Penentuan Vigor Benih Waluh (Cucurbita maschata) Melalui Uji Tetrazolium


PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pertambahan jumlah penduduk yang semakin banyak menuntut adanya pemenuhan kebutuhan yang semakin tinggi. Salah satu kebutuhan yang sekarang menjadi perhatian dunia internasional adalah masalah ketercukupan bahan pangan. Indonesia sebagai negara agraris memiliki banyak potensi untuk menanggulangi hal tersebut. Banyak sumber bahan pangan yang dapat dihasilkan, namun selama ini belum dioptimalkan secara maksimal. Salah satu sumber bahan pangan tersebut adalah waluh ( Cucurbita moschata atau Pumpkin (Ingg.)). 

Di Indonesia banyak varietas tanaman waluh yang dibudidayakan oleh petani. Tanaman waluh biasanya dibudidayakan dilahan kering dan hanya sebagai tanaman sekunder ketika musim kemarau menjelang. Tanaman waluh memiliki kandungan gizi yang sangat tinggi dan sangat mungkin dijadikan makanan alternatif namun, produktivitas yang dihasilkan ditingkat petani masih rendah. Hal ini disebabkan daya tariknya masih kurang dan rendahnya mutu benih yang beredar dipasaran. 

Mutu benih merupakan salah satu faktor indikator yang sangat penting dalam industri perbenihan dan petani/konsumen pemakai benih. Bagi petani, informasi mengenai mutu benih diharapkan dapat memberikan gambaran tentang viabilitas benih dan vigor yang tinggi. Hal itu disebabkan karena viabilitas dan vigor benih merupakan salah satu parameter yang perlu dipertimbangkan sebelum benih disimpan, didistribusikan dan ditanam. Uji viabilitas benih memberikan informasi kemampuan berkecambah suatu benih pada suatu kondisi tertentu. Uji viabilitas dapat dilakukan dengan pengecambahan benih dan diamati daya kecambah dan kekuatan kecambahnya. 

Salah satu metode yang digunakan untuk menduga kualitas benih adalah uji tetrazolium. Uji tetrazolium bertujuan dalam mengaktifkan sel/jaringan benih dan membedakan antara sel atau jaringan yang hidup atau mati. Uji tersebut sangat cepat dan tepat apabila diaplikasikan pada benih yang yang mengalami dormansi dan mengalami pemasakan lanjutan (after ripening). 

Uji tetrazolium sangat perlu diketahui untuk mengefektifkan proses persemaian benih, terutama pada benih-benih dorman. Selain itu, uji ini juga memiliki tingkat ketelitian yang tinggi. Oleh karena itu, pada Praktikum Teknologi Benih ini akan dilakukan uji tetrazolium untuk mengetahui apakah benih yang diamati merupakan benih hidup atau benih mati. Meskipun uji tetrazolium belum tentu membuktikan bahwa viabilitas tanaman itu baik, tetapi secara tidak langsung uji ini dapat mempermudah untuk mengetahui kondisi benih. 

Tujuan Praktikum 
Tujuan praktikum ini adalah membedakan jenis benih viable dan non-viable melalui pembentukan pola pewarnaan uji tetrazolium benih waluh. 

Hipotesis 
Bentuk pola pewarnaan tertentu dari uji tetrazolium dapat digunakan sebagai tolok ukur viabilitas/vigor benih waluh. 

TINJAUAN PUSTAKA 

Karateristik Tanaman Waluh 
Tanaman labu kuning berasal dari Ambon (Indonesia). Ada lima spesies labu yang umum dikenal, yaitu Cucurbita maxima Duchenes, Cucurbita ficifolia Bouche, Cucurbita mixta, Cucurbita moschata Duchenes dan Cucurbita pipo L. Kelima spesies Cucurbita tersebut di Indonesia disebut labu kuning (waluh) karena mempunyai ciri-ciri yang hampir sama (Rina M. dan Sarmoko, 2012).

