SELEKSI IN VITRO TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN

Pengertian Cekaman Kekeringan 

Kekeringan merupakan suatu cekaman abiotik yang sangat serius yang didefinisikan suatu keadaan kurangnya ketersediaan air, meliputi presipitasi dan kuantitas kelembaban tanah dan distribusinya, selama siklus hidup tanaman, yang menyebabkan terhalangnya ekspresi genetik secara keseluruhan pada hasil panen (Sinha dalam Hassan et al., 2004). Cekaman kekeringan menjadi masalah yang perlu diperhatikan dalam budidaya beberapa tanaman di lahan kering karena ketersediaan air tidak selalu terjamin sepanjang musim tanam, terutama pada musim-musim menjelang kemarau (Yudiwanti et al., 2008). Tanaman yang terkena cekaman kekeringan ini maka secara perlahan akan berkurang tingkat pertumbuhannya (Hassan et al., 2004) dan produktivitasnya juga menurun (Arvin & Donelly, 2008). Jika cekaman kekeringan semakin intensif terjadi, maka respon tanaman dapat dilihat secara jelas (Rains dalam Hassan et al., 2004). Seperti yang dilaporkan Sorte et al., Lilley & Fukai dalam Arvin & Donelly (2008), cekaman kekeringan yang terjadi selama tahap vegetatif dan reproduksi telah menurunkan produksi biomassa pada kutivar padi sebesar 36–44%. Hal ini menunjukkan bahwa cekaman abiotik menyebabkan kerugian dalam segi finansial hingga beberapa juta dolar setiap tahun karena penurunan dan kegagalan panen. 


Ketahanan terhadap kekeringan didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana tanaman dapat meminimalisasi hilangnya air dari lingkungannya jika dibandingkan dengan tanaman lain yang ditanam pada kondisi normal (Biswas et al., 2002). Bioteknologi diharapkan dapat memberikan solusi dalam penyelesaian masalah cekaman abiotik ini, salah satunya melalui penapisan awal secara in vitro. Berdasarkan Hassan et al. (2004), teknik kultur jaringan dapat memberikan harapan dalam perbanyakan dan penapisan dini tanaman tertentu dengan kondisi lingkungan yang dapat dikontrol. Selanjutnya metode seleksi in vitro ini menunjukkan keberhasilan dalam menghasilkan berbagai tanaman yang tahan terhadap cekaman kekeringan. 

Pembentukan Variasi Somaklonal 

Variasi somaklonal adalah variasi genetik tanaman yang dihasilkan melalui kultur jaringan atau kultur sel, yang meliputi semua variasi genetik yang terjadi pada hasil regenerasi dari sel yang tidak berdiferensiasi, protoplas, kalus maupun jaringan. Variasi somaklonal dapat digunakan sebagai sumber keragaman genetik untuk sifat-sifat yang berguna untuk tujuan pemuliaan tanaman. Selain itu, variasi somaklonal juga merupakan sarana alternatif dalam pemuliaan tanaman untuk menciptakan varietas-varietas baru yang resisten terhadap penyakit dan herbisida, toleran terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim misalnya kekeringan (drought tolerance) serta dapat memperbaiki kualitas maupun hasil dari tanaman (Ignacimuthu et al. dalam Sunaryo, 2002). 

Perbaikan tanaman melalui variasi somaklonal telah banyak dilakukan, antara lain untuk sifat ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik. Cara tersebut bermanfaat bila dapat menambah komponen keragaman genetik yang tidak ditemukan di alam serta mengubah sifat dari kultivar yang ada menjadi lebih baik, terutama untuk tanaman yang diperbanyak secara vegetatif atau menyerbuk sendiri (Yudiwanti et al., 2008). 

Variasi somaklonal dalam kultur jaringan terjadi akibat penggunaan zat pengatur tumbuh dan tingkat konsentrasinya, lama fase pertumbuhan kalus, tipe kultur yang digunakan (sel, protoplasma, kalus jaringan), serta digunakan atau tidaknya media seleksi dalam kultur in vitro (Skirvin et al., dan Jain dalam Yunita, 2009). Selain itu, pembentukan variasi somaklonal juga dapat diinduksi dengan perlakuan mutasi baik secara fisik maupun kimia. 

