Tantangan pertanian dan Penerapan Good Agriculture Practise

Produk-produk pertanian tidak hanya bersaing dengan produk-produk pertanian luar negeri. Saat ini kita telah memasuki era globalisasi ekonomi yang memaksa petani sebagai produsen utama produk-produk pertanian secara langsung dan tidak langsung memasuki persaingan dengan banyak produsen lain ditingkat pasar global tetapi juga di pasar domestik. Dalam pasar global terbuka suatu negara tidak boleh mengenakan proteksi dan hambatan tarif terhadap komoditi yang masuk kewilayahnya. Dalam kondisi demikian persaingan menjadi semakin sengit dan ketat, produsen kuat bersaing dengan produsen lemah, akibatnya produsen yang kalah bersaing akan semakin termarginalkan. Keadaan demikian yang sekarang sedang terjadi dengan produk-produk pertanian khususnya produk pangan buah-buahan dan sayuran. Indonesia. 

Sedangkan dunia pertanian abad ini sendiri juga menghadapi tiga macam tantangan utama. Organisasi Pangan dunia yang bernaung di bawah PBB (FAO) dalam pertemuan pangan dunia menyatakan tiga tantangan utama pertanian saat ini yakni ; 1) peningkatan ketahanan pangan, mata pencaharian dan pendapatan penduduk pedesaan, 2) memenuhi peningkatan kebutuhan akan berbagai macam produk pangan yang aman, 3) pelestarian sumber daya alam dan lingkungan (FAO, 2003). 



Melihat perkembangan tersebut maka diperlukan sebuah langkah yang bersifat strategis agar dunia pertanian terutama di Indonesia dapat menjawab tiga tantangan tersebut. Pemerintah sebenarnya telah menyadari hal tersebut, sehingga pada awal masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono munculah sebuah program revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Secara nasional, fokus pengembangan produk dan bisnis PPK mencakup lingkup kategori produk yang berfungsi dalam hal : 
  1. Membangun ketahanan pangan, yang terkait dengan aspek pasokan produk, aspek pendapatan dan keterjangkauan, dan aspek kemandirian. 
  2. Sumber perolehan devisa, terutama yang terkait dengan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif di pasar internasional. 
  3. Penciptaan lapangan usaha dan pertumbuhan baru, terutama yang terkait dengan peluang pengembangan kegiatan usaha baru dan pemanfaatan pasar domestik. 
  4. Pengembangan produk-produk baru yang terkait dengan berbagai isu global dan kecenderungan pasar global. 
Kebijakan dan strategi umum yang diambil dalam pelaksanaan RPPK sendiri adalah pengurangan kemiskinan, peningkatan daya saing dan pelestarian dan pemanfaatan lingkungan hidup dan sumberdaya alam berkelanjutan. Peningkatan daya saing, produktivitas, nilai tambah dan kemandirian dilakukan antara lain dengan praktek usaha pertanian yang baik (Good Agricultural Practices = GAP). 

produk GAP
http://www.flickr.com/photos/usdagov/7508130630/

Dewasa ini di tingkat global telah terjadi perubahan nilai dan konsep pada konsumen terhadap produk-produk pertanian yang mereka konsumsikan. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan perilaku dan sikap mereka dalam membeli suatu produk agrisbisnis. Meningkatnya kesadaran konsumen akan kaitan kesehatan dan kebugaran dengan konsumsi makanan, telah meningkatkan tuntutan konsumen akan nutrisi produk-produk yang sehat, aman dan menunjang kebugaran. Keamanan pangan menjadi kunci yang menentukan kualitas produk pangan. 

Deininger (2006) menyatakan kelemahan dalam penanganan sistem keamanan pangan dapat menyebabkan biaya yang tinggi bagi masyarakat dan berakibat bagi ekonomi global. World Health Organization (WHO) memperkirakan kurang lebih 2,2 juta orang di dunia meninggal akibat penyakit diare yang disebabkan oleh bakteri, virus, dan organisme patogen yang disebarkan oleh air yang telah terkontaminasi. Di India diperkirakan 20 persen kematian dari balita disebabkan oleh penyakit diare. Saat wabah SARS menyebar di Asia Timur tahun 2003 ternyata menyebabkan hilangnya pertumbuhan ekonomi sebesar 2 persen dari wilayah tersebut pada seperempat tahun pertama, walaupun hanya 800 orang yang akhirnya meninggal akibat penyakit tersebut. 

Sedangkan Lowy Institut for International Policy (2006) memperkirakan mewabahnya penyakit avian invluenza menyebabkan meningkatnya biaya ekonomi bagi 1,4 juta penduduk dunia yang mendekati 0,8 persen GDP dunia atau sekitar US$ 330 miliar. Sedangkan di lain pihak timbulnya peningkatan reaksi di berbagai negara untuk melindungi negaranya dari ancaman kemanan pangan dapat menyebabkan konsekuensi negatif bagi negara pengekspor pangan. Diperkirakan akibat dari pemberlakuan penyelarasan nilai standar aflatoksin bagi 15 negara Eropa oleh Uni Eropa dari bahan makanan impor 9 negara Afrika telah menyebabkan berkurangnya ekspor negara Afrika sebanyak 64 persen atau senilai US$ 670 juta. 

