PENINGKATAN MUTU BENIH MELALUI APLIKASI INVIGORASI PADA KONDISI CEKAMAN SALINITAS



          A.  PENDAHULUAN.
 
Beberapa jenis sayuran yang dapat dibudidayakan di dataran rendah antara lain kangkung, terong, bayam, selada, caisim, mentimun, pare dan kacang panjang. Di antara sayuran dataran rendah tersebut, prospek budidaya kacang panjang termasuk yang cukup baik. Kacang panjang (Vigna sinensis) merupakan jenis sayuran yang merambat yang sangat populer dan sudah sejak lama dikembangkan di Indonesia. Tanaman ini sangat cocok ditanam di dataran rendah dengan sinar matahari yang cukup. Perawatan khusus yang perlu dilakukan adalah merambatkan  tanaman pada bambu/lanjaran. Batang tanaman ini tegak, silindris, lunak, berwarna hijau dengan permukaan licin. Kacang panjang merupakan jenis sayuran yang dapat dikonsumsi dalam bentuk segar maupun diolah menjadi sayur, memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap (protein, lemak karbohidrat, kalsium, fosfor, besi, vitamin B dan C).
Melihat besarnya manfaat tanaman kacang panjang ini untuk dikembangkan maka salah satu cara untuk meningkatkan produksi tanaman yaitu dengan upaya ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian dengan memanfaatkan lahan-lahan pesisir pantai yang dipengaruhi oleh salinitas. Pemanfaatan lahan salin ini cukup penting akibat semakin berkurangnya lahan subur karena meningkatnya alih fungsi lahan untuk perindustrian, permukiman, dan jaringan transportasi, sehingga lahan-lahan produktif untuk pertanian semakin berkurang. Tanah salin banyak terdapat di daerah rawa, daerah pasang surut dan muara. Menurut Najiyati et al. (2005) di Indonesia luas lahan rawa mencapai 33.4 juta ha (+17% dari luas daratan), meliputi 20.1 juta ha lahan pasang surut dan 13.3 juta ha lahan rawa non pasang surut. Tanah salin mengandung garam NaCl terlarut dalam jumlah banyak sehingga mengganggu pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, perlu diteliti jenis-jenis tanaman yang toleran terhadap keadaan tersebut dan mengetahui mekanisme tanaman untuk mengatasi cekaman (stress) terhadap keadaan salin baik pada tahap benih, bibit maupun pertanaman sehingga dapat dihasilkan benih atau bibit yang cepat tumbuh, seragam dan memiliki persentase perkecambahan yang tinggi pada kondisi tersebut.
Benih yang vigor mampu tumbuh dan berproduksi normal pada kondisi tanah yang beragam, termasuk kondisi sub-optimum. Keberhasilan tanaman sangat tergantung pada pertumbuhan dan perkembangannya pada fase perkecambahan. Periode pekecambahan merupakan periode yang sangat rentan terhadap cekaman, sehingga perlakuan invigorasi untuk mempercepat periode perkecambahan diharapkan dapat meningkatkan toleransinya terhadap cekaman. Berbagai metode invigorasi telah dikembangkan dan pengaruhnya spesifik pada setiap jenis benih. Menurut Hu et al. (2006) pasir dapat menjadi media priming yang mampu meningkatkan perkecambahan benih dan pertumbuhan kecambah alfalfa pada kondisi cekaman salinitas. Beberapa jenis bahan juga cukup murah dan mudah digunakan sebagai media matriconditioning, seperti arang sekam dan serbuk gergaji (Ilyas et al., 2002). Sementara itu, beberapa jenis garam dilaporkan cukup efektif sebagai media osmoconditioning benih, diantaranya KNO3 (Widajati et al., 1990; Farooq et al., 2005), NaCl (Hussain et al., 2006), dan CaCl2 (Farooq et al., 2006).
Berdasarkan uraian di atas, menjadi dasar untuk melakukan penelitian mengenai metode invigorasi benih untuk memperbaiki perkecambahan kacang panjang  pada cekaman salinitas untuk mengatasi pengembangan lahan salin yang merupakan masalah serius pada pertanian secara umum dan program ketahanan pangan nasional saat ini dan di masa mendatang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh beberapa perlakuan invigorasi benih dan ketahanan benih kacang panjang pada cekaman salinitas, sehingga dapat diperoleh metode invigorasi yang paling tepat bagi benih kacang panjang agar tumbuh dengan baik pada kondisi cekaman salinitas.

