PERMEABILITAS KEMASAN


Latar Belakang 
Kualitas dari benih yang akan digunakan akan menentukan produksi tanaman di lapangan. Benih yang memiliki kualitas baik didapatkan dari benih yang memiliki mutu genetis, mutu fisis dan mutu fisiologis yang baik. Untuk menghasilkan benih tersebut, memerlukan penanganan yang terencana dengan baik sejak tanaman di lapang, pengolahan, penyimpanan dan distribusi. 

Penyimpanan benih merupakan suatu usaha untuk mempertahankan mutu benih sampai benih itu ditanam kembali. Penyimpanan benih di daerah tropis sering mengalami kendala terutama karena masalah kelembaban yang tinggi dan fluktuasi suhu. Oleh karena itu, penyimpanan benih menggunakan kemasan menjadi salah satu faktor yang harus diperhatikan karena penggunaan kemasan hendaknya dapat memberikan sumbangan dalam mempertahankan viabilitas benih. 

Faktor utama didalam pengemasan adalah jenis kemasan yang tahan terhadap uap air karena penggunaan jenis kemasan merupakan faktor lingkungan simpan yang dapat mempengaruhi viabilitas benih yang disimpan. Kemasan dibuat dengan tujuan untuk melindungi mutu benih yang akan disimpan, sehingga jenis kemasan yang kuat, tahan pecah dan tahan sobek sangat dibutuhkan. 

Permeabilitas kemasan terhadap gas merupakan sifat penting dalam pemilihan jenis kemasan. Sifat permeabilitas bahan kemasan terhadap uap air diperlukan untuk mempertahankan kadar air serta viabilitas benih. Faktor yang harus menjadi perhatian adalah sealability, elastisitas, harga dan mudah tidaknya bahan itu diperoleh. 

Beberepa metode yang dapat dilakukan untuk menguji daya tembus bahan yang digunakan dalam penyimpanan terhadap uap air yaitu metode piring (dish method) dan metode Bange (Fornerod dalam Justice dan Bass 2002). Pengatur suhu dan RH pada pengujian serupa telah diatur oleh the U.S Bureau of Standard sehingga akan memberikan nilai kuantitatif yang terstandarisasi. 

Didalam pemilihan jenis kemasan harus memperhatikan tipe benih yang akan disimpan, RH ruang penyimpanan, kadar air awal, kondisi simpan, lama penyimpanan dan tujuan akhir dari penyimpanan. Lingkungan penyimpanan berpengaruh nyata terhadap kualitas benih terutama pada penyimpanan jangka panjang (Lewis et al.,1998). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Setyaningsih (2002) menjelaskan bahwa benih Adas yang disimpan pada ruang AC (20°C, RH 65%) dapat mempertahankan viabilitas benih dan vigor benih sampai 25 minggu periode simpan, sedangkan pada kondisi kamar viabilitas dan vigor benih mulai mengalami penurunan saat mencapai minggu ke-15 setelah simpan. 

Benih yang masa simpannya pendek atau disimpan pada kondisi dingin dan kering akan mampu mempertahankan viabilitasnya dengan baik pada kemasan kertas atau kain porous sedangkan benih yang disimpan pada kondisi tropis dan tidak memiliki perlindungan terhadap kelembaban yang tinggi akan cepat kehilangan viabilitas (Justice dan Bass, 2002).

Tujuan 
Praktikum ini bertujuan untuk mempelajari permeabilitas dari beberapa jenis bahan pengemasan. 

