Isolasi DNA Tanaman Jagung dan Tahap Elektroforesis Menggunakan Penanda RAPD

PENDAHULUAN 



Latar Belakang 
Tanaman merupakan organisme eukariotik tingkat tinggi dan mempunyai DNA yang berada di inti sel dan sitoplasma. DNA di sitoplasma dikenal sebagai DNA kloroplas dan mitokondria. Karena jumlah DNA dari mitokondria dan kloroplas relative sedikit, maka DNA total yang diperoleh dapat digunakan sebagai bahan untuk sintesis atau analisis DNA yang berada di dalam inti sel (Suharsono, 2000). 

Jagung sampai saat ini masih merupakan komoditi strategis kedua setelah padi karena di beberapa daerah, jagung masih merupakan bahan makanan pokok kedua setelah beras. Jagung juga mempunyai arti penting dalam pengembangan industri di Indonesia maka kebutuhan akan jagung akan semakin meningkat dengan berkembang industrinya. 

Tingkat konsumsi jagung rumah tangga di NTB menurun dari 16,8 kg/kap/thn pada tahun 1990, menjadi 13,9 kg/kap/thn pada tahun 1998, dan di tingkat nasional menurun dari 9,72 kg/kap/thn pada tahun 1990, menjadi 6,81 kg/kap/thn pada tahun 1993 (Diperta NTB, 1998, Departemen Pertanian, 1999). Sementara tingkat partisipasi konsumsi keluarga menurun dari 52,3 persen pada tahun 1993 menjadi 46,3 persen pada tahun 1996 (Erwidodo,et al. 1998). 

Gambar Jagung Hibrida Pioneer 16

Penerapan teknologi markah molekuler pada tanaman jagung semakin berkembang sejalan dengan semakin banyaknya pilihan markah DNA yaitu: (1) markah berdasarkan hibridisasi DNA seperti RFLP (Restriction Fragment Length Polymirphism); (2) markah berdasarkan reaksi rantai polymerase (Polymerase Chain Reaction = PCR) dengan menggunakan sekuen-sekuen nukleotida sebagai primer, seperti RAPD (Randomly Amplified Polymorphic DNA) dan AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism); (3) markah berdasarkan PCR dengan menggunakan primer yang menggabungkan sekuen komplomenter spesifik dalam DNA target, seperti STS (Sequence Tagged Sites), SCARs (Sequence Characterized Amplified Regions), SSRs (Simple Sequence Repats) atau microsatellites, dan SNPs (Single Nucleotida Polymorphism) (Azrai 2006). 

Isolasi DNA saat ini sudah merupakan kegiatan rutin di berbagai laboratorium biologi molekuler. Isolasi atau ekstraksi DNA adalah tahap awal yang harus dikerjakan untuk manipulasi DNA. Pengerjaan isolasi meliputi (1) pembuatan pustaka genom, (2) karakterisasi genom dam pemetaan genetik yang melibatkan penggunaan marka molekuler, (3) identifikasi dan isolasi gen-gen tanaman untuk rekayasa genetik (Old dan Promorose, 1994). 

Elektroforesis DNA adalah metode pemisahan molekul DNA melalui pori-pori (agarose) dengan bantuan medan listrik. Kecepatan pergerakannya tergantung dari ukuran DNA, arus listrik, dan konsentrasi gel. DNA yang berukuran kecil memiliki pergerakan semakin cepat, dan sebaliknya, DNA yang memiliki bobot besar maka akan memiliki pergerakan yang lambat. Arus atau voltase listrik juga menentukan kecepatan pergerakan DNA dalam gel, namun apabila arus yang digunakan terlalu besar maka akan menyebabkan smiling gel. Konsentrasi gel yang tinggi akan menyebabkan pergerakan DNA lambat. 

RAPDs diuji secara efisien, murah, dan sangat direproduksi jika kondisi reaksi tetap konstan (Williams et al, 1990.). Pendekatan sekarang ini juga diterima sebagai alat yang berharga untuk pemetaan genetik (Mouzeyar et al, 1995;. Qiullet et al, 1995;.. Rieseberg et al, 1993), penanda ini dapat mengidentifikasi dengan cepat karakter yang terkait dengan ciri-ciri bunga (Braham dan Friedt , 1995; Rafalski et al, 1996), sidik jari genetik (Dehmer dan. Friedt, 1992; Mosges dan Friedt, 1994; Weising et al, 1995), dan aplikasi diagnostik (Weising et al, 1995). 