B.  TINJAUAN PUSTAKA
1.  Kacang Hijau (Vigna unguiculata)

Kacang panjang adalah jenis tumbuhan yang dapat dijadikan sayuran  dengan prospek budidaya yang cukup baik di daratan rendah. Harga kacang panjang juga relatif stabil, serta tergolong lebih tinggi dibanding jenis sayuran dataran rendah lainnya. Namun harga yang cukup stabil dan baik ini, akan hancur total apabila sayuran ini diproduksi secara massal. Klasisfikasi kacang panjang merupakan divisi Magnoliophyta, family Fabaceae, genus Vigna dan spesies Vigna unguiculata. Beberapa jenis spesies yang dibudidayakan sebagai bahan pangan, termasuk sayuran antara lain : Vigna (V) acontifolia (moth bean); V. angularis (azuki bean); V. lanceolata (pencil yam); V. mungo (urad bean, black gram); V. radiata (mung bean, green gram, kacang hijau) dan lain-lain (Anonim, 2011).
Selain sebagai masakan, ternyata Kacang Panjang juga dapat digunakan sebagai bahan obat-obatan untuk mengobati beberapa penyakit seperti diantaranya : antikanker, kanker payudara, leukemia, antibakteri, antivirus, antioksidan, gangguan saluran kencing, peluruh kencing, batu ginjal, mencegah kelainan antibodi, meningkatkan fungsi limpa, meningkatkan penyatuan DNA dan RNA, meningkatkan fungsi sel darah merah, beri-beri, demam berdarah, kurang darah, sakit pinggang, rematik, pembengkakan, meningkatkan nafsu makan, dan sukar buang air besar (Anonim, 2011).
Kacang panjang dibudidayakan dengan benih berupa biji dari polong tua. Benih kacang panjang bisa dibeli di pasar-pasar tradisional. Sementara benih impor, khususnya eks Taiwan dan Thailand, dijual di toko serta kios penjual sarana pertanian. Para petani kacang panjang, umumnya membuat benih sendiri. Caranya, dengan menyeleksi polong yang penampilannya bagus, lalu memeliharanya sampai tua dan mengering. Setelah dipanen, polong ini dijemur kemudian dikupas untuk diambil bijinya, sebagai benih. Masa dorman benih kacang panjang cukup pendek, hanya sekitar tiga bulan. Namun benih dengan tetap membiarkannya dalam polong, benih akan mampu bertahan sampai satu tahun. Tiap hektar lahan memerlukan  benih sekitar 15-20 kg (Anonim, 2011).
Panen kacang panjang bisa dilakukan beberapa kali. Panen pertama di umur 50-60 hari setelah tanam. Polong yang tepat untuk dipanen, warnanya hijau segar dan masih padat. Polong yang sudah tidak padat lagi, isinya mengeras dan kulitnya berserat, tak cocok dipanen sebagai sayuran. Polong demikian lebih tepat dijadikan benih, atau dikonsumsi bijinya. Jarak antara satu panen dengan panen berikutnya pada satu hamparan tanaman, dilakukan seminggu sekali. Ini bisa berjalan selama masa produktif,  selama sekitar 4 bulan. Setelah itu tanaman dibongkar untuk budidaya komoditas lain. Limbah tanaman yang masih segar, bisa dijadikan pakan ternak, terutama kambing dan sapi (Anonim, 2011).
Selain hasil panen berupa polong, kacang panjang juga menghasilkan sayuran daun. Daun muda dan pucuk tanaman yang tidak produktif, biasanya dipanen untuk bahan sayuran. Di pasar swalayan, sekarang sudah banyak dijual daun kacang panjang sebagai sayuran. Petani yang kreatif, sering memanfaatkan tanaman tua sebagai penghasil sayuran. Caranya, tanaman yang sudah tidak produktif dibabat dan dicabut ajirnya, namun pangkal tanaman disisakan sepanjang 30 sd. 40 cm. Dari pangkal tanaman inilah akan muncul tunas-tunas muda yang segera bisa dipanen sebagai sayuran daun (Anonim, 2011). 
2.      Invigorasi Benih
Pada kenyataannya benih yang dihasilkan oleh sumber benih tidak semuanya bermutu bagus, ada sebagian benih yang dihasilkan bermutu kurang bagus atau rendah. Untuk mengatasi masalah benih-benih yang bermutu rendah perlu dilakukan suatu perlakuan khusus. Invigorasi merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi mutu benih yang rendah dengan cara memperlakukan benih sebelum ditanam. Invigorasi didefinisikan sebagai salah satu perlakuan fisik, fisiologik dan biokimia untuk mengoptimalkan viabilitas benih, sehingga benih mampu tumbuh cepat, dan serempak pada kondisi yang beragam (Basu dan Rudrapal, 1982).
Perlakuan invigorasi dapat berupa hidrasi-dehidrasi, osmoconditioning dan matriconditioning. Hidrasi-dehidrasi merupakan suatu perlakuan pelembaban benih dalam suatu periode tertentu yang diikuti dengan pengeringan benih sampai kembali pada berat semula (Basu dan Rudrapal, 1982). Metode pelembaban benih dilakukan dengan berbagai cara, seperti merendam benih, mencelup benih, menyemprot benih dan meletakkan benih pada udara yang jenuh dengan uap air. Sedangkan proses pengembalian kadar air benih seperti semula dapat dilakukan dengan mengeringkan benih dengan cahaya matahari langsung, dengan oven suhu 30°C atau dengan mengangin-anginkan benih sampai tercapai berat awal.
Osmoconditioning merupakan perbaikan fisiologis dan biokimia dalam benih selama penundaan perkecambahan oleh potensial osmotik rendah dan potensial matrik yang diabaikan dari media imbibisi. Perbaikan ini berhubungan dengan kecepatan dan keserempakan perkecambahan serta perbaikan dan peningkatan potensial perkecambahan (Bradford, 1984). Osmoconditioning dimulai pada saat benih diimbibisi dalam suatu pelarut dengan potensial air rendah dan kandungan air ini dapat ditahan setelah mencapai keseimbangan. Khan et al. (1992) melaporkan bahwa osmoconditioning akan berlangsung sekitar 2 – 21 hari, pada suhu 15 - 20°C dengan kisaran potensial –0.8 – 1,6 Mpa, tergantung pada jenis tanaman.
Keberhasilan osmoconditioning ditentukan oleh jumlah air yang masuk ke dalam benih, potensial osmotik dan jenis larutan yang digunakan (Bradford, 1984). Larutan yang biasa digunakan adalah PEG, KNO3, K3PO4, MgSO4, NaCl, gliserol dan manitol (Khan et al., 1992). Matriconditioning merupakan invigorasi yang dilakukan dengan menggunakan media padat yang dilembabkan. Media yang digunakan untuk matriconditioning harus mempunyai potensial matrik rendah dan potensial osmotik yang dapat diabaikan, daya larut rendah, tetap utuh selama perlakuan, inert, tidak beracun, dan daya pegang air tinggi. Selain itu matrik mampu mengalirkan air yang tinggi, memiliki luas permukaan yang besar, berat jenis rendah, dan mampu melekat pada kulit benih (Khan et al., 1992).
Bahan-bahan yang digunakan untuk matriconditioning diantaranya adalah serbuk kayu hasil gergajian, abu gosok, zeolit, vermikulit dan micro-Cel E. Berbagai macam perlakuan invigorasi banyak dilaporkan dapat meningkatkan viabilitas benih bahkan produksi dari beberapa komoditas tanaman terutama untuk tanaman pangan dan sayuran (padi, kedelai, wortel) dan tanaman rempah (adas, kayu manis) dan tanaman perkebunan seperti makadamia.