Induksi Mutasi 

Mutasi adalah perubahan genetik, baik perubahan pada gen tunggal, sejumlah gen maupun susunan kromosom. Perubahan dapat terjadi pada setiap bagian tanaman, khususnya bagian yang selnya aktif membelah (Micke dan Donini dalam Yunita, 2009). Secara umum, mutasi dihasilkan oleh segala tipe perubahan genetik yang mengakibatkan perubahan fenotipe yang diturunkan, termasuk keragaman kromosom, sehingga menyebabkan terjadinya keragaman genetik (Soeranto dalam Yunita, 2009). 

Induksi mutasi dapat terjadi secara alamiah atau melalui teknik kimia atau fisik. Induksi mutasi secara kimia atau fisik dapat memperluas keragaman genetik tanaman melalui perubahan susunan gen yang berasal dari tanaman itu sendiri. Mutasi spontan (alamiah) tidak mampu memberikan keragaman genetik secara cepat dan akurat. Oleh karena itu, metode untuk menginduksi mutasi merupakan masalah yang penting untuk diketahui dalam upaya perbaikan tanaman dan meningkatkan produktivitas tanaman (Ahloowalia dan Maluszynsky dalam Hemon, 2010). 

Induksi mutasi menggunakan radiasi sinar X dan sinar gamma paling banyak digunakan untuk mengembangkan varietas mutan. Hal ini terbukti dalam kurun waktu 70 tahun terakhir, telah dihasilkan 2.250 varietas mutan di seluruh dunia (Maluszynki et al. dalam Yunita 2009) Sekitar 89% dari 1.585 varietas yang dilepas sejak tahun 1985 merupakan hasil induksi mutasi secara langsung, 64% di antaranya dikembangkan dengan menggunakan sinar gama dan hanya 22% dengan sinar X (Ahloowalia et al. dalam Yunita 2009). 

Mutagen kimia merupakan senyawa kimia yang mudah terurai membentuk radikal yang aktif, dapat bereaksi dengan asam amino sehingga terjadi perubahan sifat. Bahan kimia yang termasuk mutagen kimia dan berguna dalam pemuliaan tanaman adalah kelompok pengalkil seperti EMS, DES, etilin amina (EM), etil nitroso urea (ENH), dan metil nitroso urea serta kelompok azida. Kelemahan kelompok pengalkil adalah mudah terhidrolisis sehingga menjadi tidak aktif lagi sebagai mutagen, selain bersifat toksik. Keadaan ini dapat digunakan untuk menentukan waktu paruhnya. Selain itu, senyawa pengalkil sangat berbahaya bagi manusia karena bersifat karsinogen, terutama etilin amina yang sangat mudah menguap dengan titik didih 56°C/760 mm (Ismachin dalam Yunita 2009). 

Seleksi In Vitro 

Keragaman genetik yang ditimbulkan oleh variasi somaklonal dan induksi mutasi bersifat acak. Untuk mengidentifikasi keragaman somaklonal maupun induksi mutasi ke arah perubahan yang diinginkan, dapat digunakan teknik seleksi in vitro. Pada teknik in vitro, seleksi ketahanan terhadap cekaman abiotik seperti kekeringan, keracunan Al, pH tanah rendah, dan salinitas dapat digabungkan dalam media kultur in vitro dan digunakan untuk menumbuhkan varian somaklon yang diperoleh. Tanaman hasil regenerasi jaringan pada kultur in vitro kemungkinan akan mempunyai fenotipe yang toleran terhadap kondisi seleksi (Yunita, 2009). 

Seleksi in vitro lebih efisien karena kondisi seleksi dapat dibuat homogen, tempat yang dibutuhkan relatif sedikit, dan efektivitas seleksi tinggi. Oleh karena itu, kombinasi antara induksi variasi somaklonal dan seleksi in vitro merupakan alternatif teknologi yang efektif dalam menghasilkan individu dengan karakter yang spesifik (Kadir dalam Yunita 2009). 