Tujuan 
Pada percobaan ini mahasiswa dapat mengetahui dan melakukan metode dalam mengisolasi DNA tanaman dan elektroforesis DNA pada gel agarose dengan menggunakan marker RAPD. 

Hipotesis 
  • Terdapat satu atau lebih varietas jagung yang dapat menghasilkan pita DNA.
  • Terdapat satu atau lebih varietas jagung yang dapat teridentifikasi kecocokan dengan tetuanya melalui fenotyping pita DNA. 

TINJAUAN PUSTAKA 


Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga rumput-rumputan. Berasal dari Amerika yang tersebar ke Asia dan Afrika melalui kegiatan bisnis orang-orang menyebarluaskannya ke Asia termasuk Indonesia. Orang Belanda menamakannya mais dan orang Inggris menamakannya corn. Eropa ke Amerika. 

Jagung merupakan tanaman multiguna, karena hampir seluruh bagian tanamannya bernilai ekonomis yang dapat dimanfaatkan oleh ternak dan manusia. Sebagai bahan pangan dan pakan, jagung adalah sumber energy dan protein. Kandungan protein jagung umumnya berkisar 8-11%, namun kandungan lisin dan triptofannya rendah, masing-masing 0,225% dan 0,05% sehingga masih kurang dari separuh yang disarankan oleh Food and Agriculture Organization (FAO 1992). 

Tanaman jagung termasuk Class monocotyledone, ordo graminae, familia graminaceae, genus zea, species Zea mays.L ( Insidewinme, 2007) dan merupakan tanaman berumah satu (monoecious), bunga jantan (staminate) terbentuk pada malai dan bunga betina (tepistila) terletak pada tongkol di pertengahan batang secara terpisah tapi masih dalam satu tanaman (Subandi, 2008). Jagung tergolong tanaman C4 dan mampu beradaptasi dengan baik pada faktor pembatas pertumbuhan dan produksi. Salah satu sifat tanaman jagung sebagai tanaman C4, antara lain daun mempunyai laju fotosintesis lebih tinggi dibandingkan tanaman C3, fotorespirasi dan transpirasi rendah, efisien dalam penggunaan air (Goldsworthy dan Fisher, 1980). 

Tanaman jagung berakar serabut terdiri dari akar seminal, akar adventif dan akar udara (Goldsworthy dan Fisher, 1980), mempunyai batang induk, berbentuk selindris terdiri dari sejumlah ruas dan buku ruas. berkembang menjadi tongkol. Tinggi batang bervariasi 60-300 cm, tergantung pada varietas dan tempat tunas. Setiap daun terdiri dari helaian daun, ligula dan pelepah daun yang erat melekat pada batang (Sudjana, Rifin dan Sudjadi, 1991). 

Bunga jantan terletak dipucuk yang ditandai dengan adanya rambut atau tassel dan bunga betina terletak di ketiak daun dan akan mengeluarkan stil dan stigma (Idris, Zainal, Mohammad, Lassim, Norman dan Hashim, 1982). Bunga jagung tergolong bunga tidak lengkap karena struktur bunganya tidak mempunyai petal dan sepal dimana organ bunga jantan (staminate) dan organ bunga betina (pestilate) tidak terdapat dalam satu bunga disebut berumah satu (Sudjana, Rifin dan Sudjadi, 1991). 

Sebagai karakteristik morfologi tanaman mungkin berbeda dengan kondisi lingkungan, mereka tidak dapat dipercaya sebagai satu-satunya kriteria untuk membedakan spesies yang berbeda. Karakteristik lain, seperti karakter molekuler, harus dipelajari. Karakteristik molekul pada tanaman semakin sering digunakan sebagai kriteria tambahan dalam klasifikasi taksonomi atau untuk menyelesaikan kontroversi dalam posisi taksonomi dari taksa. Berbagai macam metode molekuler telah diperkenalkan, terutama dengan pesatnya perkembangan polymerase chain reaction (PCR) berbasis teknik. Salah satu PCR berbasis teknik yang telah banyak digunakan dalam karakterisasi jamur patogen tanaman adalah DNA polimorfik acak diperkuat (RAPD) yang didasarkan pada amplifikasi PCR terhadap fragmen DNA dengan menggunakan primer tunggal dengan urutan nukleotida acak (Williams et al, 1990. ). RAPD telah digunakan dalam karakterisasi strain Aphanomyces euteiches yang menyebabkan penyakit busuk akar (Malvick et al, 1998.); Dalam identifikasi fragariae Colletotrichum dari stroberi sakit (Martinez-Culebras et al, 2002.), Dan dalam karakterisasi Fusarium moniliforme diisolasi dari host yang berbeda (PAJAK et al., 2002) 