Untuk tanaman pangan dan sayuran, Vieira (1991) melaporkan bahwa benih padi yang telah diinvigorasi pada kondisi cekaman suhu dan air, dapat meningkatkan daya berkecambah dan kecepatan berkecambah secara nyata. Munifah (1997) melakukan penelitian tentang invigorasi benih dengan melembabkan benih dalam air (18 jam) dan merendam benih larutan PEG 6000 (-4 bar selama 3 x 24 jam), pada dua lot benih yang berbeda (mutu sedang dan mutu rendah). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa dengan invigorasi dengan air dan PEG mampu meningkatkan daya berkecambah dan kecepatan berkecambah benih mutu sedang dan mutu rendah, mempercepat fase pertumbuhan vegetatif dan generatif, serta mampu meningkatkan komponen hasil, dan mutu benih yang dihasilkan. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa invigorasi benih dengan melembabkan benih dalam air memberikan hasil yang lebih baik pada kedua tingkat mutu benih. Szafirowska et al. (1991) telah melakukan perlakuan invigorasi pada benih dari 2 kultivar wortel dengan melembabkan benih dengan larutan PEG 6.000 (2,5%) dengan mengkombinasikan dengan zat pengatur tumbuh Coty-lenin E (CN). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa perlakuan invigorasi dapat meningkatkan daya berkecambah, jumlah bibit yang muncul dan meningkatkan keseragaman pertum-buhan serta produksi di lapang.
3. Salinitas.
Salinitas adalah kondisi keberadaan atau kandungan garam-garam mineral dalam tanah pada konsentrasi berlebihan sehingga menekan pertumbuhan tanaman, dengan cara merusak sel-sel yang sedang tumbuh sehingga pertumbuhan sel tidak berlangsung dan membatasi suplai hasil-hasil metabolisme esensial bagi sel (Harjadi dan Yahya, 1988). Konsentrasi garam yang cukup tinggi akan menurunkan potensial air dengan nyata sampai 0,5-1,0 psi (≥10-1M) dan akan menimbulkan cekaman salinitas (Levitt, 1980).  Salinitas pada lahan disebabkan oleh pengaruh penyusupan air laut atau bersifat payau yang mencapai daerah pesisir, mengandung garam dengan daya hantar listrik (DHL) lebih dari 4 mmhos cm-1, pH kurang dari 8,5 dan Na-dd kurang dari 15%, terjadi lebih dari 3 bulan dalam setahun dengan kadar natrium (Na) dalam larutan tanah 8-15% (Noor, 2004).
Kondisi kegaraman atau salinitas juga sangat ditentukan oleh keadaan musim atau curah hujan, ketinggian pasang atau lokasi wilayah dari sungai, dan sistem pengelolaan air yang diterapkan. Kadar garam yang tinggi pada tanah-tanah sulfat masam umumnya terjadi pada musim kemarau. Kadar garam suatu daerah semakin turun dengan masa reklamasi yang semakin lama (Noor, 2004). Selain itu, salinitas juga disebabkan oleh adanya pencucian garam pada dataran tinggi ke dataran rendah melalui aliran permukaan dan daerah lahan kering dengan curah hujan lebih rendah dari evapotranspirasi (Levitt, 1980). 
Tanah yang diairi dengan air bergaram menyebabkan penurunan hasil tanaman yang dapat diakibatkan oleh konsentrasi garam, jumlah garam yang terakumulasi di dalam tanah, ketahanan relatif tanaman dan stadia pertumbuhan tanaman pada saat diberi garam (Lunin et al., 1963). Adanya pengaturan osmotik dengan penyerapan garam akan diikuti masalah keracunan Na+ dan Cl-, sedangkan pengaturan osmotik dengan akumulasi metabolit akan menyebabkan kompetisi dengan komponen-komponen pertumbuhan tanaman yang beragam sesuai dengan lingkungan, sehingga pertumbuhan tanaman terhambat yang mengakibatkan tanaman kerdil dan layu (Levitt, 1980).
Kaddah et al., (1975), menyatakan bahwa adanya NaCl dapat menyebabkan defisiensi K dan meningkatkan kandungan Na, Ca, Mg dan Cl pada sel tanaman. Dengan demikian, toleransi pada garam nampaknya berhubungan dengan ketidakmampuan tanaman yang rentan untuk mengurangi pengangkutan ion ke pucuk dan sebaliknya pada tanaman yang  tahan dapat menjaga konsentrasi yang rendah dari Na dan Cl dalam pucuk sementara konsentrasi ion Na meningkat pada akar. Akibatnya, pertumbuhan akar terganggu yang menyebabkan pula keseimbangan hara dalam tanaman ikut terganggu (Shalhevet et al., 1995).
Tanaman yang kurang atau tidak toleran terhadap salinitas mengalami perubahan ultra struktur sel, yaitu pembengkakan mitokondria, peningkatan jumlah retikulum endoplasmik, dan kerusakan kloroplas. Di samping itu tanaman akan mengalami perubahan aktivitas metabolisme, meliputi penurunan laju fotosintesis, peningkatan laju respirasi, perubahan susunan asam amino, dan penurunan kadar gula dan pati dalam jaringan tanaman (Pangaribuan, 2004).
Ada dua mekanisme ketahanan tanaman terhadap cekaman salinitas yaitu penghindaran (avoidance) dan toleran (tolerance). Pada mekanisme penghindaran, tanaman tidak dapat mengubah cekaman lingkungan, tetapi cekaman dicegah masuk ke dalam tanaman dengan membentuk barrier atau semacam rintangan, dan pada mekanisme toleran, tanaman mampu mengadakan keseimbangan termodinamika dengan cekaman tanpa menderita kerusakan, karena tanaman dapat menyesuaikan tekanan osmotik sel untuk mencegah terjadinya dehidrasi (Levitt,1980). Haryadi dan Yahya (1988) membedakan mekanisme ketahanan terhadap salinitas atas mekanisme morfologi dan mekanisme fisiologi. Pada mekanisme morfologi, disamping pertumbuhan yang tertekan, salinitas menyebabkan  perubahan struktur yang khas untuk memperbaiki status air tanaman seperti ukuran daun yang lebih kecil, jumlah stomata per satuan luas daun lebih sedikit, sukulensi meningkat, penebalan daun dan lapisan lilin pada permukaan daun dan lignifikasi akar yang lebih awal. Sedang pada mekanisme fisiologi meliputi osmoregulasi, kompartementasi dan sekresi garam serta integritas membran. Osmoregulasi merupakan tanggapan umum pada cekaman salinitas untuk menghindari cekaman air pada lingkungan salin (Blum, 1988). Dalam hal ini tanaman menjaga turgor dengan meningkatkan kandungan air sel untuk mengimbangi tekanan osmotik eksternal, sehingga disebut penyesuain osmotik (Levitt, 1980).
Menurut Bintoro (1990), tanaman yang toleran dapat berhasil mengatasi cekaman salinitas antara lain dengan cara meningkatkan kadar zat yang bersifat melindungi tanaman seperti dekstrosa atau gula total dan menekan kadar zat yang bersifat meracuni seperti leusin, isoleusin, NH3, tirosin, metionin, fenil dan alanin. Pertumbuhan tanaman di lahan yang bergaram berhubungan langsung dengan ketahanan tanaman terhadap tekanan osmotik dan keracunan ion-ion spesifik, misalnya ion Na, Cl, dan SO4. Sebelum mencapai ambang kritis, akumulasi ion masih dapat ditolerir tanaman sehingga tidak berpengaruh toksik dan mempengaruhi pertumbuhan tanaman.