Hipotesis 
  1. Terdapat perbedaan permeabilitas dari beberapa bahan kemasan yang digunakan dalam percobaan. 
  2. Bobot silika gel akan meningkat dengan bertambahnya periode penyimpanan. 
  3. Terdapat interaksi antara bahan kemasan dengan periode simpan. Pertambahan bobot silika gel berbeda antar bahan kemasan seiring dengan bertambahnya periode simpan. 
TINJAUAN PUSTAKA

Penyimpanan 
Penyimpanan merupakan faktor utama bagi benih dari saat benih matang fisiologis di lapang, panen sampai benih tersebut ditanam kembali. Penyimpanan diperlukan agar mutu benih pada saat dipanen dapat dipertahankan dan memperlambat laju kemuduran benih yang terjadi. Stubsgaard (1992) dalam Siregar (2000), mengemukakan bahwa periode penyimpanan terdiri dari penyimpanan jangka panjang, penyimpanan jangka menengah dan penyimpanan jangka pendek. Penyimpanan jangka panjang memiliki kisaran waktu puluhan tahun, sedangkan penyimpanan jangka menengah memiliki kisaran waktu beberapa tahun dan penyimpanan jangka pendek memiliki kisaran waktu kurang dari satu tahun 

Kemunduran benih merupakan kemuduran fisiologis benih yang dapat menimbulkan perubahan menyeluruh dalam benih baik secara fisik, fisiologi maupun biokimia yang menyebabkan menurunnya viabilitas benih (Sadjad, 1980). Perpanjangan daya simpan benih diupayakan dengan pengaturan lingkungan simpan, perawatan benih dan kondisi benih sebelum disimpan. 

Sukarman dan Rusmin (2000) menyatakan bahwa penyimpanan benih bertujuan untuk mempertahankan mutu fisiologis benih karena penyimpanan tidak dapat memperbaiki mutu benih. Selama proses penyimpanan, benih akan mengalami kemunduran yang kecepatannya dipengaruhi oleh faktor genetik, vigor awal benih, kelembaban nisbi, suhu ruang penyimpanan dan ketersediaan oksigen. 

Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki fluktuasi suhu yang cukup tinggi sehingga mengalami kesulitan dalam penyimpanan benih. Perubahan suhu akan mempengaruhi benih secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung akan memudahkan munculnya cendawan dan hama sedangkan secara tidak langsung akan meningkatkan suhu penyimpanan sehingga akan mempercepat laju kemunduran benih. 

Kemasan
Kegiatan penyimpanan benih tidak terlepas dari penggunaan kemasan. Kemasan adalah wadah atau media yang digunakan untuk membungkus bahan hasil pertanian sebelum bahan tersebut disimpan dalam ruang penyimpanan. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pengaturan, pengangkutan, penempatan dari ke tempat penyimpanan serta memberikan perlindungan pada bahan (Imdad dan Abdjad,1995) 

Kemasan pada dasarnya dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu: a) kemasan yang kedap uap air seperti aluminum foil b) kemasan yang resisten terhadap kelembaban seperti plastik polietilen dan c) kemasan yang porous (memiliki rongga) seperti kertas (Justice dan Bass, 2002) 

Menurut Siregar (2000), beberapa sifat khusus yang harus diperhatikan dari kemasan adalah : 
  • Permeabilitas, yaitu kemampuan wadah untuk dapat menahan kelembaban dan gas pada level tertentu 
  • Insulasi, yaitu kemampuan wadah untuk mempertahankan suhu 
  • Ukuran lubang, yaitu kemampuan wadah untuk bertahan dari serangan serangga dan mikroorganisme yang dapat masuk melalui celah-celah kemasan 
  • Kemudahan dalam hal penanganan seperti tidak licin, mudah ditumpuk, mudah dibuka, ditutup, disegel dan mudah dibersihkan. 
  • Biaya, harus diperhitungkan dengan nilai nominal dari benih sendiri
Bahan dan Alat 
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah silika gel, kemasan berbahan kertas samson, kain blacu, plastik gula, plastik PP 0,8 mm, alumunium foil susu. Alat yang digunakan adalah timbangan analitik, dan hygrometer (alat pengukur suhu dan RH ruangan). 