Tanaman labu kuning merupakan suatu jenis tanaman sayuran menjalar dari famili Cucurbitaceae, yang tergolong dalam jenis tanaman semusim yang setelah berbuah akan langsung mati. Tanaman labu kuning ini telah banyak dibudidayakan di negara-negara Afrika, Amerika, India dan Cina. Tanaman ini dapat tumbuh didataran rendah maupun dataran tinggi. Adapun ketinggian tempat yang ideal adalah antara 0 m-1500 m di atas permukaan laut (Hendrasty, 2003). 

Gambar Buah Waluh (Cucurbita Maschata)

Waluh atau Buah Labu Perenggi adalah salah satu tanaman yang banyak tumbuh di Indonesia. yang mana penanamannya tidak sulit, baik pembibitannya, perawatannya, hasilnyapun cukup memberikan nilai ekonomis untuk Masyarakat. Tanaman ini dapat ditanam di lahan pertanian, halaman rumah atau tanah pekarangan yang kosong dapat kita manfaatkan. Intinya tanaman ini dapat ditanam di daerah Tropis maupun Subtropis (Hidayah, 2010). 

Waluh (Cucurbita moschata, Dutc, ex Poir) termasuk dalam famili Cucurbitaceae. Di Jawa barat waluh biasanya disebut sebagai “Labu Parang”, tanaman tersebut merupakan tanaman setahun yang bersifat menjalar (merambat) dengan perantaraan alat pemegang yang berbentuk pipih. Batangnya cukup kuat dan panjang dan di permukaan batangnya terdapat bulu-bulu yang agak tajam (Heliyani, 1993). 

Buah labu kuning berbentuk bulat pipih, lonjong atau panjang dengan banyak alur (15-30 alur). Ukuran pertumbuhannya cepat sekali, mencapai 350 g per hari. Buahnya besar dan warnanya bervariasi (buah muda berwarna hijau, sedangkan yang lebih tua kuning pucat). Daging buah tebalnya sekitar tiga cm dan rasanya agak manis. Bobot buah rata-rata 3-5 kg. Untuk labu ukuran besar, beratnya ada yang dapat mencapai 20 kg per buah. Buah labu kuning mempunyai kulit yang sangat tebal dan keras, sehingga dapat bertindak sebagai penghalang laju respirasi, keluarnya air melalui proses penguapan, maupun masuknya udara penyebab proses oksidasi. Hal tersebutlah yang menyebabkan labu kuning relatif awet dibanding buah-buahan lainnya. Daya awet dapat mencapai enam bulan atau lebih, tergantung pada cara penyimpanannya. Namun, buah yang telah dibelah harus segera diolah karena akan sangat mudah rusak. Hal tersebut menjadi kendala dalam pemanfaatan labu pada skala rumah tangga sebab labu yang besar tidak dapat diolah sekaligus (Anonim, 2010). 

Viabilitas dan Vigor Benih 
Kualitas benih dapat dilihat dari viabilitas dan vigor benih tersebut. Sadjad (1975) menyatakan bahwa pengujian viabilitas benih berada dalam konteks agronomi disamping sebagai parameter untuk berbagai pendekatan ilmiah, juga dalam rangka menentukan sehat tidaknya benih. Benih harus memiliki tingkat daya berkecambah tertentu, yang ditetapkan oleh suatu peraturan pemerintah di daerah itu, agar dapat diklasifikasikan sebagai benih. Sadjad (1972) menyatakan bahwa viabilitas benih adalah gejala hidup benih yang dapat ditunjukkan melalui metabolisme benih dengan gejala pertumbuhan. 

Vigor benih merupakan fokus bagi insan perbenihan. Benih yang vigor adalah produk teknologi, yang telah melalui upaya pemuliaan genetik dan pemurnian fisik sehingga diperoleh sebuah lot benih berisi individu-individu benih yang prima, memiliki tingkat kemurnian genetik yang tinggi, bersih penampilan fisik, sehat pertumbuhan dan homogen. Vigor benih jelas mengait berbagai fungsi insan benih yang bergerak di sektor hulu maupun hilir. 