C.  BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB, Bogor, mulai bulan September hingga Desember 2007.
Penelitian ini terdiri atas dua percobaan. Percobaan pertama untuk menentukan konsentrasi salinitas yang memberikan cekaman pada benih kacang panjang, yang selanjutnya digunakan sebagai media pada percobaan kedua. Percobaan kedua merupakan percobaan inti, yaitu pengaruh perlakuan invigorasi benih kacang panjang terhadap viabilitas pada cekaman salinitas.
Kedua percobaan dilaksanakan dengan Rancangan Acak Lengkap dua faktor dengan tiga ulangan. Pengujian dilakukan dengan ANOVA yang dilanjutkan dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.
Pada percobaan pertama, faktor percobaan adalah varietas kacang panjang yaitu varietas 777 dan Landung Super, dan konsentrasi NaCl pada media tanam yaitu 0% (kontrol), 0.25%, 0.5%, 0.75%, 1.0%, 1.25%, 1.5%, 1.75%, 2.0% (w/v) NaCl. Penanaman dilakukan dengan metode uji kertas digulung didirikan dalam plastik (UKDdp), menggunakan lima lembar kertas merang ukuran folio yang dilembabkan dengan 50 ml larutan NaCl, konsentrasi sesuai perlakuan. Pengecambahan dilakukan dalam alat pengecambah benih tipe IPB 72-1.
Benih yang telah dikecambahkan diamati dengan tolok ukur daya tumbuh, indeks vigor, dan kecepatan tumbuh. Berdasarkan data tersebut ditentukan konsentrasi NaCl yang memberikan cekaman untuk digunakan sebagai media tanam cekaman salinitas pada percobaan kedua.
Pada percobaan kedua, faktor percobaan adalah varietas kacang panjang yaitu varietas 777 dan Landung Super, dan perlakuan invigorasi benih yaitu kontrol, water soaking (perendaman dengan air), priming dengan pasir, matriconditioning dengan serbuk gergaji, osmoconditioning dengan CaCl2, osmoconditioning dengan NaCl, osmoconditioning dengan KCl, dan osmoconditioning dengan KNO3.
1. Persiapan media
Larutan osmoconditioning dibuat dengan melarutkan garam untuk mendapatkan potensial osmotik -1.25 MPa yang diperoleh dengan konsentrasi 2.22 g/100ml CaCl2, 1.64 g/100ml NaCl, 2.07 g/100ml KCl atau 3 g/100ml KNO3 (Farooq et al., 2006).
Serbuk gergaji dihaluskan dahulu, selanjutnya serbuk gergaji dan pasir diayak dengan saringan 1.0 mm, disterilisasi dengan oven pada suhu 103+2oC selama 3 jam, kemudian didinginkan dan dibiarkan hingga mencapai kadar air kesetimbangan dengan lingkungan. Media pasir dan serbuk gergaji dilembabkan hingga mencapai kondisi -1.25 MPa. Untuk mengetahui jumlah air yang harus ditambahkan pada media pasir dan serbuk gergaji, dilakukan pengukuran kadar air media pada dua kondisi, yaitu pada kondisi kering udara dan pada kondisi -1.25 MPa.
Untuk mendapatkan kondisi media pada -1.25 Mpa digunakan pressure plate extractor. Jumlah air yang harus ditambahkan dihitung dengan modifikasi rumus Hor et al. (1984):
A = W x (M1-M2/100-M2)
Keterangan:  A      = jumlah air yang ditambahkan (g)
W      = berat media pada -1.25 MPa (g)
M1    = kadar air pada -1.25 MPa (%)
M2    = kadar air kering udara (%)

