Partenokarpi : Tanpa biji, Produksi Tinggi
Sebahagian buah-buahan
umumnya ditanam pada lahan dataran tinggi. Ketika buah-buahan tersebut
dibudidayakan di dataran rendah, produksinya menurun sebab adanya pengaruh suhu
yang tinggi sehingga kualitas polen atau serbuk sarinya rendah dan mudah rontok
dan tentunya akan berdampak pada persentase fruitset
dimana jumlah bunga yang menjadi bakal buah menjadi rendah. Gugurnya bunga juga
disebabkan oleh adanya produksi hormon penuaan yang tinggi sehingga produksi
buah di dataran rendah lebih kecil dibandingkan di dataran tinggi.
Jenis Buah-buahan
Sumber : http://laukpauksehat.blogspot.com/2013/09/cara-makan-buah-buahan-yang-benar.html
Untuk
menghasilkan varietas buah yang tahan terhadap suhu tinggi dapat memanfaatkan
jasa beberapa jenis bakteri yang dapat menghasilkan hormon auksin dan giberelin. Hormon ini sangat penting karena merupakan hormon pertumbuhan bagi tanaman.
hormon auksin berfungsi mempengaruhi metabolisme pada dinding sel sehingga
memudahkan sel memanjang ke arah matahari. Sedangkan hormon giberelin dapat
mempengaruhi meristem dan respon tanaman terhadap suhu, cahaya, pembentukan
bunga dan buah. Kedua hormon tersebut dapat dimanfaatkan pula untuk
menghilangkan biji pada beberapa jenis buah. Apabila hormon auksin disemprotkan
pada bakal buah, maka buah yang muncul tidak memiliki biji.
Cadangan auksin
pada tanaman terdapat di dalam biji. Dengan adanya tambahan hormon auksin dan
giberelin dari luar, maka peran biji dapat terganti. proses pembentukan buah
tanpa biji dapat dilakukan dengan rekayasa gen dalam hal ini adalah
partenokarpi.
Partenokarpi
dapat terjadi secara alami maupun secara buatan.
1. Partenokarpi
Alami
Partenokarpi
dapat terjadi secara alami (genetik) pada beberapa jenis tanaman saja
(terbatas), misalnya pada pisang (triploid), tomat, dan manggis. Partenokarpi
dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu obligator dan fakultatif. Partenokarpi
disebut obligator apabila terjadi secara alami (genetik) tanpa adanya pengaruh dari
luar. Hal ini dapat terjadi karena tanaman tersebut secara genetik memiliki gen
penyebab partenokarpi, misalnya pada tanaman pisang yang kebanyakan triploid.
Tanaman triploid ini memiliki mekanisme penghambatan perkembangan biji atau
embrio sejak awal, sehingga buah yang terbentuk tanpa biji. Sedangkan
partenokarpi fakultatif apabila terjadinya karena ada faktor/pengaruh dari
luar, misalnya pada tanaman tomat dapat terjadi pembentukan buah partenokarpi
pada suhu dingin atau suhu panas.
Aplikasi Zat
Pengatur Tumbuh Pada awal abad ke-19 telah diketahui bahwa polinasi tanpa
fertilisasi dapat merangsang pembentukan buah (Fitting, 1909). Kemudian,
ekstrak polen diketahui pula dapat menginduksi pembentukan dan perkembangan
buah (Yasuda, 1934). Berikutnya diketahui lagi bahwa auksin dapat menggantikan
polinasi dan fertilisasi pada proses pembentukan dan perkembangan buah pada
beberapa spesies tanaman (Gustafson, 1942). Percobaan pada tanaman strawbery,
di mana bakal biji yang telah dibuahi (achenes) dapat dihilangkan tanpa merusak
bagian reseptakel ternyata buah tetap tumbuh berkembang setelah achenes diganti
dengan olesan senyawa lanolin yang berisi auksin (Nitsch, 1950). Lebih lanjut,
Nitsch membuktikan bahwa kandungan dan sintesis auksin pada bakal biji
(achenes) berlangsung hingga 17 hari setelah pembuahan. Hal ini membuktikan
bahwa auksin dibutuhkan selama perkembangan buah. Zat pengatur tumbuh (ZPT)
lain, seperti giberelin dan sitokinin juga terbukti dapat menggantikan peran
biji dalam perkembangan buah (Schwabe dan Mills, 1981).
Namun, untuk
efisiensi partenokarpi perlu kombinasi atau pengulangan aplikasi ZPT tersebut.