Marka RAPD dapat dilakukan dengan mengamplifikasi DNA secara random primer. Adanya polimorphic DNA dapat dideteksi di bawah cahaya ultraviolet setelah sebelumnya gel elektroforesis diberi Etidhium Bromida (EtBr) sehingga dapat menimbulkan pendaran. Semakin banyak jenis primer yang digunakan akan menambah besar kemampuan mendeteksi perubahan yang kecil dan pasangan basa DNA genom (Ishak, 1998). 

Beberapa kelebihan dari teknik analisa RAPD ialah pelaksanaannya lebih cepat, hanya membutuhkan sampel DNA dalam jumlah sedikit (0,5-50 nm) dan tidak membutuhkan radioisotop (Demeke dan Adam, 1994). Selain itu menurut Yu dan Pauls (1994), RAPD tidak membutuhkan informasi sekuen DNA lebih dulu dan prosedurnya lebih sederhana. Sedangkan kelemahan RAPD yaitu tidak dapat membedakan individu homozigot dan heterozigot karena bersifat sebagai penanda dominan serta sulit mendeteksi perubahan yang kecil pada struktur DNA (gen), kecuali jika menggunakan lebih dari 500 jenis primer (Schmidt et al., 1993 dalam Ishak, 1998). Selain itu RAPD menghasilkan data yang tidak spesifik dan tidak kodomain, namun karena kemudahan dan kecepatan dalam menganalisa data, maka teknik ini banyak digunakan (Bustaman dan Moeljopawiro, 1998). 

Untuk mempelajari hubungan kekerabatan dari suatu populasi organisme dapat dilakukan dengan menggunakan penanda sebagai alat untuk melakukan karakterisasi genetik (Moritz dan Hillis, 1990). Pada anggrek, karakter morfologi daun dan bunga merupakan karakter yang digunakan sebagai penanda untuk membedakan kelompok tanaman (Bechtel et al., 1981). 

(Bechtel et al., 1981). Namun karakterisasi genetik yang didasarkan pada penanda fenotip biasanya dipengaruhi oleh lingkungan makro dan mikro, serta umur suatu individu. Kesulitan lain akan terjadi apabila karakter kuantitatif yang diatur oleh banyak gen tersebut terekspresi pada akhir pertumbuhan, seperti karakter hasil (Weising et al.,1995). 

Oleh karena itu karakterisasi fenotip perlu didukung oleh karakterisasi yang dilakukan melalui penanda molekuler. Penanda molekuler dapat memberi gambaran hubungan kekerabatan yang akurat antar spesies maupun kerabat jauhnya, karena analisis DNA sebagai material genetik tidak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (Lefebvre et al., 2001). 


METODOLOGI PERCOBAAN 

Tempat dan Waktu 
Percobaan ini yang berjudul isolasi DNA dan elektroforesis menggunakan penanda RAPD dilaksanakan di Laboratorium Molekuler Institut Pertanian Bogor, Bogor. Percobaan ini berlangsung pada bulan Juni. 

Bahan dan Alat 
Bahan-bahan yang digunakan yaitu nitrogen cair, es, buffer CTAB 2x, β-mercaptoethanol, Chloroform:isoamyl alcohol (24:1), isopropanol dingin, ethanol, ethanol absolut, TBE 0.5x, agarose, gel loading dye (pewarna DNA), lambda DNA standar, ethidium bromide (EtBr) 10 mg/ml, larutan staining EtBr dan primer spesifik RAPD (E1, E19b, H5, H13, dan H20). 

Alat-alat yang digunakan yaitu mortar atau pestel, tangki dan canting untuk nitrogen cair, spatula, tabung mikro steril 2.0 dan 1.5 ml, pipet tip steril (1000 µl, 200 µl, 10 µl), pipet mikro (1000 µl, 200 µl, 10 µl), water bath at 65ÂşC dan 37ÂşC, mikricentrifuge, Erlenmeyer flask 500-ml, microwave, perlengkapan elektroforesis horizontal, tray/ nampan untuk staining, UV transulliminator, dan kamera. 