2. Perlakuan Invigorasi
Setiap satu satuan percobaan menggunakan 75 butir (+12 g), yaitu 25 butir untuk pengamatan daya tumbuh, indeks vigor, dan kecepatan tumbuh, 25 butir untuk pengamatan panjang akar dan bobot kering kecambah normal, dan 25 butir untuk penentuan kadar air. Rasio antara benih dengan media osmoconditining dan antara benih dengan air pada perlakuan perendaman air adalah 1:5 (w/v) (Farooq et al., 2006), sedangkan rasio benih dengan pasir adalah 1:10 (w/w) dan rasio benih dengan serbuk gergaji adalah 1:2 (w/w), sehingga seluruh permukaan benih bersentuhan dengan media. Kadar air, berat media serta jumlah air yang ditambahkan ditampilkan pada Tabel .
Perlakuan invigorasi dilaksanakan pada suhu kamar (26-280C) dengan potensial osmotik atau matrik - 1.25 MPa selama 20 jam, kecuali perlakuan perendaman air (water soaking) benih direndam aquades selama 15 jam. Luas wadah perendaman + 84 cm2 sehingga ketinggian air <1 cm, agar benih tetap mendapat cukup oksigen. Kadar air benih setelah invigorasi diukur berdasarkan bobot basahnya dengan metode oven suhu 103+2oC selama 17+1 jam. Setelah perlakuan invigorasi, benih dicuci dan dikeringanginkan selama 24 jam hingga mendekati bobot awal.
Tabel 1. Kadar air, berat media dan berat air yang ditambahakan ke media
Perlakuan
Pasir
Serbuk Gergaji
Kadar air media pada -1.25 Mpa (%)
1.7
65.7
Kadar air media kering udara (%)
0.2
11.6
Berat media pada -1.25 Mpa untuk setiap satuan percobaan (g)
120
24
Berat media kering udara (g)
118.05
9.13
Jumlah air yang ditambahkan (g)
1.95
14.87



