awal sistem perakaran
menjadi mengering terbakar.
Pada saat
dormansi, ketersediaan oksigen terbatas yang mengakibatkan lintasan posfat menjadi
inaktif. Dalam keadaan demikian akan memicu terjadinya fermentasi anaerob yang
cepat sehingga menyebabkan benih yang telah imbibisi menjadi melunak dan busuk
pada benih cabe rawit varietas Taruna.
Menurut
Wanafiah (2003), KNO3 dapat mengaktifasi
lintasan pentosa pospat, dimana KNO3 terurai menjadi Nitrat
(NO3) dan tereduksi menjadi Nitrit (NO2). Nitrat dalam perkecambahan benih bertindak setelah
tereduksi menjadi nitrit atau hidroksilamin.
Nitrat dalam perkecambahan benih
berfungsi sebagai aseptor hidrogen yang
membantu proses reaksi oksidasi NADPH.
Nitrat dalam bentuk nitrit dan
hidroksilamin tersebut merangsang perkecambahan dengan cara menghambat enzim
katalase. Penghambatan tersebut menyebabkan oksigen tetap tersedia dalam bentuk
H2O2 untuk aktifitas peroksidase yang terlibat dalam
sistem enzim reaksi oksidasi NADPH.
Hasil reaksi ini
adalah mengaktifkan kembali lintasan pentosa fosfat, sehingga
proses perkecambahan dapat terjadi dengan baik.
Media Perkecambahan Benih
Perkecambahan benih merupakan suatu proses awal yang penting untuk kehidupan tanaman
selanjutnya. Faktor-faktor yang
mempengaruhi perkecambahan benih yaitu faktor genetik dan faktor
lingkungan perkecambahan. Faktor
genetik merupakan
faktor-faktor yang berasal dari
dalam benih seperti kulit
benih dan endosperma
benih, sedangkan faktor
lingkungan merupakan
faktor-faktor yang barasal dari lingkungan sekitar media perkecambahan benih yaitu air,
suhu, cahaya dan
oksigen. Faktor-faktor ini
harus tersedia secara optimum pada saat benih berkecambah maupun saat pengujian viabilitas benih untuk keperluan
analisis benih.
Pada dasarnya
ada tiga jenis media atau substrat
pengecambahan yang sering digunakan dalam pengujian benih yaitu
kertas, pasir dan tanah (Sutopo, 1992). Jenis substrat
kertas yang digunakan adalah kertas blotter, kertas kimpak, absordent cotton,
kertas towel, kertas
filter dan kertas merang.
Substrat kertas tersebut biasanya
diletakan pada baki perkecambahan atau
cawan petri. Kertas merang, menurut
sadjad dalam Wanafiah (2003), dipilih sebagai substrat analisis
viabilitas benih karena warnanya kuning kecoklatan seperti kertas towel
memiliki daya absorpsi air yang tinggi dan harganya murah. Selain itu
keunggulan kertas merang
dibandingkan pasir adalah
kertas merang sangat
praktis untuk mendapatkan kondisi
yang terkontrol dan jauh lebih sedikit ruang yang diperlukan untuk menempatkan
materi yang diuji.
Hal ini menjadi
titik tolak dalam pengembangan ilmu
dan teknologi benih
serta pelaksanaan riset-riset
tentang viabilitas benih selanjutnya. Kekurangan kertas merang untuk uji
viabilitas benih adalah ketebalanya yang
tidak seragam sehingga kekuatan tensilnya kecil
dan daya sobeknya besar.
Substrat kertas merang
yang saat ini
banyak dijumpai memiliki
ketebalan yang seragam namun sangat tipis dan daya sobeknya besar.
Pengujian dengan
media pasir dan tanah
dilakukan apabila pengecambahan
contoh benih dengan substrat kertas tidak berkecambah atau menghasilkan
perkecambahan yang tidak dapat dinilai. Sterilisasi perlu dilakukan sebelum
kedua media tersebut digunakan sebagai
media perkecambahan, media pasir
yang dianjurkan sebagai media
perkecambahan adalah tidak mengandung bahan
yang tidak beracun, PH nya 6,0 – 7,5 dan berukuran 0,05 – 0,8 mm,
sedangkan media tanah yang dianjurkan adalah tidak bergumpal dan untuk tanah
liat harus dicampur dengan pasir (Sutopo, 1992).