Metode 
  1. Permeabiltas berbagai jenis bahan kemasan, dilihat melalui persentase peningkatan bobot silika gel di dalam kemasan selama periode tertentu. 
  2. Percobaan disusun dengan rancangan split-plot, dimana petak utama adalah periode pengamatan yaitu 3 minggu (P1), 4 minggu (P2), 5 Minggu (P3), 6 minggu (P4), 7 minggu (P5) dan 8 minggu (P6) penyimpanan di ruang kamar (suhu dan RH alami) sedangkan anak petak adalah jenis kemasan dengan taraf lima taraf yaitu kemasan yang berbahan kertas Samson (K1), kain blacu (K2), plastik gula (K3), plastik PP 0.8 mm (K4), alumunium foil (K5). Perlakuan diulang sebanyak 4 kali duplo. 
  3. Pengamatan dilakukan pada penyimpanan di ruang kamar (suhu dan RH alami).
  4. Lima jenis kemasan disiapkan dengan ukuran yang sama. 
  5. Sekitar satu sendok kecil silika gel yang telah di ovenkan sebelumnya, ditimbang dan dicatat bobotnya, dimasukkan dalam kemasan, kemudian segera direkatkan. Langkah ini dilakukan pada semua kemasan yang diperlukan. 
  6. Setiap peride pengamatan 3 minggu, 4 minggu, 5 minggu, 6 minggu, 7 minggu dan 8 minggu dilakukan penimbangan bobot silika gel dan di hitung persentase penambahan bobotnya. 
  7. Data yang diperoleh diolah dengan uji stastistika, jika berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut.
Hasil dan Pembahasan
Hasil analisis ragam menunjukkan tidak ada interaksi yang nyata antara jenis kemasan dengan lama penyimpanan terhadap pertambahan bobot silika gel (Tabel 1). Pertambahan bobot silika gel nyata dipengaruhi oleh faktor tunggal dari periode simpan dan sangat nyata dipengaruhi oleh jenis kemasan. 

Tabel 1. Rekapitulasi hasil sidik ragam pengaruh kemasan dan periode simpan serta  interaksinya terhadap pertambahan bobot silika gel 

Respon
Cv (%)
Perlakuan
Periode simpan (P)
Kemasan (K)
Interaksi (P x K)
Bobot silika gel
17,55
*
**
tn

Keterangan: * berpengaruh nyata (5%), ** berpengaruh sangat nyata (1%), tn tidak berpengaruh nyata

Pengaruh Kemasan terhadap Pertambahan Bobot Silika Gel 
Jenis kemasan yang berbeda berpengaruh sangat nyata terhadap persentase pertambahan bobot silika gel. Hasil uji DMRT pada Tabel 2 menunjukkan bahwa silika gel yang dikemas dalam kemasan alumunium foil memiliki persentase bobot yang paling rendah (1,89), kemudian diikuti oleh plastik PP 0,8 mm (3,60), plastik gula (4,78), dan kertas samson (15,29) yang tidak berbeda nyata dengan kain blacu (15,67). 

Tabel 2. Pengaruh jenis kemasan terhadap pertambahan bobot silika gel
Jenis kemasan
Pertambahan bobot
silika gel (%)
Kertas samson      
15,28 a
Kain blacu             
15,67 a
Plastik gula          
  4,78 b
Plastik PP 0,8 mm
  3,61 c
Alumunium foil 
  1,89 d
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut DMRT 5%
Persentase bobot silika gel yang rendah pada kemasan alumunium foil menunjukkan alumunium foil merupakan kemasan yang paling sedikit menyerap uap air dari udara (permeabilitas rendah) dibandingkan dengan kemasan lain. Hal ini mengindikasikan kemasan tersebut memiliki daya simpan yang baik, dan sangat tepat digunakan untuk penyimpanan benih ortodok. Penyimpanan benih ortodok menghendaki agar kadar air benih tetap rendah sehingga viabilitas benih dapat dipertahankan selama di penyimpanan. Hasil percobaan ini, sesuai dengan penelitian yang dilakukan Michael dalam Chuansin et al. (2006) yang melaporkan alumunium foil memiliki sifat perlindungan terhadap air (0,0914 cc/m2/jam) lebih baik dibanding polyetilen (0,2472 cc/m2/jam) pada penyimpanan benih kedelai. 