3. Penanaman
Benih yang telah diberi perlakuan invigorasi beserta kontrolnya ditanam dalam alat pengecambah benih IPB 72-1 dengan metode UKDdp pada cekaman salinitas, yaitu pada kertas merang yang dilembabkan dengan larutan NaCl konsentrasi 1%, berdasarkan hasil yang diperoleh pada percobaan 1.
4. Pengamatan
Pengamatan dilakukan terhadap kadar air benih setelah perlakuan invigorasi, daya tumbuh, kecepatan tumbuh, panjang akar, dan bobot kering kecambah normal. Daya tumbuh diukur berdasarkan jumlah persentase kecambah normal pada pengamatan hitungan pertama, 3 hari setelah tanam (HST) dan hitungan kedua (5 HST). Kecepatan tumbuh diukur berdasarkan jumlah tambahan persentase kecambah normal setiap etmal (24 jam) selama kurun waktu perkecambahan. Indeks vigor, ditetapkan berdasarkan persentase jumlah kecambah normal pada pengamatan hitungan pertama (Copeland dan McDonald, 2001). Panjang akar dan bobot kering kecambah normal diukur pada akhir pengamatan perkecambahan (5 HST). Total kecambah normal dibuang kotiledonnya, kemudian di-oven pada suhu 600C selama 3x24 jam, dan ditimbang bobot keringnya.
D.  HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis ragam pada percobaan pertama menunjukkan tidak ada pengaruh faktor tunggal varietas pada semua tolok ukur yang diamati, demikian pula pada interaksi antara konsentrasi salinitas dengan varietas kacang panjang. Faktor tunggal konsentrasi salinitas menunjukkan pengaruh sangat nyata terhadap peubah daya tumbuh, kecepatan tumbuh dan indeks vigor.
Daya tumbuh, kecepatan tumbuh dan indeks vigor semakin turun seiring dengan peningkatan konsentrasi NaCl dan tidak ada satupun benih yang mampu berkecambah normal pada 1.5% NaCl (Tabel 2). Penentuan konsentrasi cekaman salinitas yang digunakan pada percobaan kedua adalah konsentrasi salinitas yang tidak saja menghasilkan daya tumbuh berbeda nyata dengan kontrol, tetapi juga kurang dari 50%, sehingga akan dapat dilihat dengan jelas adanya peningkatan vigor benih akibat perlakuan invigorasi yang diberikan. Berdasarkan hal itu maka perlakuan konsentrasi NaCl 1% digunakan sebagai media cekaman salinitas pada percobaan kedua. Pada kondisi tersebut, media memberikan cekaman terhadap perkecambahan sehingga hanya diperoleh daya tumbuh 44%, berbeda sangat nyata dengan kontrol (media optimum) yang menghasilkan daya tumbuh sebesar 95.3%. Hasil tersebut juga didukung dengan tolok ukur kecepatan tumbuh dan indeks vigor. Pada tolok ukur kecepatan tumbuh perkecambahan bahkan sudah menunjukkan perbedaan nyata dengan kontrol pada konsentrasi NaCl 0.50%, dan pada tolok ukur indeks vigor perkecambahan benih telah berbeda nyata dengan kontrol pada konsentrasi NaCl 0.25% (Tabel 2). Menurut Sunarto (2001) pada tanaman kedelai, percobaan penyiraman larutan garam NaCl sebesar 0.2% sudah sangat menurunkan semua peubah pengamatan seperti tinggi tanaman, luas daun, bobot biji, bobot kering akar dan tajuk. 
Tabel 2. Pengaruh NaCl terhadap DT, KCT dan IV benih kacang panjang


Perlakuan
NaCl (%)
Tolak Ukur
DT (%)
KCT (%)
IV (%)
0
95.33
9.79 a
6.65
2.67 a
52.00
7.24 a
0.25
96.00
9.82 a
5.87
2.52 a
28.00
5.28 b
0.50
85.33
9.25 a
4.39
2.20 b
9.33
3.02 c
0.75
63.33
7.85 a
2.83
1.80 c
0.00
0.71 d
1.00
44.00
6.62 a
1.90
1.52 d
0.00
0.71 d
1.25
10.00
2.83 d
0.43
0.94 e
0.00
0.71 d
1.50
0.00
0.71 e
0.00
0.71 e
0.00
0.71 d
1.75
0.00
0.71 e
0.00
0.71 e
0.00
0.71 d
2.00
0.00
0.71 e
0.00
0.71 e
0.00
0.71 d
KK
16.44

12.59

21.29



Ket : Data merupakan nilai rataan dari 2 var. kacang panjang. Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%, angka sebelah kanan masing-masing tolak ukur adalah hasil transformasi √(x+0.5).

Marschner (1986) menyatakan bahwa kandungan garam <300 mM NaCl merupakan level salinitas sangat rendah, antara 300 mM – 400 mM dikenal sebagai level salinitas rendah, antara 400 mM – 450 mM NaCl sebagai level salinitas sedang, sedangkan nilai >450 mM NaCl sebagai level salinitas tinggi.
Ghoulam dan Fares (2001) mengemukakan hasil percobaan dengan larutan manitol yang isotonik dengan NaCl menunjukkan bahwa penghambatan perkecambahan bit gula pada cekaman salinitas lebih disebabkan oleh pengaruh ion spesifik dan hanya sedikit dipengaruhi oleh potensial osmotik yang menentukan laju hidrasi, tetapi Duan et al. (2004) mengemukakan bahwa adanya pemulihan pada benih Chenopodiumglaucum L yang tidak berkecambah pada kondisi cekaman salinitas ketika dipindahkan ke media optimum (aquades) mengindikasikan kecilnya pengaruh ionik pada viabilitas benih. Mahajan dan Tuteja (2005) secara rinci menjelaskan beberapa gangguan yang disebabkan oleh stres salinitas, yaitu terganggunya keseimbangan ionik: penyerapan Na+ merusak potensial membrane dan penyerapan Cl- secara cepat menurunkan gradien kimia; Na+ meracuni metabolisme sel dan mengakibatkan rusaknya fungsi beberapa enzim; tingginya konsentrasi Na+ menyebabkan ketidakseimbangan osmotik dan kekacauan membran, menurunnya tingkat pertumbuhan, terhambatnya pembelahan dan pembesaran sel; tingginya Na+ juga mengurangi fotosintesis dan produksi reactive oxygen species (ROS). Benih tanpa invigorasi (kontrol) pada percobaan 2, yang diuji pada media cekaman 1% NaCl, hanya memiliki daya tumbuh dan kecepatan tumbuh masing-masing sebesar 18.67% (Tabel 3) dan 0.93%/etmal (Tabel 4), sedangkan pada percobaan 1 pada tingkat konsentrasi NaCl yang sama masing-masing memiliki nilai 44.0% dan 1.90%/etmal (Tabel 2).
Perbedaan ini diduga terjadi karena adanya proses kemunduran yang terjadi pada benih. Benih yang digunakan pada percobaan 1 dan 2 adalah benih dari lot yang sama, tetapi percobaan 2 dilakukan satu bulan setelah percobaan 1. Dell’aquila dan Dituri (1996) mengemukakan bahwa tingkat kemunduran benih yang pada kondisi optimum tidak menunjukkan perbedaan daya berkecambah maupun laju perkecambahan yang nyata, menjadi terlihat nyata apabila mendapat cekaman suhu 40oC atau 40-45oC, demikian juga dengan cekaman salinitas 0.4-0.6 ppm selama 16-24 jam perkecambahan pada suhu 20oC.