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Percobaan ini dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi
Benih Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian, pada bulan Maret
2012.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan
dalam praktikum ini adalah benih terung lokal, KNO3 0.04%, GA3
100 ppm, pasir, arang sekam, zeolit dan aquades.
Alat yang digunakan meliputi
timbangan, oven, box plastik, gelas kimia dan gelas ukur.
Metodologi
Percobaan dilakukan menggunakan Rancangan
Acak Kelompok dengan dua faktor. Faktor pertama adalah media perkecambahan yang
terdiri dari tiga taraf yaitu pasir (M1), arang sekam (M2) dan zeolit (M3).
Faktor kedua adalah metode pematahan dormansi yang terdiri dari tiga taraf
yaitu kontrol (P1), perendaman menggunakan KNO3 0.04% selama 24 jam (P2)
dan perendaman GA3 100 ppm selama 24 jam (P3). Masing-masing
percobaan diulang tiga kali sehingga terdapat 27 satuan percobaan.
Model Rancangan percobaan yang digunakan
adalah :
Yijk : µ + Mi + Pj
+ (MP)ij + ρk + Eijk
Yijk = Viabilitas benih terung
pada faktor M taraf ke-i faktor P taraf ke-j dan ulangan ke-k
µ = rataan umum
Mi
= media perkecambahan ke-i
Pj
= pematahan dormansi ke-j
(MP)ij = pengaruh interaksi antara faktor M taraf ke-i
dan faktor Ptaraf ke-j
ρk = pengaruh
kelompok ke-k,
Eijk = pengaruh galat
Uji
statistik yang digunakan adalah analisis sidik ragam. Selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan terhadap perlakuan yang
berpengaruh.
Metode Pelaksanaan
Ekstraksi Benih
Benih diekstraksi secara manual dengan cara memijit
atau melakukan rolling pada buah sehingga daging buah menjadi lunak.
Selanjutnya buah dibelah dan dibenamkan dalam air sehingga benih-benih yang
masih melekat pada daging buah dapat keluar dan tenggelam ke dalam air.
Selanjutnya benih dicuci dan dibilas dengan air untuk menghilangkan lendir pada
permukaan benih. Benih dikeringkan di bawah matahari hingga kering (sekitar
tiga jam) hingga KA mencapai 10%. Hasil kadar air awal yang diperoleh mencapai ±7.38%.
Pematahan Dormansi
Untuk perlakuan teknik pematahan dormansi, sebanyak
100 butir benih untuk satu ulangan direndam selama 24 jam dalam dua larutan
yang berbeda (KNO3 0.04% dan GA3 100 ppm). Selanjutnya
benih dikeringanginkan pada suhu kamar.
Pengecambahan Benih
Terung
Benih terung ditanam pada media pasir, arang sekam
dan zeolit. Setiap box ditanami 50 butir benih terung.
Pengamatan
Tolok ukur
vigor yang digunakan yaitu kecepatan tumbuh (KcT), sedangkan
parameter viabilitas potensial digunakan tolok ukur daya berkecambah (DB)
dan potensial tumbuh maksimum (PTM). Setiap tolok ukur diulang 3 kali
dan tiap ulangan terdiri dari 50 butir benih.
1 . Daya Berkecambah (DB)
Pengamatan dilakukan dua
kali yaitu hari ke-7 dan hari ke-14. Daya berkecambah dihitung berdasarkan persentase kecambah
normal pada dua pengamatan tersebut.
DB (%) = ((∑KN I + ∑KN II)/∑Benih yang dikecambahkan) x 100%
Keterangan :
∑ KN I = jumlah kecambah normal hitungan pertama
∑ KN II= jumlah kecambah normal hitungan kedua
Kecepatan tumbuh merupakan total pertumbuhan kecambah
normal setiap hari atas dasar jumlah benih yang ditanam selama waktu yang ditentukan,
diamati setiap hari sampai 14 hari setelah dikecambahkan.
KCT = ∑ d (t=0).