Polyethylene Glycol (PEG) sebagai Agen Penyeleksi terhadap Cekaman Kekeringan 

Seleksi in vitro untuk mendapatkan varian yang toleran terhadap kekeringan dapat menggunakan agen seleksi berupa senyawa osmotik. Senyawa ini dapat menyimulasi kondisi kekeringan di lapangan. Senyawa osmotik yang paling banyak digunakan dalam simulasi cekaman kekeringan adalah polyethylene glycol (PEG) (Santos & Ochoa dan Dami & Hughes dalam Yunita 2009). Senyawa PEG bersifat larut dalam air dan dapat menyebabkan penurunan potensi air secara homogen. Penggunaan PEG sebagai media seleksi tidak membahayakan tanaman karena mempunyai berat molekul lebih besar dari 4 000. Dengan demikian, kerusakan atau kematian tanaman pada simulasi menggunakan senyawa PEG diyakini sebagai efek kekeringan, bukan efek langsung dari senyawa PEG karena senyawa tersebut tidak diserap oleh tanaman (Dami & Hughes dan Verlues et al. dalam Yunita 2009). 

Polyethylene glycol (PEG) dengan berat molekul tinggi telah lama digunakan untuk merangsang cekaman kekeringan pada tanaman (Ruf et al., Kaufman & Eckard, Corchete & Guerra, dalam Hassan et al. (2004)). PEG dengan berat molekul tinggi merupakan agen osmotik yang inert yang bersifat nonpenetrating yang mempunyai efek mengurangi potensial air dari larutan nutrien dan tidak bersifat fitotoksin (Lawlor dalam Hassan et al. (2004). Menurut Sakthivelu et al. (2008), aplikasi PEG dalam media regenerasi mempunyai efek detrimental terhadap kebanyakan parameter yang berkaitan dengan regenerasi planlet. Pada berbagai peneitian, PEG yang digunakan adalah PEG dengan berat molekul 3 000 (Qadir & Al- Ka’abay, 2011), berberat molekul 6 000 (Sakthivelu et al., 2008; Hassan et al., 2004; dan Biswas et al., 2002) dan berberat molekul 8000 (Arvin & Donelly, 2008). 

Cekaman kekeringan in vitro yang diciptakan dengan menambahkan PEG pada media MS0 dapat digunakan untuk mempelajari respon fisiologis tanaman uji seperti panjang akar, panjang batang, dan interaksi biokimia dalam tanaman uji tersebut. Penapisan in vitro berguna dalam menyeleksi kultivar tanaman tertentu di dalam proses pemuliaan tanaman dalam cekaman abiotik semisal kekeringan. Berikut akan diberikan contoh respon tanaman kedelai, tomat, kentang, padi, jewawut, dan bunga matahari dengan perlakuan PEG.