Beberapa hasil peneltian menunjukkan bahwa keadaan benih pasca tanam di lapang dapat disimulasikan dalam bentuk model-model tertentu, sehingga dapat diketahui mutu benih dengan melakukan simulasi yang mendekati keadaan sebenarnya. Dari simulasi atau uji tersebut dapat pula diketahui tingkat vigor benih. Metode pendugaan mutu, khususnya mutu fisiologis dilakukan melalui metode langsung dan tidak langsung. Metode langsung menggunakan indikator pertumbuhan kecambah; benih dikecambahkan pada kondisi ideal untuk berkecambah dan tumbuh selama jangka waktu tertentu. 

Metode tidak langsung didasarkan pada proses metabolisme benih serta kondisi fisik benih disebut pula uji cepat viabilitas. Secara umum uji cepat memiliki dua tujuan (Willan, 1985), yaitu: (a) menentukan secara cepat kualitas benih suatu jenis yang berkecambah lambat atau menunjukkan dormansi di bawah perkecambahan normal (b) menentukan viabilitas potensial dari suatu kelompok benih. Sebagai langkah awal untuk menduga dengan cepat viablitas benih, yang sebelumnya dapat diketahui dengan melakukan pengecambahan maka dilakukan uji cepat dengan berbagai metode. Diantaranya yaitu Uji Tetrazolium dan Uji Daya Hantar Listrik. 

Pengujian Tetrazolium 
Uji Tetrazolium telah dilakukan di laboratorium benih di Indonesia sejak tahun 1980-an. Paradigma yang dipahami oleh sebagian kalangan selama ini adalah benih viable (hidup) dari uji tetrazolium merupakan kecambah normal dan abnormal dalam uji DB, sehingga persentase benih viable dalam uji tetrazolium selalu lebih tinggi dibandingkan persentase daya berkecambah (yang merupakan persentase kecambah normal). Paradigma ini diterima karena definisi viable (hidup) diartikan hanya sebagai kemampuan benih tersebut untuk berkecambah, dan tidak menjadi soal apakah berkecambah secara normal atau abnormal. Dengan paradigma demikian, maka hasil uji tetrazolium tidak diperkenankan menjadi data yang dicantumkan di label benih karena akan memberikan kesalahan positif (yaitu persentase benih viable yang lebih tinggi dibandingkan persentase daya berkecambah). Akan tetapi, apabila ditelusuri dari berbagai literatur internasional, maka akan diperoleh suatu kesimpulan bahwa paradigma tersebut di atas kurang tepat. 

Uji tetrazolium adalah uji yang dalam pelaksanaannya menggunakan zat indikator berupa 2.3.5 Trifenil tetrazolium. Uji tetrazolium disebut juga uji biokhemis benih. Karena dengan uji ini akan diketahui terjadinya proses biokimiawi yang berlangsung dalam sel, khususnya dalam embrio benih. Uji tetrazolium juga disebut uji cepat, karena indikator pada uji ini adalah pola-pola pewarnaan pada embrio, bukan proses perkecambahan yang umumnya memerlukan waktu yang lebih lama dalam menentukan final count. 

Klorida/bromida yang larut dalam air digunakan untuk mengindikasikan adanya sel-sel yang hidup. Bila indikator diimbibisi oleh benih kedalam sel-sel benih yang hidup dengan bantuan enzim dehidrogenase akan terjadi proses reduksi sehingga terbentuk zat trifenil formazan, endapan yang berwarna merah. Pada sel-sel yang mati tidak terjadi reduksi, sehingga warnanya tetap. Adanya pola-pola warna merah pada bagianbagian penting pada embrio benih mengindikasikan benih mampu menumbuhkan embrio menjadi kecambah yang normal. 

Kegunaan uji tetrazolium cukup banyak yakni : untuk mengetahui viabilitas benih yang segera akan ditanam, untuk mengetahui viabilitas benih dorman dan untuk mengetahui hidup atau matinya benih segar tidak tumbuh dalam pengujian daya berkecambah benih. Uji tetrazolium sebagai uji vigor bisa dilakukan, dengan cara membuat penilaian benih lebih ketat untuk katagori benih vigor diantara benih viabel. 