Keterangan: KcT = Kecepatan tumbuh (%/etmal)
t = kurun waktu perkecambahan (etmal)
d = persentase tambahan kecambah normal setiap etmal (1etmal = 24 jam)
3. Indeks Vigor (I.V)
Kecepatan benih dalam berkecambah menjadi metode
yang umum digunakan untuk mengekspresikan vigor benih. Kecepatan kecambah dapat
dinyatakan dengan indeks vigor yang mengekspresikan jumlah benih yang
berkecambah pada in terval satu hari setelah dikecambahkan. Indeks Vigor yang
dimaksud adalah sebagai berikut :
I.V =
G1/D1 + G2/D2 + G3/D3 +G4/D4 +……..Gn/Dn
Keterangan : I.V : Vigor indeks
G : Jumlah kecambah pada hari tertentu
D : Waktu yang berkoresponden dengan jumlah itu
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perlakuan Teknik Pematahan Dormansi
Teknik pematahan
dormansi yang dilakukan memberikan pengaruh terhadap daya berkecambah, indeks
vigor dan kecepatan tumbuh (Tabel 1). Perlakuan dengan pemberian GA3 memberikan
pengaruh nyata dan hasil yang lebih baik terhadap daya berkecambah, indeks
vigor dan kecepatan tumbuh dibandingkan dengan perlakuan lainnya termasuk
kontrol.
Tabel 1. Pengaruh Perlakuan Teknik Pematahan Dormansi terhadap
Tolok Ukur Daya Berkecambah, Indeks Vigor, dan Kecepatan Tumbuh.
Teknik Pematahan Dormansi
|
Tolok Ukur
|
||
DB
|
IV
|
KCT
|
|
...............................
% ..................................
|
|||
Kontrol
|
32.00c
|
16.33c
|
4.22c
|
Aquades
|
55.00d
|
31.67b
|
6.78bc
|
KNO3
|
67.33b
|
35.33b
|
9.08b
|
GA3
|
92.33a
|
89.00a
|
18.42a
|
Keterangan : Angka-angka yang masih diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak
berbeda nyata pada uji DMRT α = 0,01.
Tabel 1
menunjukkan bahwa teknik pematahan dormansi menggunakan GA3
memberikan hasil terbaik pada tolok ukur daya kecambah yakni 92.33% dan berbeda
nyata dengan teknik pematahan dormansi lainnya. Pada tolok ukur indek vigor
(IV) dan kecepatan tumbuh (KCT), teknik pematahan dormansi dengan GA3
memberikan hasil terbaik yakni 89.00% dan 18.42%/etmal yang juga berbeda nyata
dengan teknik pematahan dormansi lainnya termasuk kontrol.
Peran giberelin
dalam pematahan dormansi benih cukup
efektif yang ditunjukkan dengan tingginya persentase tolok ukur daya
berkecambah. Hal ini diperkirakan bahwa giberelin yang terdapat di dalam benih
(endogen) belum dapat berperan dalam
proses perkecambahan sehingga diperlukan tambahan asam giberelat (GA3)
untuk dapat meningkatkan perkecambahannya. Ini sesuai dengan pendapat Joshi et
al., (2010) bahwa perlakuan dengan GA konsentrasi tinggi efektif dalam
mengatasi dormansi dan dapat menyebabkan perkecambahan benih lebih cepat.
Media Perkecambahan
Perlakuan media perkecambahan benih terung memberikan
pengaruh pada peubah daya berkecambah, indeks vigor dan kecepatan tumbuh (Tabel
2). Media perkecambahan berupa pasir secara nyata memberikan hasil terbaik dan
berbeda nyata dengan media perkecambahan kertas stensil dan sekam.
Tabel 2.
Pengaruh Perlakuan Media Perkecambahan terhadap Tolok Ukur Daya Berkecambah,
Indeks Vigor, dan Kecepatan Tumbuh.
Media
Perkecambahan
|
Tolok Ukur
|
||
DB
|
IV
|
KCT
|
|
...............................
% ..................................
|
|||
Kertas stensil
|
30.50c
|
27.75b
|
5.83c
|
Pasir
|
91.25a
|
69.75a
|
13.71a
|
Sekam
|
63.25b
|
31.75b
|
9.34b
|
Keterangan : Angka-angka yang masih diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak
berbeda nyata pada uji DMRT α = 0,01.
Media
perkecambahan pasir memberikan hasil terbaik pada peubah daya berkecambah (DB)
yaitu 91.25% dan berbeda nyata dengan media perkecambahan lainnya. Pada peubah
indeks vigor (IV), media pasir juga memberikan hasil terbaik yaitu 69.75% dan berbeda
nyata dengan perlakuan media perkecambahan lainnya. Demikian juga pada peubah
kecepatan tumbuh (KCT), dimana media pasir memberikan hasil
tertinggi yaitu 13.71%/etmal dan berbeda nyata dengan media perkecambahan
lainnya.