Perlakuan perendaman air juga memberikan pengaruh positif terhadap vigor kekuatan tumbuh benih pada kondisi cekaman salinitas. Perlakuan ini mampu meningkatkan daya tumbuh benih sebanyak 28.66% (Tabel 3), dan meningkatkan kecepatan tumbuhnya sebesar 1.51%/etmal (Tabel 4). Perendaman air merupakan perlakuan yang paling sederhana. Meskipun hasilnya tidak berbeda nyata dengan priming dengan pasir, sebagai perlakuan terbaik pada sejumlah tolok ukur (Tabel 3 - Tabel 6), perlu dicatat bahwa kadar air benih pada akhir perlakuan perendaman air cukup tinggi (32.82%), sementara untuk priming dengan pasir kadar air yang dicapai di akhir perlakuan hanya 9.11%, dan matriconditioning dengan serbuk gergaji sebesar 15.46% (Tabel 7). Hal ini penting diperhatikan, jika benih akan dikeringkan kembali sebelum ditanam, maka proses pengeringan kembali setelah perlakuan perendaman air perlu dilakukan dengan lebih hati-hati.

Tabel 3. Kadar air benih setelah perlakuan invigorasi
Perlakuan Invigorasi
KA (%)
Kontrol
8.15 d
Perendaman air (water soaking)
32.82 a
Priming Pasir
9.11 d
Matriconditioning Serbuk Gergaji
15.46 c
Osmoconditioning CaCl2
30.61 b
Osmoconditioning NaCl
30.45 b
Osmoconditioning KCl
30.15 b
Osmoconditioning KNO3
30.03 b
KK : 5.68 %


E.  KESIMPULAN
Dua perlakuan invigorasi, masing-masing perlakuan priming dengan pasir dan perlakuan perendaman air merupakan metode yang efektif dan disarankan untuk memperbaiki perkecambahan benih kacang panjang pada kondisi cekaman salinitas. Pada kondisi cekaman 1% NaCl, benih tanpa invigorasi memiliki daya tumbuh 18.67% dan kecepatan tumbuh 0.93%/etmal, perlakuan priming dengan pasir meningkatkan daya tumbuh sebanyak 33.33% menjadi 52.00% dan meningkatkan kecepatan tumbuh sebesar 1.72%/etmal menjadi 2.65%/etmal, sedangkan perlakuan perendaman air meningkatkan daya tumbuh sebanyak 28.66% menjadi 47.33% dan meningkatkan kecepatan tumbuh sebesar 1.51%/etmal menjadi 2.44%/etmal.

Daftar Pustaka

Anonim. 2011. Kacang Panjang. http://id.wikipedia.org/wiki/Kacang_panjang. diakses pada tanggal 3 Desember 2011.

Anonim. 2011. Prospek Budidaya Kacang Panjang. http://foragri.wordpress.com/ 2011/07/15/prospek-budidaya-kacang-panjang/. diakses pada tanggal 3 Desember 2011.

Basu, R.N. and A.B. Rudrapal, 1982. Post harvest seed physiology and seed invigoration treatments. Proccedings of the Indian Statistical Institute Golden Jubilee Interna-tional Conference on Frontiers of Research in Agriculture. Calcuta. India.

Bradford K.J., 1984. Seed priming: techniques to speed seed germination. Proc. Oregon Hort. Soc. 25: 227 - 233.

Bintoro, M.H. 1990. “Pengaruh NaCl Terhadap Pertumbuhan Kultivar Tomat”. Bull. Agron. XIV 1: 13-28.

Blum, A. 1988. “Plant Breeding for Stress Environments”. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida. 232p.

Copeland, L. O., M. B. McDonald. 2001. Principles of Seed Science and Technology. Fourth edition. Kluwer Academic Publishers. Boston, Dordrecht, London. 467 p.

Farooq, M., S. M. A. Basra, K. Hafeez. 2006. Seed invigoration by osmohardening in coarse and fine rice. Seed Sci. and Technol. 34 : 181-187.

Farooq, M., S.M.A. Basra, B.A. Saleem, M. Nafees, S.A. Chishti. 2005. Enhancement of tomato seed germination and seedling vigor by osmopriming. Pak.J.Agri.Sci. 42(3-4):36-41.

Farooq, M., S.M.A. Basra, N. Ahmad. 2007. Improving the performance of transplanted rice. Plant Growth Regul. 51:129-137.

Ghoulam, C., K. Fares. 2001. Effect of salinity on seed germination and early seedling growth of sugar beet (Beta vulgaris L.). Seed Sci. and Technol. 29:357-364.