Studi Kasus Penggunaan PEG sebagai Agen Penyeleksi terhadap Cekaman Kekeringan 
  • Efektivitas Polietilena Glikol untuk Mengevaluasi Tanggapan Genotipe Kedelai terhadap Cekaman Kekeringan pada Fase Perkecambahan oleh Widoretno, et al. (2002).
Perkecambahan benih kedelai menurun akibat meningkatnya konsentrasi PEG pada media perkecambahan. Hal ini diduga terjadi akibat terhambatnya proses pembelahan sel, pemanjangan sel, atau keduanya akibat cekaman kekeringan yang disimulasikan dengan PEG. Menurunnya transportasi sukrosa dari kotiledon ke poros embrio pada benih Cicer arientinum yang berkecambah juga diamati dalampenelitian sebelumnya. Pada kedelai panjang hipokotil kecambah lebih sensitif terhadap cekaman kekeringan dibandingkan dengan panjang akar kecambah. Cekaman kekeringan yang disimulasikan dengan PEG juga dilaporkan berpengaruh negatif terhadap panjang dan bobot kering epikotil dan hipokotil kecambah C. arientinum. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa genotipe kedelai yang toleran dan yang peka cekaman kekeringan mempunyai tanggap yang berbeda terhadap simulasi cekaman kekeringan oleh PEG pada konsentrasi tertentu. Genotipe kedelai yang toleran cekaman kekeringan (MLG2805) mempunyai indeks potensial tumbuh maksimum (PTM), indeks daya berkecambah (DB), indeks bobot kering kecambah (BKK), dan indeks panjang hipokotil (PH) yang tinggi. Sebaliknya, genotipe kedelai yang peka (MSC8606) mempunyai indeks PTM, indeks DB, indeks BKK, dan indeks PH yang rendah. Di antara empat indeks perkecambahan yang dapat digunakan untuk menilai respons kedelai terhadap cekaman kekeringan, indeks BKK (PEG 10%) merupakan peubah yang tidak direkomendasikan mengingat pengukuran BKK bersifat destruktif. Indeks DB tidak disarankan untuk digunakan mengingat peubah perkecambahan ini biasanya digunakan untuk mengukur kualitas fisiologi benih dalam media perkecambahan yang optimum. Indeks PTM pada konsentrasi PEG 20% dan indeks PH pada konsentrasi PEG 5% merupakan peubah yang dapat diamati dengan mudah dan dapat digunakan untuk menilai respons kedelai terhadap cekaman kekeringan. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa PEG dapat menghambat proses perkecambahan kedelai yang ditandai dengan menurunnya potensi tumbuh maksimum, daya berkecambah, bobot kering kecambah, panjang akar, dan panjang hipokotil. Indeks PTM pada 20% PEG dan indeks PH pada 5% PEG dapat digunakan sebagai media seleksi kedelai untuk toleransi terhadap kekeringan di tingkat perkecambahan. Hasil evaluasi pada benih kedelai tersebut mendukung data yang telah dilaporkan sebelumnya. Pada pengujian benih cabai dan terong, penurunan daya berkecambah dalam media dengan PEG dapat digunakan untuk menduga tanggap genotipe cabai dan terong yang diuji terhadap cekaman kekeringan. Larutan PEG dengan potensial air -0.3 MPa diketahui optimum untuk menentukan tanggap genotipe cabai dan terong terhadap cekaman kekeringan. Dalam kondisi ini, genotipe yang daya berkecambahnya tinggi merupakan genotipe yang toleran, sedangkan yang rendah merupakan genotipe yang peka terhadap cekaman kekeringan. Simulasi cekaman kekeringan menggunakan PEG menjadi alternatif metode untuk menapis genotipe yang toleran kekeringan. Metode ini mampu menapis genotipe kedelai toleran kekeringan dengan cepat, memberikan lingkungan seleksi yang homogen, serta mengevaluasi genotipe kedelai dalam jumlah banyak.  
  • Pertumbuhan Tanaman Kacang Tanah hasil seleksi in vitro Pada media polietilena glikol terhadap cekaman Larutan polietilena glikol oleh Hermon (2009). 
Penyiraman tanaman kacang tanah dengan larutan PEG 15% nyata menghambat pertumbuhan tanaman. Tanaman yang dihasilkan dari ES hasil seleksi in vitro dua siklus (seleksi berulang) pada media selektif PEG 15% menghasilkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik dan penghambatan pertumbuhannya lebih kecil dibanding tanaman hasil seleksi ES satu siklus pada media selektif PEG 15% dan tanaman yang tidak melewati seleksi in vitro. Tanaman hasil seleksi ES dua siklus (seleksi berulang) mempunyai tingkat toleransi yang lebih baik terhadap cekaman PEG. Seleksi ES dua siklus pada media selektif PEG 15%menghasilkan individu galur kacang tanah agak toleran dan toleran lebih banyak. 
  • Penggunaan Polyethylen Glycol (PEG) sebagai Seleksi Ketahanan Kalus dan Planlet Beberapa Varietas Tebu terhadap Sifat Kekeringan oleh Musa (2008).
Varietas R 579 memberikan pertumbuhan kalus dan planlet terbaik yaug diperlihatkan pada parameter persentase kematian kalus, warna kalus, kecepatan pembentukan akar dan jumlah anakan. Sedangkan varietas Philipina yang memberikan tinggi tunas, jumlah akar, panjang akar dan pertumbuhan planlet terbaik. Batas ketahanan varietas tebu terhadap cekaman kekeringan diperoleh pada konsentrasi PEG 20 g/L, pada setiap penambahan konsentrasi PEG kalus dan planlet mengalami penurunan pertumbuhan. Terdapat interaksi yang nyata antara varietas dengan konsentrasi PEG yang diberikan terhadap kecepatan sifat kalus dan planlet tebu. Varietas R 579 dengan konsentrasi PEG 0 g/L memberikan pertumbuhan terbaik.