Meningkatnya kesadaran konsumen akan produk pertanian yang aman bagi kesehatan dan kebugaran, aman bagi keselamatan dan kesehatan kerja, aman bagi kualitas dan kelestarian lingkungan hidup mendorong dikembangkannya berbagai persyaratan teknis bahwa produk harus dihasilkan dengan teknologi yang akrab lingkungan. Penilaian terhadap aspek keselamatan kerja, kesehatan konsumen dan kualitas Lingkungan dilakukan pada keseluruhan proses agribisnis dari hulu sampai hilir (pemasaran). Konsumen hijau mendesak WTO agar perubahan sikap perilaku dan permintaan akan kualitas produk-produk pertanian diintegrasikan dalam kebijakan perdagangan internasional produk-produk pertanian. Permintaan dan desakan konsumen kemudian ditampung dan diperhatikan oleh organisasi perdagangan dunia (WTO). Hal tersebut di ataslah yang juga turut mendorong berbagai negara di belahan dunia untuk menerapkan Praktek Pertanian yang baik atau Good Agricultural Practices (GAP). 

Tujuan dari penerapan GAP/SOP diantaranya; (1) Meningkatkan produksi dan produktivitas, (2) Meningkatkan mutu hasil termasuk keamanan konsumsi, (3) Meningkatkan efisiensi produksi dan daya saing, (4) Memperbaiki efisiensi penggunaan sumberdaya alam, (5) Mempertahankan kesuburan lahan, kelestarian lingkungan dan sistem produksi yang berkelanjutan, (6) Mendorong petani dan kelompok tani untuk memiliki sikap mental yang bertanggung jawab terhadap kesehatan dan keamanan diri dan lingkungan, (7) Meningkatkan peluang penerimaan oleh pasar internasional, dan (8) Memberi jaminan keamanan terhadap konsumen. Sedangkan sasaran yang akan dicapai adalah terwujudnya keamanan pangan, jaminan mutu, usaha agribisnis hortikultura berkelanjutan dan peningkatan daya saing. 

Tahapan kegiatan pelaksanaan penerapan GAP/SOP adalah sebagai berikut : (1) sosialisasi GAP, (2) penyusunan dan perbanyakan SOP budidaya, (3) penerapan GAP/SOP budidaya, (4) identifikasi kebun/lahan usaha, (5) penilaian kebun/lahan usaha, (6) kebun/lahan usaha tercatat/teregister, (7) penghargaan kebun/lahan usaha GAP kategori Prima-3, Prima-2 dan Prima-1, dan (8) labelisasi produk prima. 

Untuk mempercepat penerapan GAP/SOP dilakukan hal-hal sebagai berikut : (1) Mendorong terwujudnya Supply Chain Management (SCM), (2) Merubah paradigma pola produksi menjadi market driven, (3) Mendorong peran supermarket, retailer, supplier, dan eksportir untuk mempersyaratkan mutu dan jaminan keamanan pangan pada produk, (4) Penyediaan tenaga pendamping penerapan GAP, (5) Melakukan sinkronisasi dengan program instansi terkait lainnya, (6) Perumusan program bersama instansi terkait lainnya dan melakukan promosi, (7) Target kuantitatif pencapaian kebun GAP tercantum dalam Renstra Departemen Pertanian, (8) Membentuk dan memberdayakan lembaga sertifikasi untuk melakukan sertifikasi kebun dan produk Prima dan (9) Mendorong sosialisasi mekanisme sistem sertifikasi dan perangkatnya. 

Walaupun belum semua komoditas pertanian di Indonesia sudah menerapkan GAP dalam pengembangan agribisnisnya, namun penerbitan Permentan tersebut merupakan sebuah langkah maju dan merupakan dasar hukum yang jelas atas pelaksanaan GAP di Indonesia. Bahkan negara maju seperti Amerika Serikat pun para petaninya belum sepenuhnya menerapkan GAP. Avendano dan Calvin (2006) menyatakan bahwa pemerintah Amerika Serikat melalui Food and Drugs Administration (FDA) baru menerbitkan panduan GAP bagi para petani untuk meminimalkan resiko mikrobia bagi buah segar dan sayuran pada tahun 1998. FDA bahkan sampai saat ini masih memberlakukan GAP bersifat Voulentary atau sukarela dan belum menjadi kewajiban. Menurut catatan FDA hingga 2002 baru 29 persen petani di AS yang sudah menerapkan GAP dalam praktek budidaya pertanian, dan sekitar 51 persen lainnya baru dalam tahap persiapan menuju GAP. 