Metode Percobaan 
Isolasi DNA 
  1. Perlu diingat untuk menggunakan alat dan bahan yang steril. 
  2. Siapkan larutan ekstrak dari Kit Sigma sebanyak 100 mikro liter pada mikrotube 2 ml. 
  3. Cuci gunting yang akan digunakan dengan arkohol 70% kemudian keringkan dengan tissue yang baru. 
  4. Masukan potongan daun pada mikrotube (daun harus dalam keadaan terendam). 
  5. Panaskan pada suhu 95 C menggunakan waterbath selama 5 menit. 
  6. Tambahkan larutan dilusi sebanyak 100 mikroliter. 
  7. Tambahkan aquades sebanyak 300 mikroliter. 
  8. Pindahkan cairan pada mikrotube 1500 mikroliter (usahakan sisa daun tidak terbawa). 
  9. Tambahkan campuran cloroform isoamylalkohol (CIA 24:1) sebanyak 150 mikroliter. Aduk dengan vortex mixer selama +/10 detik. 
  10. Centrifuge pada kecepatan 15.000 rpm atau +/- 12.000 G
  11. Pindahkan supernatan pada mikrotube 1500 mikroliter. 
  12. Tambahkan etanol absolut 2 kali volume supernatan.
  13. Jika suspensi/gumpalan lendir tidak terlihat, dapat dimasukkan ke dalam freezer selama 10 menit. 
  14. Centrifuge pada kecepatan 7000 rpm (+/- 5000 G). 
  15. Buang larutan etanol lalu keringkan diatas kertas tissue. 
  16. Jika alkohol sudah tidak ada yang menetes, keringkan DNA dengan vacum pump sampai kering. 
  17. Larutkan paket DNA dengan air double destilate. 
Uji Kualitas dan Kuantitas DNA 
Pengujian kualitas dan kuantitas DNA dapat dilakukan dengan teknik elektroforesis menggunakan gel agarose. Dengan cara ini kulaitas dan kuantitas DNA dapat diestimasi secara bersamaan dari dalam waktu yang cepat. 
  1. Siapkan gen menurut petunjuk yang dianjurkan oleh perusahaan pensuplai agarose. 
  2. Siapkan gen agarose 0.8% (w/v). sebagai contoh, untuk membuat 100 ml gel. Timbanglah 0.8 g agarose, masukkan ke dalam Erlenmeyer flask kering berukuran 500 ml dan tambahkan 100 ml buffer TBE 0.5x. panaskan ke dalam microwave selama 3 menit atau sampai semua agarose benar-benar sudah meleleh. Biarkan larutan dingin sampai sekitar 50ÂşC atau sampai Erlenmeyer tidak begitu panas bila dipegang langsung dengan tangan. Selanjutnya, tuangkan gel ke dalam cetakan dan biarkan gel sampai terjadi polemerisasi selama 1 jam. 
  3. Isilah tangki elektroforesis secukupnya (kira-kira sampai menutupi seluruh gel) dengan buffer TBE 0.5x. 
  4. Angkat sisir dari cetakan dengan hati-hati dan letakkan gel dengan cetakan di dalam tangki elektroforesis. 
  5. Campurkan sebanyak 3 µl larutan DNA secara merata dengan 1 µl loading dye di atas parafilm atau mikroplate. Untuk kegiatan ini gunakan pipet mikro 10- µl. 
  6. Agar konsentrasi DNA sampel dapat diestimasi, siapkan standar DNA dengan mencampurkan DNA lambda 10 ng/ µl, 20 ng/ µl, dan 100 ng/ µl dengan dye seperti di atas. 
  7. Masukkan sampel ke dalam masing-masing sumur gel dengan hati-hati. Masukkan standar DNA lambda pada tiga sumur pertama dan lanjutkan dengan setipa sampel pada sumur berikutnya. 
  8. Elektroforesis dilakukan pada tegangan listrik 100 volt selama 1-2 jam ayau sampai dye biru (Bromophenol Blue) telah berada pada posisi paling ujung dari gel 
  9. DNA diberi pewarna dengan merendam gel ke dalam larutan Ethidium Bromide selama 5-10 menit, selanjutkan didestaining dengan merendak gel ke dalam air ultrapure selama 5-10 menit. 
  10. Letakkan gel di atas UV transilluminator dan visualisasi DNA dengan menggunakan kamera. 
  11. Tentukan konsentrasi DNA dengan cara membandingkan DNA sampel dengan standar DNA lambda. 
Perhatian : Ethidium Bromide merupakan suati bahan mutagen bersifat toksik. Gunakan sarung tangan apabila ingin bekerja dengan larutan yang mengandung bahan kimia tersebut. Setelah dipakai, larutan dan gel haruslah dibuang dan ditangani decara hati-hati. 


HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
 Gambar 1. Hasil elektroforesis DNA total tanaman jagung dengan menggunakan primer E1 dan E19b


Gambar 2. Hasil elektroforesis DNA total tanaman jagung dengan menggunakan primer H5, H13, dan H20b


Pembahasan 
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh menunjukkan bahwa varietas Bima 3 memiliki tingkar kemiripan yang lebih dekat dengan varietas MR 14 sebagai tetua jantan pada primer E1 berdasarkan pendekatan fenotipe pita DNA yang dihasilkan dibandingkan dengan varietas Bima 4 (gambar 1). Pada gambar 2 dengan menggunakan primer H5 menunjukkan tingkat kemiripan yang lebih dekat antara varietas Bima 2 dengan varietas Nei 9008 sebagai tetua betina. Tingkat kemiripan ini dilihat juga berdasarkan pendekatan fenotipe dari pola pita DNA yang dihasilkan jika dibandingkan dengan penggunaan primer yang lain seperti primer H20 dan primer H13. 

Tingkat kemiripan genetik antar varietas dapat digunakan sebagai indeks seleksi tetua persilangan dan dikembangkan untuk melakukan seleksi kombinasi tetua superior (Whitehouse, 1969). Tetapi, dalam metode pemuliaan tanaman hal tersebut masih memerlukan pertimbangan, karena jarak genetik berdasarkan data fenotipe belum mampu menggambarkan seberapa jauh hubungan kekerabatan antar genus tersebut. 

Selanjutnya, menurut Prabu et al (1997) dengan asumsi bahwa makin tinggi jumlah penanda yang digunakan maka keslahan acak sampling yang dapat menyebabkan bias pada perkiraan kemiripan genetik akan turun. Oleh karena itu, pengelompokkan genetipe yang diperoleh dari penggabungan fenotipe dan pola pita DNA akan lebih baik jika dibandingkan pada pengelompokkan berdasarkan fenotipe dan pola pita DNA secara sendiri-sendiri. 

Untuk mempelajari hubungan kekerabatan dari suatu populasi organisme dapat dilakukan dengan menggunakan penanda sebagai latar untuk melakukan karakterisasi genetik (Moritz dan Hillis, 1990). Namun, karakterisasi genetik yang didasarkan pada penanda fenotipe biasanya dipengaruhi oleh lingkungan makro, mikro, serta umur suatu individu. Kesulitan yang lain dapat diperoleh apabila karakter kuantitatif yang dipengaruhi oleh banyaknya gen tersebut terekspresi pada akhir pertumbuhan, seperti karakter hasil (Weising et al., 1995). Dengan demikian, karakterisasi fenotipe perlu disukung oleh karakterisasi yang dilakukan melalui penanda molekuler. Dengan adanyan penanda molekuler tersebut, dapat memberikan gambaran hubungan kekerabatan yang akurat antar spesies maupun kerabat jauhnya, karena analisis DNA sebagai material genetik tidak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (Lefebvre et al., 2001). 

Menurut Melchinger (1999), tingkat ketepatan dalam perkiraan jarak genetik tergantung dari jumlah penanda yang diuji, pengungkapan genom dan tingkat polimorfisme tanaman. Makin banyak data yang dikumpulkan diharapkan genom yang dihasilkan dalam pengelompokkan menjadi lebih lengkap. 