Zat pengatur tumbuh berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap
kandungan auksin (IAA) endogen dalam bakal buah (ovary), baik setelah polinasi
dan fertilisasi ataupun setelah aplikasi ZPT dari luar. Kadar auksin selama
perkembangan bakal buah berbedabeda untuk setiap tanaman, tetapi umumnya
meningkat pada saat 20 hari setelah pembungaan (anthesis) baik pada bunga yang
diserbuki atau yang disemprot auksin (Lee etal., 1997). Peningkatan kadar IAA
pada bakal buah akan merangsang pertumbuhan dan perkembangan buah pada fase
awal pembungaan (Gillapsy et al., 1993).
Mekanisme inilah
yang mengilhami para ahli bioteknologi pertanian dalam pembentukan buah
partenokarpi melalui rekayasa genetika. Manipulasi Ploidi (Alteration in
Chromosomes Number) Partenokarpi dapat pula diinduksi secara genetik, yaitu
melalui manipulasi jumlah ploidi (kromosom) pada tanaman. Hal ini dapat
ditempuh dengan persilangan biasa, misalnya antara tanaman semangka dikotil
(sebagai induk jantan/ penyerbuk) dengan tanaman tetraploid (sebagai induk
betina) menghasilkan hibrid (F1) triploid yang ternyata dapat menghasilkan buah
partenokarpi tanpa biji (seedless). Pada tanaman triploid ini bakal biji
(ovule) terhambat sejak awal perkembangannya, sehingga embrio tidak berkembang.
Akibatnya tanaman hanya menghasilkan buah tanpa biji dengan integumen yang
rudimenter (tidak berkembang) (Kihara, 1951).
Pada beberapa
tahun terakhir, beberapa metode telah dicoba dan dikembangkan untuk
menghasilkan partenokarpi melalui rekayasa ge-netika tanaman. Pembentukan buah
partenokarpi melalui teknik DNA rekombinan dapat ditempuh melalui dua
pendekatan, yaitu (1) menghambat perkembangan embrio/biji tanpa mempengaruhi pertumbuhan
buah dan (2) ekspresi fitohormon pada bagian ovary/ovule untuk memacu
perkembangan buah partenokarpi.
Cara pendekatan
pertama ditempuh melalui penggunaan gen yang bersifat merusak sel (cytotoxic).
Gen ini akan menghasilkan senyawa toksik terhadap sel-sel embrio/ biji,
sehingga akan menghambat bahkan merusak perkembangan embrio/biji. Pertumbuhan
buah tetap berlangsung, tetapi tidak menghasilkan biji. Sebagai contoh,
penggunaan gen barnase yang diisolasi dari bakteri Bacillusamyloliquefaciens
(Paddon dan Hartley, 1987; Tomes et al., 1996b) atau kombinasi gen sitotoksik,
misalnya gen iaaM dan iaaH dari bakteri yang mengekspresikan senyawa toksik
kadar tinggi terhadap sel-sel embrio/biji. Kombinasi ekspresi dua gen ini akan
merubah triptofan menjadi IAA melalui senyawa indoleacetamide (Kosuge etal.,
1966). Kadar IAA tinggi ini akan bersifat toksik terhadap sel-sel biji atau
embrio tanaman. Grossniklaus dan Vielle-Calzada, (1999) menggunakan gen
regulator yang dapat mengekspresikan senyawa toksik yang mempengaruhi
perkembangan embrio atau endosperm. Gen barnase akan menghasilkan enzim
ribonuklease pada bagian biji di bawah kontrol promoter spesifik bagian kulit
biji. Tetapi pembentukan partenokarpi melalui cara pendekatan ini kurang
berhasil dan tidak berkembang, karena hingga kini belum ada data hasil
percobaan yang mendukung keberhasilan teknik ini.