Penyebab belum diterapkannya GAP berbagai negara adalah mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk menerapkannya.. Menurut Woods dan Suzanne (2005) saat melakukan penelitian dalam menghitung biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan Good Agricultural Practices dalam budidaya tanaman strawberry di sembilan negara bagian di Amerika, ternyata penerapan GAP untuk tanaman strawberry dibutuhkan biaya berkisar pada US$ 288 /ha/musim tanam. Biaya tersebut antara lain untuk penyediaan toilet dan tempat cuci tangan di sekitar lahan bagi pemetik strawberry baik untuk pekerja maupun pengunjung, pelatihan hygiene, pengepakan dan sanitasi pendingin, pennggunaan baki sekali pakai apabila diperlukan, monitoring penggunaan air untuk irigasi dan pengembangan rencana penanganan manajemen krisis bagi usaha apabila terjadi keracunan yang ditemukan dalam makanan. 

Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan tentu menjadi kendala besar untuk dapat diterapkan oleh para petani di Indonesia yang mayoritas masih berkutat dengan masalah kemiskinan dan lemah dalam SDM terutama dilihat dari tingkat pendidikan para petani di Indonesia. Untuk menerapkan GAP di Indonesia saat ini dioptimalkan untuk dilaksanakan oleh perusahaan agribisnis yang berskala besar dan berorientasi ekspor. Pemerintah sendiri telah membantu penerapan GAP tersebut dengan SOP khusus pada setiap komoditas pertanian yang hendak diusahakan, namun baru terbatas pada komoditas hortikultura. Pemerintah juga telah memberikan penghargaan kepada berbagai kebun buah yang telah menerapkan standar GAP melalui penghargaan kategori Prima 3, Prima 2 dan Prima 1 untuk merangsang penerapan GAP bagi kebun hortikultura buah. 

Tantangan lainnya adalah rumitnya prosedur penerapan GAP yang harus diperhatikan oleh perusahaan agribisnis di Inonesia apabila ingin mengekspor produknya ke luar negeri terutama negara-negara di Uni Eropa maupun Amerika Serikat. Ender dan Mickazo (2008) menyatakan bahwa negara-negara di Uni Eropa juga menggunakan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) untuk diterapkan dalam penilaian GAP. Bahkan The National Advissory Committe on Microbiological Criteria for Foods yang dimiliki oleh Pemerintah AS juga menyarankan pemakaian HACCP sebagai alat penilaian dalam keamanan pangan. Penerapan strategi dasar HACCP pada Good Agricultural Practice (GAP) pada lahan pertanian meliputi panduan umum yang terdiri dari : program perawatan peralatan, program sanitasi termasuk pada fasilitas pengepakan, pembersihan akhir musim tanam , tempat penyucian dan pengepakan, pelatihan bagi para karyawan, program penangan hama dan penyakit, program perawatan gudang, transportasi dan pengambilan sampel mikrobia. Pemerintah Indonesia melalui Departemen Pertanian telah mendorong pemberlakuan praktek-praktek pertanian yang baik dan ramah lingkungan. 

Prinsip-prinsip dalam GAP di Indonesia kemudian diselarakan dengan program pengendalian hama terpadu (Integrated Pest Management) dan pengelolaan tanaman terpadu (Integrated Crop Management). Pendekatan pengelolaan ini penting untuk perbaikan dan pengelolaan pertanian dalam jangka panjang. Fitur kuncinya adalah penggunaan yang hati-hati terhadap produk agrokimia termasuk pestisida, pupuk kimia, dan zat pengatur tumbuh. Karena itu, GAP memanfaatkan pengendalian hama, penyakit dan gulma sampai taraf aman yang dikehendaki, yaitu pada batas biaya ekonomis bagi petani dan bahaya yang minimla bagi operator, orang lain di sekitarnya dan lingkungan hidup. Hal lain yang bersifat sentral dan penting adalah adanya jejak audit yang jelas, dengan penyelenggaraan dokumentasi yang komprehensif untuk seluruh tahapan budidaya, prosesing, penyimpanan hasil, atau bahan baku industri sehingga dapat dirunut kembali. Secara praktis hal ini dilakukan melalui penyusuanan protokol, pencatatan dan pendataan tahapan-tahapan kegiatan GAP termasuk penggunaan pestisida, pupuk kimia dan zat pengatur tumbuh. Hal ini juga akan menjamin konsumen bahawa mereka mendapatkan output bahan pangan yang terjamin dan memenuhi standar kualitas yang tinggi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

REPLIKASI, TRANSKRIPSI DAN TRANSLASI (SINTESIS PROTEIN)

Centotheca lappacea (Linnaeus) Desvaux

METODE SELEKSI PADA TANAMAN MENYERBUK SENDIRI DALAM PEMULIAAN TANAMAN