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam uji tetrazolium ialah : penyiapan benih yang akan diuji dengan menghitung jumlahnya, pelembaban benih untuk aktivasi enzim dan pelunakan jeringan benih, pembukaan jaringan benih untuk pewarnaan (penusukan, pemotongan, pengupasan testa, pengeluaran embrio), penyiapan larutan tetrazolium, suhu dan lama perendaman, penilaian benih vigor tinggi, vigor rendah dan benih non viabel, ketelitian analis. 

Prinsip metode tetrazolium adalah bahwa setiap sel hidup akan berwarna merah oleh reduksi dari suatu pewarnaan garam tetrazolium dan membentuk endapan formazan merah, sedangkan sel-sel mati akan berwarna putih. Enzim yang mendorong terjadinya proses ini adalah dehidrogenase yang berkaitan dengan respirasi (Byrd, 1988). Kelebihan metode tetrazolium meliputi waktu pengujian yang singkat, sangat tepat diaplikasikan pada benih yang mengalami dormansi serta benih yang mengalami pemasakan lanjutan (after ripening), tingkat ketelitian tinggi, sedangkan kelemahannya memerlukan keahlian dan pelatihan yang intensif, bersifat laboratoris, tidak dapat mendeteksi kerusakan akibat fungi atau mikroba lainnya dan bersifat merusak. 

BAHAN DAN METODE 

Waktu dan Tempat 
Praktikum ini dilakukan di Laboratorium Ekofisiologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian, pada bulan April 2012. 

Bahan dan Alat 
Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah benih waluh, larutan 2.3.5 Trifenil chloride tetrazolium, aquades dan aluminium foil. 

Peralatan yang digunakan terdiri atas gelas ukur, gelas piala, oven, mikroskop, pinset, saringan dan cutter. 

Metode Penelitian 
Percobaan dilakukan menggunakan Rancangan Acak lengkap dengan satu faktor yaitu benih waluh dengan tiga perlakuan yaitu Utuh, Digunting dan Dikupas yang diulang tiga kali sehingga terdapat 9 satuan percobaan. 

Model Rancangan percobaan yang digunakan adalah : 

Yij = m + tI + eij

dimana: i=1, 2, …, t dan j=1, 2, …,r 

Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j 
m = Rataan umum 
tI  = Pengaruh perlakuan ke-i (m i-m) 
eij  = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j 

Pelaksanaan Percobaan 
Pengujian Tetrazolium pada benih waluh dilaksanaan dalam 3 tahap, tahap pelunakan, perlakuan pewarnaan dan pengamatan : 

Tahap Pertama (metoda pelunakan) 
Benih waluh yang terdiri atas tiga ulangan dimana tiap ulangan terdiri dari 25 benih, dilembabkan pada media kertas yang telah dibasahi dengan metode UKD selama ± 15-20 jam. 