Media sekam dan kertas yang memiliki permukaan substrat
yang keras dan sulit ditembus oleh radikula/plumula benih sehingga
perkecambahan pada media sekam dan kertas ini menjadi sedikit terhambat. Tekstur
pasir yang halus dan berpori dapat mempermudah bagian plumula ataupun radikula
benih untuk muncul lebih cepat. Bobot pasir yang cukup berat akan mempermudah
tegaknya batang. Mudahnya dalam penggunaan dan dapat meningkatkan sistem
aerasi/drainase media tanam menjadi keunggulan media pasir dalam perkecambahan.
Dengan adanya pori-pori yang berukuran besar (pori makro) menjadikan pasir
mudah basah dan cepat kering oleh proses penguapan sehingga dibutuhkan
pengairan yang lebih intensif (Semadim,2011). Hal ini sesuai dengan pendapat Hu
et al (2006) menyatakan bahwa priming dengan media pasir secara nyata dapat
meningkatkan daya tumbuh pada dua varietas alfalfa pada perlakuan cekaman
0.8% NaCl.
Interaksi Teknik Pematahan Dormansi dan Media Perkecambahan
Perlakuan teknik pematahan dormansi dan media perkecambahan
memiliki interaksi yang memberikan
pengaruh yang nyata terhadap peubah daya berkecambah, indeks vigor dan kecepatan tumbuh ditampilkan
pada Tabel 3. Teknik pematahan dormansi dengan aquades memberikan hasil terbaik
dengan media perkecambahan pasir pada tolok ukur daya berkecambah (DB), indeks vigor
(IV) dan kecepatan tumbuh (KCT). Adapun sidik
ragam pengaruh perlakuan teknik pematahan dormansi dan media perkecambahan terhadap tolok ukur daya
berkecambah ditampilkan pada Tabel 4, Tabel 5 dan Tabel 6.
Tabel 3.
Pengaruh Interaksi Pematahan Dormansi dan Media Perkecambahan terhadap Tolok
Ukur Daya Berkecambah, Indeks Vigor dan Kecepatan Tumbuh.
Media Perkecambahan
|
Pematahan Dormansi
|
|||
Kontrol
|
Aquades
|
KNO3
|
GA3
|
|
.................................... DB
(%) ............................
| ||||
Krts Stensil
|
0.00e
|
1.00e
|
27.00d
|
94.00ab
|
Pasir
|
83.00b
|
99.00a
|
88.00ab
|
95.00ab
|
Sekam
|
13.00e
|
65.00c
|
87.00ab
|
88.00ab
|
.................................... IV (%)
............................
|
||||
Krts Stensil
|
0.00d
|
0.00d
|
18.00cd
|
93.00a
|
Pasir
|
49.00b
|
95.00a
|
42.00bc
|
93.00a
|
Sekam
|
0.00d
|
0.00d
|
46.00b
|
81.00a
|
............................ KCT
(%/etmal...........................
|
||||
Krts Stensil
|
0.00
|
0.43
|
6.45
|
16.44
|
Pasir
|
11.12
|
14.08
|
10.28
|
19.34
|
Sekam
|
1.53
|
5.84
|
10.51
|
19.47
|
Keterangan : Angka-angka yang masih diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak
berbeda nyata pada uji DMRT α = 0,01.
Pada
tolok ukur daya berkecambah (DB), teknik pematahan dormansi dengan aquades dan
media perkecambahan pasir memberikan hasil terbaik yaitu 99.00% dan tidak
berbeda nyata dengan perlakuan GA3 pada semua media perkecambahan
dan perlakuan KNO3 pada media perkecambahan pasir dan
sekam. Tetapi, berbeda nyata pada perlakuan kontrol dengan semua media
perkecambahan.
Untuk tolok ukur IV dan KCT, teknik pematahan
dormansi dengan aquades dan media perkecambahan pasir memberikan hasil terbaik
berturut-turut yaitu 95.00% dan 14.08%/etmal. hasil ini tidak berbeda nyata
dengan perlakuan GA3 pada semua media perkecambahan tetapi, berbeda
nyata perlakuan KNO3 dan kontrol pada media perkecambahan kertas
stensil, pasir maupun sekam padi yang digunakan dalam percobaan tersebut.