Harjadi, S.S. dan S. Yahya. 1988. “Fisiologi Stres Lingkungan”. PAU Bioteknologi IPB. 236 hal.

Hor, Y. L., H. F. Chin, M. Z. Karim. 1984. The effect of seed moisture and storage temperature on the storability of cocoa (Theobroma cacao) seeds. Seed Sci. and Technol. 12:415-420.

Hu, J., X. J. Xie, W. J. Song. 2006. Sand priming improves alfalfa germination under high-salt concentration stress. Seed Sci. and Technol. 34:199-204.

Hussain, M., M. Farooq, S.M.A. Basra, N. Ahmad. 2006. Influence of seed priming techniques on the seedling establishment, yield and quality of hybrid sunflower. Int. J. of Agri. Biol. 8(1):14-18.

Ilyas, S., G.A.K. Sutariati, F.C. Suwarno, Sudarsono. 2002. Matriconditioning improves the quality and protein level of medium vigor hot pepper seed. Seed Technology 24(1):66-75.

Khan A.A., J.D. Maquire, G.S. Abawi, S. Ilyas, 1992. Matriconditioning of vegetable seeds to improve stand establisment in early field plantings. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 117 (1): 41 – 47.

Kaddah, G., J. Ton, V. Flors, L. Zimmerli, J.P. Metraux dan B. Mauch-Mani. 1975. “Enhancing Arabidopsis Salt and Drought Stress Tolerance by Chemical Priming for Its Abscisic Acid Responses”. Plant Physiol. 139 (2005), pp.267-274.

Levitt, J. 1980. “Response of Plants to Environmental Stresses”. Vol. II. Water, Radiation, Salt, and Other Stresses. Academic Press. New York, 606p.


Lunin, J., M.H. Gallatin, dan A.R. Batchelder. 1963. “Saline Irrigation of Several Vegetable Crops at Various Growth Stage I. Effect of Yield”. Agron. J. 55 : 107 - 110.

Mahajan, S., N. Tuteja. 2005. Cold, salinity and drought stresses: an overview. Archives of Biochemistry and Biophysics 444:139-158.

Marschner, H. 1986. Mineral Nutrition of Higher Plants. Academic Press Inc. London. UK. 674 p.

Munifah, S., 1997. Pengaruh vigor awal benih dan priming terhadap viabilitas dan produksi benih ke-delai (Glycine max (L.) Merr.). Skripsi. Faperta IPB. Bogor. 46 hal.

Najiyati, S., L. Muslihat, I. N. N. Suryadiputra. 2005. Panduan Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. Wetlands International-Indonesia Programme. http://www.wetlands.or.id/PDF/buku/Buku%20Panduan%20 Pertanian %20di%20Lahan%20Gambut.pdf [8 Sept 2008].

Noor, M.  2004.  “Lahan Rawa: Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam”.  Raja Grafindo Persada. Jakarta.
 
Shalahuddin, A, S. Ilyas. 1994. Studi conditioning pada benih kacang panjang (Vigna sinensis (L.) Savi ex Hask). Keluarga Benih V (2) : 1-8.

Sunarto. 2001. Toleransi kedelai terhadap tanah salin. Bul. Agron. 29 (1): 27–30.

Szafirowska, A., Anwar, A., Khan, and Nathan H. Peck, 1991. Osmocon- ditioning of carrot seeds to improve seedling establishment and Yield in cold soil. Agronomy Journal, Vol. 73 : 845 – 848. 63

Pangaribuan, H. 2004, Fisiologi Tumbuhan, PT. Rajawali Nusa Press, Surabaya.

Vieira, N.R.A., 1991. Enchancement effect of pre sowing treatments on seed performance of rice (Oryza sativa L.) Dissertation (Phd). Miss. State Iniv., M.S.

Widajati, E., F. C. Suwarno, E. Murniati. 1990. Pengaruh perlakuan priming terhadap vigor bibit kacang tanah. Keluarga Benih 1(1):14-20.

Shallhevet. C.W. dan I.A. Ungar. 1995. “Germination Responses of Halophyte Seeds Exposed to Prolonged Hyper-Saline Conditions”. In:            Biology of Salt Tolerant Plants. (Eds): M.A. Khan and I.A. Ungar. Karachi: Department of Botany, University of Karachi, Pakistan. pp. 43-50.



Komentar

Anonim mengatakan…
Maz, saya mau nanya? ada nggak bahan alamiah yang bisa digunakan untuk invigorasi, khususnya benih kedelai. jadi tidak menggunakan larutan osmotik yg kimia seperti PEG tapi dengan bahan alamiah? saya tunggu jawabanya ya mz :)
Unknown mengatakan…
Maaf bru bs blas. Invigorasi pd dsarnya untuk meningkatkan kemampuan vigor benih.penggunaan bahan invigorasi tgntung tujuan dan metode invgorasinya. menurut sy, bhan alami yang dpt digunakan antara lain arang sekam, potongan jerami, serbuk gergaji dgn metode matriconditionong. mggunakan air jg sdh mampu meningkatkan vigor benih.trimaksih.

Postingan populer dari blog ini

REPLIKASI, TRANSKRIPSI DAN TRANSLASI (SINTESIS PROTEIN)

Centotheca lappacea (Linnaeus) Desvaux

METODE SELEKSI PADA TANAMAN MENYERBUK SENDIRI DALAM PEMULIAAN TANAMAN