Cara pendekatan kedua dalam menghasilkan partenokarpi adalah melalui pengekspresian senyawa fitohormon IAA atau analognya pada bagian bakal buah (ovary) terlihat lebih efektif. Cara kedua ini didasari oleh pengetahuan sebelumnya bahwa aplikasi fitohormon sejenis auksin/giberelin dapat menggantikan peran biji dalam merangsang pembentukan dan perkembangan buah. Tomes et al. (1996a) telah berhasil menginduksi buah partenokarpi melalui penggunaan gen pengkode giberelin, yaitu giberellin 20-oxidase yang diekspresikan pada bagian polen (serbuk sari) sebelum polinasi (di bawah kontrol promoter spesifik bagian polen). Buah partenokarpi dapat terbentuk sebelum fertilisasi (anthesis). Li (1997) berhasil menggunakan gen pengkode auksin, giberelin atau sitokinin (iaaM, iaaH atau ipt) dari Agrobacterium tumefaciens di bawah kontrol sequen regulator spesifik bagian ovary. Gen iaaM mengkode senyawa triptofan 2-monooxigenase yang akan merubah triptofan menjadi indoleaceta-mide (IAM), lalu menjadi indole acetic acid (IAA) dan amonia (Kosuge et al., 1966) menggunakan promoter GH3 dari kedelai (Hagen et al., 1991) atau AGL5 (Agamous-like 5) dari Arabidopsis (Ma et al., 1991) atau PLE36 dari tembakau (Li, 1997). GH3 merupakan promoter inducible auksin di bagian ovary, AGL5 spesifik pada perkembangan karpela (Savidge et al., 1995) dan PLE 36 spesifik untuk ovary. Rotino et al. (1997) telah berhasil menggunakan promoter bagian regulator defh9 (deficiens homologue 9) dari Antirrhinum majus untuk mengekspresikan gen iaaM (pengkode IAA) dari Pseudomonas syringae pv savastanoi (Yamada et al., 1985) pada bagian plasenta dan bakal biji. Gen kimerik defh9-iaaM (Gambar 1) ini telah berhasil menginduksi buah partenokarpi pada beberapa tanaman dari famili Solanaceae seperti terung, temba-kau, dan tomat (Rotino et al., 1996; 1997; Ficcadenti et al., 1999). Tanaman hibrid (F1) terung yang mengandung gen defh9-iaaM menunjukkan peningkatan produksi pada musim dingin (Dozella et al., 2000). Demikian juga terjadi pada tomat transgenik yang ditanam pada kondisi atau cuaca yang kurang menguntungkan bagi perkembangan polen (Acciarri et al., 2000) .
Cara pendekatan kedua dalam menghasilkan partenokarpi adalah melalui pengekspresian senyawa fitohormon IAA atau analognya pada bagian bakal buah (ovary) terlihat lebih efektif. Cara kedua ini didasari oleh pengetahuan sebelumnya bahwa aplikasi fitohormon sejenis auksin/giberelin dapat menggantikan peran biji dalam merangsang pembentukan dan perkembangan buah. Tomes et al. (1996a) telah berhasil menginduksi buah partenokarpi melalui penggunaan gen pengkode giberelin, yaitu giberellin 20-oxidase yang diekspresikan pada bagian polen (serbuk sari) sebelum polinasi (di bawah kontrol promoter spesifik bagian polen). Buah partenokarpi dapat terbentuk sebelum fertilisasi (anthesis). Li (1997) berhasil menggunakan gen pengkode auksin, giberelin atau sitokinin (iaaM, iaaH atau ipt) dari Agrobacterium tumefaciens di bawah kontrol sequen regulator spesifik bagian ovary. Gen iaaM mengkode senyawa triptofan 2-monooxigenase yang akan merubah triptofan menjadi indoleaceta-mide (IAM), lalu menjadi indole acetic acid (IAA) dan amonia (Kosuge et al., 1966) menggunakan promoter GH3 dari kedelai (Hagen et al., 1991) atau AGL5 (Agamous-like 5) dari Arabidopsis (Ma et al., 1991) atau PLE36 dari tembakau (Li, 1997). GH3 merupakan promoter inducible auksin di bagian ovary, AGL5 spesifik pada perkembangan karpela (Savidge et al., 1995) dan PLE 36 spesifik untuk ovary. Rotino et al. (1997) telah berhasil menggunakan promoter bagian regulator defh9 (deficiens homologue 9) dari Antirrhinum majus untuk mengekspresikan gen iaaM (pengkode IAA) dari Pseudomonas syringae pv savastanoi (Yamada et al., 1985) pada bagian plasenta dan bakal biji. Gen kimerik defh9-iaaM (Gambar 1) ini telah berhasil menginduksi buah partenokarpi pada beberapa tanaman dari famili Solanaceae seperti terung, temba-kau, dan tomat (Rotino et al., 1996; 1997; Ficcadenti et al., 1999). Tanaman hibrid (F1) terung yang mengandung gen defh9-iaaM menunjukkan peningkatan produksi pada musim dingin (Dozella et al., 2000). Demikian juga terjadi pada tomat transgenik yang ditanam pada kondisi atau cuaca yang kurang menguntungkan bagi perkembangan polen (Acciarri et al., 2000) .