Dalam program pemuliaan tanaman, penggunaan marker RAPD diperlukan untuk mengidentifikasi baik karakter morfologi maupun molekur yang bertujuan untuk menguji keragaman genetik klon-klon yang akan dipilih untuk tetua persilangan maunpun untuk mengatahui tingkata kemiripan antara zuriat (hasil persilangan) dengan tetua asalnya (Schnell et al., 1995). Pemakaian teknik RAPD memiliki resolusi yang sebanding dengan marker RFLP dalam hal analisis kekerabatan antar genotip (dos Santos et al., 1994) dan mampu menghasilkan jumlah karakter yang tidak terbatas sehingga saat membantu dalam analisis keragaman genetik yang tidak diketahui latar belakang genomnya (Liu dan Furnier, 1993). Pada marker RAPD menggunakan primer dengan ukuran 10 basa yang sering digunakan untuk studi kekerabatan, identifikasi varietas (CIMMYT, 1998), pemetaan genetik, analisis struktur DNA organisme dan fingerprinting suatu individu organisme. 

Teknik RAPD menggunakan primer acak maupun spesifik telah terbukti dapat digunakan sebagai penanda molekuler untuk berbagai krakter agronomi penting. Pemakaian marker molekuler RAPD banyak digunakan untuk menyusun kekerabatan beberapa individu dalam spesies maupun kekerabatan antar spesies. Penggunaan kekerabatan ini dapat dijadikan sebagai rujukan dalam pemuliaan persilangan untuk mendapatkan keragaman yang tinggi dari hasil suatu persilangan (Maftuchah, 2001). 


KESIMPULAN DAN SARAN 

Kesimpulan 
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 

  • Varietas Bima 3 memiliki tingkar kemiripan yang lebih dekat dengan varietas MR 14 sebagai tetua jantan pada primer E1 berdasarkan pendekatan fenotipe pita DNA yang dihasilkan dibandingkan dengan varietas Bima 4.
  • Primer H5 menunjukkan tingkat kemiripan yang lebih dekat antara varietas Bima 2 dengan varietas Nei 9008 sebagai tetua betina berdasarkan karakter fenotipe dari pita DNA. 
  • Karakterisasi genetik yang didasarkan pada penanda fenotipe biasanya dipengaruhi oleh lingkungan makro, mikro, serta umur suatu individu. Namun untuk karakter kuantitatif sangat dipengaruhi oleh banyaknya gen.
  • Penggunaan marker molekuler RAPD banyak digunakan untuk menyusun kekerabatan beberapa individu dalam spesies maupun kekerabatan antar spesies 
Saran 

Sebaiknya untuk percobaan selanjutnya digunakan marker SSR karena penanda ini memiliki primer yang lebih spesifik jika dibandingkan dengan marker RAPD. Selain itu, penandan ini juga bersifat codominan yang artinya mampu membedakan antara genotype homozigot dominan, heterozigot, dan resisif.