Keunggulan alumunium foil sebagai kemasan simpan benih ortodok telah banyak dilaporkan oleh beberapa peneliti (Chuansin et al, 2006; Rahayu dan Widajati, 2007; Tatipata, 2008). Hal ini diduga dikarenakan kandungan Al sebagai lapisan dalam alumunium foil merupakan penghambat laju masuknya air dan udara yang cukup efektif. Menurut Rahayu et al. (2003), aluminium foil merupakan bahan kemasan dari lembaran alumunium yang padat dan tipis dengan ketebalan < 0,15 cm. Selain itu, alumunium bersifat tidak tembus cahaya, fleksibel dan impermeable terhadap air dan gas. 

Sebaliknya, persentase pertambahan bobot silika gel tertinggi terjadi pada kemasan kain blacu. Besarnya pertambahan bobot silika gel pada kain blacu ternyata tidak berbeda nyata dengan kertas samson. Kain blacu dan kertas samson memiliki permeabilitas tinggi terhadap uap air dan gas sehingga bobot silika gel mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan kemasan lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kertas samson dan kain blacu merupakan kemasan yang sangat porous. Kemasan yang porous yaitu kemasan yang tembus udara (permeabilitas tinggi) dan mudah terjadi pertukaran kelembaban dengan lingkungan sekitarnya, sehingga silika gel yang terdapat dalam kemasan dengan mudah mengadsopsi uap air yang ditandai dengan pertambahan bobot silika gel. Bahan pengemas yang porous mampu menampung dan menghindari tercampurnya benih secara fisik, tetapi tidak memberikan perlindungan terhadap uap air (Justice dan Bass, 2002) Silika gel mempunyai permukaan gugus yang aktif Si-O-H (Silanol) yang dapat mengadsorpsi air dari udara. Adsorpsi adalah suatu proses yang terjadi ketika suatu fluida (cairan atau gel) terikat kepada suatu padatan dan akhirnya membentuk suatu film (lapisan tipis) pada permukaan tersebut. Peristiwa adsopsi uap air inilah yang menyebabkan pertambahan bobot dan perubahan warna silika gel dari biru menjadi merah muda.

Pengaruh Periode Simpan terhadap Pertambahan Bobot Silika Gel (%) 
Pengaruh periode penyimpanan selama 3 dan 5 minggu berbeda nyata terhadap persentase pertambahan bobot silika gel, sebaliknya pada periode 4, 6, 7 dan 8 minggu tidak berbeda nyata (Tabel 3). Persentase pertambahan bobot silika gel menunjukkan kemampuan uap air yang diserap. Pada periode simpan 3 minggu, kemampuan silika gel untuk mengadsorpsi uap air sebesar 7,34%, kemudian pada periode 4 dan 5 minggu terus bertambah hingga mencapai 8,09% dan 9,69%. Setelah penyimpanan selama 5 minggu, persentase bobot silika gel menurun kemudian terus mengalami ketidakstabilan hingga periode simpan 8 minggu. Hal ini diduga, pada periode 5 minggu kadar air silika gel telah mencapai keseimbangan dengan kelembaban nisbi ruang simpan kemudian pada periode selanjutnya tidak stabil dikarenakan kondisi ruang simpan silika gel adalah ruang kamar dimana fluktuasi suhu tidak dapat dikontrol. 

Tabel 3. Pengaruh periode simpan terhadap pertambahan bobot silika gel
Periode simpan (minggu)
Pertambahan bobot
silika gel (%)
P1 (3)
7,34 c
P2 (4)
8,09 abc
P3 (5)
9,69 a
P4 (6)
7,59 bc
P5 (7)
8,75 ab
P6 (8)
8,06 abc
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut DMRT 5%
Hasil serupa juga dilaporkan Dias et al. (2010) pada benih pepaya yang dikemas dengan kertas dan alumunium foil. Lebih lanjut Dias menjelaskan bahwa setelah penyimpanan 3 bulan kadar air benih pepaya mencapai kesetimbangan higoskopis dengan atmosfer sehingga kadar air benih periode selanjutnya menjadi tidak stabil. Hal ini diperkuat Justice dan Bass (2002) yang menjelaskan bahwa kadar air benih pada kemasan akan berubah-ubah dengan semakin lamanya benih disimpan, sampai kadar airnya berkeseimbangan dengan kelembaban nisbi pada ruang simpannya. Oleh karena itu, pengaturan suhu yang terkontrol sangat diperlukan untuk penyimpanan benih, disesuaikan dengan karakteristis tipe benih.    