Tahap Kedua (metoda perlakuan untuk proses pewarnaan) 
  • Siapkan larutan tetrazolium yang sudah dilarutkan dengan aquades. Perlakuan terhadap benih agar penyerapan larutan tetrazolium mudah mencapai lembaga. 
  • Perlakuan terdiri dari tiga cara yaitu Utuh, digunting dua bagian sisi benih dan dikupas dengan menghilangkan kulit benih. 
  • Selama perlakuan, benih harus dijaga jangan sampai kering. Kertas alas untuk mengiris harus basah dan bersih serta benih yang telah diperlukan dimasukkan dalam beacker glass berisi air. 
  • Setelah benih sejumlah 25 butir selesai diperlakukan, tuangkan air perendaman dengan jalan ditiriskan pada saringan. 
  • Rendam kembali benih tersebut dengan larutan tetrazolium secukupnya sampai benih terendam seluruhnya. 
  • Segera diletakkan diruang gelap / oven dengan suhu 30 0 C ( sama dengan suhu kamar dinegara tropis ). Untuk mempercepat proses pewarnaan bisa dipakai suhu 40 0C selama ± 2-3 jam. 
Tahap ketiga (evaluasi pengamatan) 
Setelah proses pewarnaan biji harus segera di amati : 
  • Tuang larutan tetrazolium dengan menggunakan saringan teh, cuci benih di air yang mengalirsampai bersih (bebas dari larutan tetrazolium). 
  • Rendam dalam air bersih. 
  • Amati benih satu persatu dengan mikroskop, klasifikasikan sesuai dengan gambar criteria standar ISTA. 
  • Pengamatan sebaiknya dilakukan dalam keadaan lembab. 
  • Setelah pengamatan topografi bagian luar benih, maka dilakukan pengamatan pada bagian dalam benih dengan membuka kotiledon menjadi dua bagian. 
  • Pengamatan pada bagian terpenting dari benih seperti sculeum, bakal akar, axis, bakal daun serta kotiledon. 
  • Jika embrio berwarna merah, tetapi sebab-sebabnya bermacam-macam : 
  1. Warna merah cerah : menandakan jaringan masih hidup. 
  2. Warna merah jambu : menandakan jaringan lemah. 
  3. Warna merah tua : menandakan jaringan rusak. 
  4. Tidak berwarna : menandakan jaringan sudah mati (M. Ikbal, 2011). 
HASIL DAN PEMBAHASAN 

Uji Tetrazolium merupakan salah satu uji kualitas benih dengan mengamati apakah suatu benih masih viabel atau tidak. Uji tersebut dilakukan dengan cara melihat warna yang timbul pada embrio benih akibat adanya reaksi dengan garam tetrazolium. Hal ini dapat dilihat pada perlakuan benih waluh baik yang utuh, gunting maupun kupas (Gambar 1).
Gambar 1. Pola pewarnaan benih waluh
          
Gambar 1 menunjukkan adanya pola pewarnaan yang berbeda pada semua jenis perlakuan. Pada perlakuan utuh, tampak sebagian besar bijinya berwarna putih. Untuk perlakuan gunting, bagian sisi benih yang telah dilukai tampak berwarna merah tetapi dominansi warna putih masih tinggi. Sedangkan perlakuan kupas, beberapa benih terlihat berwarna merah sempurna terutama pada bagian ujung hipokotil benih.

Gambar 2. Pola pewarnaan perlakuan kupas benih waluh

Perlakuan kupas sebagian besar menunjukkan pola pewarnaan yang dominan berwarna merah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Dengan perlakuan kupas tersebut dapat diidentifikasi vigor benih dari warna ujung hipokotil benih. Pada Gambar 2 terlihat pada bagian ujung hipokotilnya ada yang berwarna merah utuh, hanya sebagian berwarna merah dan hanya berwarna putih. Menurut Spilde (1998), warna merah tua pada hasil uji Tetrazolium menunjukkan jaringan yang mulai melemah (hampir mati) dan warna putih (tidak berwarna) menunjukkan jaringan yang mati. 

Benih dikategorikan viable apabila terwarnai seluruhnya, terdapat kerusakan kecil (kurang dari 50%) pada kotiledon, tetapi bukan pada bagian penghubung antara kotiledon dan radikula dan bukan pada daerah satu sisi dengan Hilum, kerusakan kecil (kurang dari 50%) pada radikula, tetapi bukan pada bagian ujung atau pada bagian penghubung antara kotiledon dan radikula dan bagian dalam kotiledon berwarna merah atau bergradasi secara teratur dari merah di bagian tepi dan memudar di bagian tengah (suatu kondisi yang wajar akibat berkurangnya penetrasi larutan TZ di bagian dalam). Sedangkan, benih dikategorikan non-viable bila tidak terwarnai seluruhnya, sebagian besar kotiledon tidak terwarnai, sebagian besar radikula tidak terwarnai, kerusakan lain (spt busuk), bagian luar berwarna merah, tetapi bagian dalam kotiledon terlihat adanya batas yang nyata daerah yang tidak terwarnai (spot putih) (Dina et al., 2010).