Pengaruh
yang tidak berbeda nyata yang ditunjukkan oleh teknik pematahan dormansi dengan
aquades dan GA3 memberikan peningkatan laju perkecambahan yang
tinggi pada semua tolok ukur yang digunakan. Dengan kemampuan media
perkecambahan pasir yang dapat menyimpan air, dapat membantu meningkatkan
perkecambahan. Kehadiran air di dalam sel mengaktifkan sejumlah enzim
perkecambahan awal. Fitohormon asam
absisat menurun kadarnya,
sementara giberelin meningkat. Perubahan pengendalian ini
merangsang pembelahan sel di bagian yang aktif melakukan mitosis, seperti
di bagian ujung radikula. Akibatnya ukuran radikula makin besar dan kulit atau
cangkang biji terdesak dari dalam, yang pada akhirnya pecah. Pada tahap ini
diperlukan prasyarat bahwa cangkang biji cukup lunak bagi embrio untuk dipecah
(Anonim, 2012).
Dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya embrio memerlukan energi dan bahan baku, diantaranya untuk sintesa lemak; protein; dan senyawa penyusun lainnya. Kegiatan enzim-enzim di dalam biji distimulir oleh adanya asam giberelin (GA3) yaitu suatu hormon tumbuh yang dihasilkan oleh embrio setelah menyerap air (Sutopo, 1998).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Adapun
kesimpulan yang dapat diperoleh adalah sebagai berikut:
1.Teknik pematahan dormansi pada benih
terung yang memberikan hasil terbaik yakni GA3 100 ppm.
2. Media perkecambahan benih terung yang
memberikan hasil terbaik adalah pasir.
3. Beberapa alternatif teknik pematahan
dormansi yang dapat digunakan pada benih terung adalah aquades, GA3 dan
KNO3.
Saran
Adapun
saran yang dapat diberikan yakni perlu diuji tingkat keefektifan beberapa
konsentrasi GA3 yang beragam baik pada benih terung maupun pada
benih yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2012,
perkecambahan, http://id.wikipedia.org/wiki/Perkecambahan. Diakses pada
tanggal 9 Mei 2012.
Anonymous,1985.Tiga
Puluh Tahun Penelitian Tanaman Obat. Makalah Seminar. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Dept. Pertanian. Jakarta. 16 hal.
Byrd, H.M.
1983. Pedoman Teknologi
Benih (Terjemahan). PT.
Pembimbing Masa Jakarta. Jakarta. 79 hal
Copeland,
L. O.1976. Principles of Seed Science and Technology. Burges Pub. Company.
Minnesota. 369p.
Ellis, R.H.,
T.D. Hong, and
E.H.Robert.1985.Handbook of seed technology for genebank. Principles and
Methodology 1:54-67.IBPGR.Roma
Fitria,
A. A. 2001. Pengaruh Perbedaan Tingkat Kemasakan, Periode After-ripening,
Pematahan Dormansi dan Media Perkecambahan terhadap Dormansi Benih Terung Kopek
Solanum Melongena L. Varietas Dadali.
Sekripsi Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Hu, J., X. J.
Xic, W. J. Song,. 2006. Sand priming improves alfalfa germination under
high-salt concentration stress. Seed sci. and technol. 34:199-204.
ISTA, 1999.
Rules, International Rules
for Seed Testing.
Seed Science andTechnology. International
Seed Testing Association.
Zurich,Switzerland.27:163-164
Joshi. S,.
Chandra,. Debarati. Preeti. S,.S,.
Parihar and HCS Negi. 2010. Effect
of GA on seed germination of Pyracantha
crenulata (D. Don.). New York Science Journal. 2010; 3(9).
Khan. A.A. 1992. Preplant physiological
seed conditioning.p.131-175.In
Wiley and Sons Inc (ed).Hort.Rev.New York
Mayer, A.M. and A.P.Mayber.1982.The Germination of Seeds.Pergamon Press. New
York.192 p
Murniati, E. 1995.
Studi Beberapa Faktor Penyebab Dormansi dan Peranan Mikro Organisme dalam
Mempengaruhi Proses Pematahan
Dormansi Benih Kemiri (Aleurites
moluccana WILLD.).Tesis.Program Pasca
Sarjana IPB.Bogor.