Kesimpulan
  1. Kemasan alumium foil memiliki permeabilitas yang paling rendah, diikuti oleh plastik pp 0,8 mm, plastik gula, dan kertas samson yang tidak berbeda dengan kain blacu.
  2. Peningkatan bobot silika gel pada periode simpan tiga minggu berbeda nyata dengan periode simpan lima minggu.
  3. Tidak terdapat interaksi antara jenis kemasan dengan periode simpan terhadap pertambahan bobot silika gel.

Saran
Kemasan alumunium foil sangat baik digunakan untuk penyimpanan benih ortodok karena sifatnya yang kedap udara (permeabilitas rendah) selama suhu udara juga tetap dikendalikan. 



DAFTAR PUSTAKA
Chuansin, S., S. Vearsilp, S. Srichuwong, and E. Pawelzik. 2006. Selection of packaging materials for soybean seed storage (online) http://www.tropentag.de/2006/abstract/full/229.pdf (7 Nopember 2010)
Dias, D.C.F.D.S, WT.Estanislau, F.L Finger, E.M Alvarenga, and L.A.D.S Dias. 2010. Physiological and enzymatic alterations in papaya seed during storage. Revista Brasileira de Sementes (32) (1): 148-157
Imdad HP dan Abdjad AN. 1999. Menyimpan bahan pangan. Penebar Swadaya.148 hal.
Justine OL, LN Bass.2002. Prinsip dan praktek penyimpan benih (terjemahan). CV Rajawali. Jakarta 444 hal.
Lewis DN, Marshal AH, Hides DH. 1998. Influence of storage condition on seed germination and vigour of temperature forage special. Seed Sci. Techology, 26;000-000
Rahayu, W.P, H. Nababan, S. Budijanto, D. Syah. 2003. Pengemasan penyimpanan dan pelabelan. BPOM. 27 hal
Rahayu E dan E. Widajati. 2007. Pengaruh kemasan, kondisi ruang simpan dan periode simpan terhadap viabilitas benih caisin (Brassica chinensis L.). Bul. Agron 35 (3): 191-196
Sadjad. 1980. Panduan pembinaan mutu benih tanaman kehutanan di    Indonesia. Lembaga Afiliansi IPB. 320 hal
Setyaningsih MC. 2002. Pengaruh tingkat kemasakan,penyimpanan dan invigorasi terhadap perubahan fisiologi benih Adas (Foeniculum vulgare Mill). Skripsi Fakultas Pertanian IPB. 63 hal (Tidak dipublikasikan)
Siregar, S.T. 2000. Penyimpanan benih (pengemasan dan penyimpanan benih). Balai Perbenihan Tanaman Hutan Palembang. Palembang   


Sukarman dan D. Rusmin. 2000. Penanagan benih rekalsitran. Buletin Plasma Nutfah. 6 (1): 7-15.
Suwarno, F dan M. Sari. 2010. Penuntun praktikum ekofisiologi penyimpanan benih. IPB (Tidak dipublikasikan)
Tatipata, A. 2008. Pengaruh kadar air awal, kemasan dan lama simpan terhadap protein membran dalam mitokondria benih kedelai. Bul. Agron (36) (1): 8-16

Komentar

Postingan populer dari blog ini

REPLIKASI, TRANSKRIPSI DAN TRANSLASI (SINTESIS PROTEIN)

Centotheca lappacea (Linnaeus) Desvaux

METODE SELEKSI PADA TANAMAN MENYERBUK SENDIRI DALAM PEMULIAAN TANAMAN