KESIMPULAN DAN SARAN 

Kesimpulan 
  1. Metode perlakuan kupas pada benih waluh memberikan pola pewarnaan yang lebih jelas dibandingkan dengan tanpa perlakuan (utuh) dan perlakuan gunting. 
  2. Benih waluh yang dikategorikan benih viable jika seluruh permukaan benih didominasi warna merah cerah terutama pada ujung hipokotilnya sedangkan yang tergolong benih non-viable jika benih tidak mengalami pewarnaan (putih) dan warna permukaannya merah tua yang memnandakan jaringannya sudah rusak. 
Saran 
Adapun saran untuk praktikum selanjutnya adalah memperhatikan konsentrasi 2.3.5 Trifenil chloride tetrazolium sehingga dapat disesuaikan dengan lama pewarnaan dan suhunya sehingga pola pewarnaannya lebih jelas. 

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Ribuan Khasiat Labu Kuning Sungguh Luar Biasa,  http://www.suaramedia.com. Diakses pada tanggal 6 Juni 2012.

Byrd, H.W. 1988. Pedoman Teknologi Benih. State College. Mississipi.

Dina, Ismiatun, Arumasih PH, Lisa Yuniar dan Umi Sri Rejeki. 2010. Evaluasi Pola Topografi Pewarnaan dalam Uji Tetrazolium  Benih Kedelai (Glycine max L). http://www.deptan.go.id/humas/detailpublikasi.php?id=51. Diakses pada tanggal 10 Juni 2012.

Heliyani., 1993. Pedoman Praktis Bercocok Tanam (Mentimun, Waluh, Beligo). Mahkota. Jakarta.

Hendrasty, H.K., 2003. Tepung Labu Kuning Pembuatan dan Pemanfaatannya. Kanisius. Yogyakarta.

Hidayah, R., 2010. Manfaat dan Kandungan Gizi Labu Kuning (Waluh). http://www.borneotribune.com. Diakses pada tanggal 6 Juni 2012.

M. Ikbal. 2011. Uji Tetrazolium (uji cepat viabilitas benih secara biokimia dengan tetrazolium).http://ikbalcowok.blogspot.com/2011/01/praktikum-teknologi -benih.html. diakses pada tanggal 10 Juni 2012.

Rina M. dan Sarmoko. 2012. Labu Kuning. http://ccrcfarmasiugm .wordpress.com/ en siklopedia/ensiklopedia-tanaman-anti-kanker/l/labu-kuning/. Diakses pada tanggal 10 Juni 2012.

Sadjad, S. 1972. Penyimpanan Benih Tanaman Pangan. Bahan Kuliah Latihan Pola Tanam. LP-3. IRRI. 32 hal.

Sadjad, S. 1975. Teknologi Benih dan Masalah Uji Viabilitas Benih. Hal : 127- 145. Dalam S. Sadjad (Ed.). Dasar-Dasar Teknologi Benih, Capita Selecta. Departemen Agronomi, Institut Pertanian Bogor, Biro Penataran. Bogor. 216 hal.

Spilde L.  1998.  Laboratory Notes : Seed Viability Testing.  Plant Science 330.  www.ndsu.nodak.edu/instruct/spilde/ps330_98/viab_lan.html. Diakses pada  tanggal 14 Juni 2012.

Lampiran Gambar

Gambar Pewarnaan perlakuan kupas selama 1,5 jam

 Gambar Pola pewarnaan merah terang seluruh permukaan benih waluh


Gambar  Sebagian benih mengalami kerusakan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

REPLIKASI, TRANSKRIPSI DAN TRANSLASI (SINTESIS PROTEIN)

METODE SELEKSI PADA TANAMAN MENYERBUK SENDIRI DALAM PEMULIAAN TANAMAN

Centotheca lappacea (Linnaeus) Desvaux