Randle, W.M and
S. Honman. 1981. Dormancy in pepper. Scientiae Horticulturae 14:19-25
Rukmana, R.
1994. Bertanam Terung. Penerbit Kanisius.Yogyakarta.56 hal.
Semadim. 2011.
Pengaruh Berbagai Media terhadap Perkecambahan Matoa. http://semadim.wordpress.com/2011/11/03/pengaruh-berbagai-media-terhadap-perkecambahan-matoa/. Diakses pada
tanggal 9 Mei 2012.
Soetasad, A. A.
dan S. Muryanti. 1999. .Budidaya Terung Lokal dan Terung Jepang. Penebar Swadaya.
Jakarta. 90 p.
Sutopo, L. 1992.
Teknologi Benih. CV.Rajawali Pers.Jakarta.248 hal
Sutopo, L. 1998.
Teknologi Benih. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Usmanij, C.E.
1990. Studi Dormansi Benih Terung Kopek (Solanum melongena L) dan
berbagai cara pematahannya. Skripsi
Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB.Bogor.63 hal
Villiers, T.A.
1972. Seed Dormancy.p
220-282. In T.T. Kozlowski
(ed). Seed Biology. Vol II.
Academic Press. New York
Wanafiah, K. 2003. 2003 Testing Review.Quality Control Production. PT East
West Seed Indonesia. Jember
Wusono, 2001. Pengaruh Media Perkecambahan Benih dan Efektivitas Metode
Pematahan Dormansi pada Berbagai Umur Penyimpanan Benih Terung (Solanum
melongena L.) Varietas TE-20. Skripsi Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas
Pertanian IPB. Bogor.
LAMPIRAN
Tabel 4. Sidik Ragam
Pengaruh Perlakuan Teknik Pematahan Dormansi dan Media Perkecambahan terhadap Tolok Ukur Daya Berkecambah
Sumber Keragaman
|
Derajat Bebas
|
Jumlah Kuadrat
|
Kuadrat Tengah
|
F-hitung
|
p-value
|
Pematahan Dormansi
|
3
|
22765.333
|
7588.444
|
78.68
|
<.0001
|
Media Perkecambahan
|
2
|
29584.667
|
14792.333
|
153.38
|
<.0001
|
Interaksi
|
6
|
16044.667
|
2674.111
|
27.73
|
<.0001
|
Galat
|
36
|
3472.000
|
96.444
|
||
Total
|
47
|
71866.667
|
R2
= 0.95
KK = 15.93 %
Tabel 5. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Teknik
Pematahan Dormansi dan Media Perkecambahan terhadap Tolok Ukur Indeks Vigor
Sumber Keragaman
|
Derajat Bebas
|
Jumlah Kuadrat
|
Kuadrat Tengah
|
F-hitung
|
p-value
|
Pematahan Dormansi
|
3
|
36171.667
|
12057.222
|
42.08
|
<.0001
|
Media Perkecambahan
|
2
|
17194.667
|
8597.333
|
30.00
|
<.0001
|
Interaksi
|
6
|
15493.333
|
2582.222
|
9.01
|
<.0001
|
Galat
|
36
|
10316.000
|
286.556
|
||
Total
|
47
|
79175.667
|
R2
= 0.87
KK = 39.29 %
Tabel 6. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Teknik
Pematahan Dormansi dan Media Perkecambahan terhadap Tolok Ukur Kecepatan Tumbuh
Sumber Keragaman
|
Derajat Bebas
|
Jumlah Kuadrat
|
Kuadrat Tengah
|
F-hitung
|
p-value
|
Pematahan Dormansi
|
3
|
1379.219
|
459.739
|
26.80
|
<.0001
|
Media Perkecambahan
|
2
|
498.569
|
249.285
|
14.53
|
<.0001
|
Interaksi
|
6
|
235.806
|
39.301
|
2.29
|
0.0564
|
Galat
|
36
|
617.544
|
17.154
|
||
Total
|
47
|
R2
= 0.77
KK = 43.03%
Gambar 1. Pertumbuhan benih terung
pada media pasir pada 14 HSS
Gambar 2. Pertumbuhan benih terung pada media sekam pada 14 HSS
Gambar 3. Perbedaan kecambah terung pada 14 HSS
Komentar