DAFTAR PUSTAKA 

Arvin, M.J. and J. Donnelly. 2008. Screening potato cultivars and wild species to abiotic stresses using an electrolyte leakage bioassay. J. Agric. Sci. Technol 10:33-42. 

Biswas, J., B. Chowdhury, A. Bhattacharya, and A.B. Mandal. 2002. In vitro screening for increased drought tolerance in rice. In Vitro Cell. Dev. Biol. Plant. 38:525–530. 

Hassan, N.S., L.D. Shaaban, E.S.A. Hashem, and E. Seleem. 2004. In vitro selection for water stress tolerant callus line of Helianthus annus L. Cv. Myak. Int. J. Agri. Biol. 6(1):1-18. 

Hermon, A.F. 2009. Pertumbuhan tanaman kacang tanah hasil seleksi in vitro pada media Polietilena Glikol terhadap cekaman larutan Polietilena Glikol. Crop. Agro 2(1):1-7. 

Hermon, A.F. 2010. Induksi mutasi dengan iradiasi sinar gamma dan seleksi in vitro untuk identifikasi embrio somatik kacang tanah cv. lokal bima yang toleran pada media Polietilena Glikol. Crop. Agro 3(1):65-71. 

Kulkarni, M., and U. Deshpande. 2007. In vitro screening of tomato genotypes for drought resistance using Polyethylene Glycol. Afr. J. Biotechnol 6(6):691-696. 

Musa, Y. 2008. Penggunaan Polyethylen Glycol (PEG) sebagai seleksi ketahanan kalus dan planlet beberapa varietas tebu terhadap sifat kekeringan. J. Agrivigor 7(2):130-140. 

Qadir, L.H.A. and H.K. Al-Ka’aby. 2011. The effect of water stress on callus and somatic embryos formation of rice (Oryza sativa L.) Cv. Jasmine cultured in vitro. Journal of Basrah Researches (Sciences) 37(3):1-10. 

Sakthivelu, G., M.K.A. Devi, P. Giridhar, T. Rajasekaran, G.A. Ravishankar, T. Nedev, and G. Kosturkova. 2008. Drought-induced alterations in growth, osmotic potential and in vitro regeneration of soybean cultivars. Gen. Appl. Plant Physiology 34(1-2):103-112. 

Sunaryo, W. 2002. Regenerasi dan Evaluasi Variasi Somaklonal Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) Hasil Kultur Jaringan serta Seleksi terhadap Cekaman Kekeringan Menggunakan Simulasi Polyethylene Glycol (PEG). Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 160 hal. 

Widoretno, W., E. Guhardja, S. Ilyas, dan Sudarsono. 2002. Efektivitas Polietilena Glikol untuk mengevaluasi tanggapan genotipe kedelai terhadap cekaman kekeringan pada fase perkecambahan. Hayati 9(2):33-36. 

Yudiwanti, Sudarsono, H. Purnamawati, Yusnita, D. Hapsoro, A.F. Hemon, dan S. Soenarsih. 2008. Perkembangan pemuliaan kacang tanah di Institut Pertanian Bogor. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 19 November 2007. Puslitbangtan, Badan Litbang Pertanian, Deptan. Malang. Hal 152-161. 

Yunita, R. 2009. Pemanfaatan variasi somaklonal dan seleksi in vitro dalam perakitan tanaman toleran cekaman abiotik. Jurnal Litbang Pertanian 28(4):142-148.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

REPLIKASI, TRANSKRIPSI DAN TRANSLASI (SINTESIS PROTEIN)

Centotheca lappacea (Linnaeus) Desvaux

METODE SELEKSI PADA TANAMAN MENYERBUK SENDIRI DALAM PEMULIAAN TANAMAN