Jeruk tanpa biji
Sumber : http://situsnyafana.blogspot.com/2010/10/buah-partenokarpi-buah-tanpa-biji.html
Bahkan saat ini,
di Italia sedang dilakukan pengujian lapang untuk tanaman transgenik melon,
strawbery, dan anggur. Sehingga gen partenokarpi defh9-iaaM telah berhasil
dicoba pada empat famili, yaitu Solanaceae, Cucurbitaceae, Rosaceae, dan
Cruciferae. Dari semua tanaman transgenik partenokarpi tersebut ditemukan kadar
ekspresi auksin yang sangat rendah pada mRNA yang diekstrak dari kuncup bunga
(Rotino et al., 1997; Ficcadenti et al., 1999). Dari hasil percobaan ternyata
terdapat faktor penting di dalam pembuatan buah partenokarpi melalui rekayasa
genetika, yaitu terletak pada penggunaan bagian regulator (regulator region)
dalam konstruksi gen kimera. Bagian regulator merupakan informasi genetik yang
sangat penting dalam mengontrol ekspresi gen interest baik secara temporal atau
spatial. Dua parameter ini sangat penting dalam memperoleh partenokarpi dan
meyakinkan ekspresi yang optimal dari gen partenokarpi tanpa menghambat
pertumbuhan vegetatif (buah) pada tanaman transgeniknya.
Dengan demikian,
semua gen regulator yang digunakan diarahkan ekspresi-nya ke bagian ovary dan
bagianbagiannya. Sebagai contoh gen kimera defh9-iaaM (Rotino et al., 1997),
bagian regulator defh9 (promoter) dapat mengontrol ekspresi gen iaaM (pengkode
IAA) hanya pada bagian plasenta, ovule, dan bagian ovule (Ficcadenti et al.,
1999). Ekspresi IAA pada bagian ovule ditujukan untuk menggantikan peran biji
dalam memacu pertumbuhan buah, sedangkan ekspresi IAA pada bagian plasenta
untuk meyakinkan bahwa partenokarpi terjadi sebelum polinasi (anthesis). Hal
ini dimaksudkan untuk membandingkan dengan buah hasil penyerbukan biasa atau
aplikasi ZPT. Buah par-tenokarpi tanpa biji dapat terbentuk pada bunga tomat
dan terung yang diemaskulasi atau dikastrasi (dihilangkan bagian benang
sarinya) ter-lebih dahulu. Sedangkan ekspresi IAA pada bagian jaringan ovule
di-maksudkan untuk menjaga kelang-sungan pertumbuhan dan perkembangan buah
hingga dewasa. Ekspresi IAA yang sangat rendah diperlukan untuk memperoleh
perkembangan buah partenokarpi secara normal, karena apabila ekspresi terlalu
tinggi dapat menyebab-kan pertumbuhan yang abnormal (malformation), terutama
pada je-nis tanaman yang sensitif terhadap auksin.
Proses
partenokarpi juga dilakukan oleh Dr Saptowo Pardal (Periset Bioteknologi) pada
buah tomat dengan memanfaatkan jasa bakteri Agrobacterium
tumefaciens yang membawa gen partenokarpi defH9-iaaM dan berfungsi sebagai
“kendaraan gen”. gen tersebut direkonstruksi dari bakteri pseudomonas syringae sebagai penghasil IAA dan promotor defH9 untuk
mengatur ekspresi gen pada plasenta dan ovul. Untuk memperbanyak gen tersebut
dapat memanfaatkan bakteri jenis Escherichia
coli. kemampuan bakteri Agrobacterium
tumefaciens menimbulkan penyakit dihilangkan dan memasukkan gen defH9-iaaM
ke dalam bakteri tersebut sehingga gen defH9-iaaM dapat menumpang pada bakteri Agrobacterium tumefaciens untuk
disisipkan pada tanaman tomat. Potongan kotiledon dicelupkan ke dalam bakteri Agrobacterium tumefaciens yang tidak
lagi membahayakan tersebut.
Kotiledon
kemudian diperbanyak dengan sistem teknologi kultur jaringan dan dipastikan
bahwa tanaman yang dihasilkan membawa gen defH9-iaaM dengan uji molekuler. Setelah tanaman tomat dihasilkan, maka penanaman dicoba pada dataran rendah
berketinggian 200 mdpl. Hasil produksi yang diperoleh mencapai 4 kg pertanaman
dan setara dengan produksi buah pada dataran tinggi. Partenokarpi mendukung
peningkatan produksi dalam kondisi lingkungan tumbuh yang kurang menguntungkan.
Sumber
:
http://www.trubus-online.co.id/arsip/1836-tanpa-biji-tinggi-produksi.html
Komentar