DAFTAR PUSTAKA

Azrai, M. 2006. Sinergi teknologi marka molekuler dalam pemuliaan tanaman jagung. Jurnal Litbang Pertanian. 25(3): 81-89.
Bustaman, M dan S. Moeljopawiro. 1998. Pemanfaatan Teknologi Sidik Jari DNA di Bidang Pertanian. Zuriat. 9 (2):77-90.
CIMMYT. 1998. Moleculer Marker Application to Plant Breeding. In: Amboinet’s First Training Workshop, 9 November-4 Desember, El Batan, Mexico.75p.
Demeke, T and R.P. Adams. 1994. PCR Technology Current Innovation:The Use PCR RAPD Analysis in Plant Taxonomy and Evolution. CRC Press. Inc.
Dos Santos JB, Nienhius J, Skruch P, Tivang J and Slokum MK. 1994. Comparison of RAPD and RFLP genetic markers in determining genetic similarity among Brassica oleraceae L. genotypes. Theor. Appl Genet. 87:99-915.
Erwidodo, Mewa A., Budi Santoso, E. Ariningsih dan V. Siagian. 1998. Perubahan Pola Konsumsi Sumber Protein Hewani di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Bogor.
FAO. 1992. Agrostat, Food Balance Sheets, FAO, Rome. Italy.
Ishak. 1998. Identifikasi DNA Genom Mutan Padi Atomita-2 dan Tetuanya Menggunakan RAPD Markers. Zuriat. 9 (2):71-83.
Lefenvre V., B. Goffinet, J. Chauvet, B. Caromel, P. Singnoret, R. Brand and A. palooix. 2001. Evaluation of genetic distance between pepper ihbread lines for cultivar protection purposes: Comparison of AFLP, RAPD and phenotypic data. Theor. Appl. Genet. 102: 741-750.
Liu Z and Furnier GR. 1993. Comparison of allozyme, RFLP and RAPD markers for revealing genetic variation within and between Trembling Aspen and Bigtooth Aspen. Theor. Appl. Genet. 87:97-105
Maftuchah. 2001. Strategi pemanfaatan penanda molekuler dalam perkembangan bidang hortikultura. Perhorti Jatim-Deptan.
Malvick, D.K., Grau, C.R. and Percich, J.A. 1998. Characterisation of Aphanomyces euteiches strains based on pathogenicity and random amplified polymorphic DNA analyses. Mycological Research 102 : 405 – 475.
Martinez-Culebrsa, P.V., Barrio, E., Suarez- Fernandez, M.B., Garcia-Lopez, M.D. and Querol, A. (2002). RAPD analysis of Colletotrichum species isolated from strawberry and the design of specific primers for the identification of C. fragariae. Journal of Phytopathology 150 : 680 – 686.
Melchinger, A.E. 1999. Genetic Diversity and Heterosis Crop. American Society of Agronomy. Inc. crop Science Society of America. Inc Madison Wisconsin. USA
Moritz, C., and P.M. Hillis. 1996. Molecular Systematics: Context and Controversies. In Hillis, D.M., C. Moritz and B.K. Mable (Eds). Molecular systematics. Second edition. Sinauer Associates Inc. publishers. Sumderland, Massachussetts USA.p. 1-13.
Mouzeyar, S.P., Roekel-Drevet, L., Gentzbittel, J., Phillipon, D.,Tourvieille de Labrouche, Vear, F., Nicolas, P., 1995. RFLP and RAPD mapping of the sunflower Pl1 locus, for resistance to Plasmopara h., race 1, Theor. Appl. Genet. 91:733-737.
Old R.W. dan R.B. Primrose., 1994. Principle of genes manipulation an introducing to genetic engineering. Blackwell Science.
Qiullet, M., Madjidian, C., Griveau, N.Y., Serieys, H., Tersac, M., Lorieux, M., Bervillé, A., 1995. Mapping genetic factors controlling pollen viability in an interspecific cross in Helianthus, Section Helianthus, Theor. Appl. Genet. 91: 1195-1202.
Rieseberg, L.H., Choi, H.C., Chan, R. Spore, C., 1993. Genomic map of a diploid hybrid species, Heredity 70: 285-293.
Schnell RJ., CM. Ronning and RJ. Knight. 1995. Identification of cultivars and validation of genetic relationship in Mangifera indica L. using RAPD markers. Thoer. Appl. Genet 90:269-274.
Suharsono. 2000. Penuntun praktikum pelatihan teknik pengklonal gen dan pengurutan DNA. Pusat antar Universitas Bioteknologi. Institute Pertanian Bogor. Bogor.
Weising, K., Nybom, H., Wolff, K., Meyer, W. 1995. DNA Fingerprinting in Plants and Fungi ,CRC Press. Inc. boca Raton. 322pp. 24-35
Whitehouse, R.N.H. 1969. An application of canonical analysis to plant breeding. Genet. 23: 61-69.
Williams, J.K., Kubelik, A.R., Linak, K.J., Rafalski, J.A., Tingey, S.V., 1990. DNA polymorphism amplified by arbitrary primers and useful genetic markers. Nucleic Acids Res. 18: 6531-6535.
Yu and K.P. Pauls. 1994. PCR Technology Current Innovation: Optimation of DNA-Extraction and Procedures For RAPD Analysis in Plants. CRC. Press Inc.

Lampiran Gambar

Gambar 3. Ekstraksi Sampel DNA dari Kecambah Jagung



Gambar 4. Memasukkan tube PCR ke dalam mesin thermal chycler


Gambar 5. Masukkan sampel ke dalam masing-masing sumur gel elektroforesis



 Gambar 6. Letakkan gel di atas UV transilluminator dan visualisasi dengan kamera

Komentar

Postingan populer dari blog ini

REPLIKASI, TRANSKRIPSI DAN TRANSLASI (SINTESIS PROTEIN)

Centotheca lappacea (Linnaeus) Desvaux

METODE SELEKSI PADA TANAMAN MENYERBUK SENDIRI DALAM PEMULIAAN TANAMAN